TERLUPAKAN. Mendengar atau membaca kata terlupakan merupakan suatu hal yang tidak mengenakan. Siapa sih yang ingin dilupakan? Tentu saja tidak ada yang ingin dilupakan, apalagi nyawa masih menyatu dengan tubuh, tentu saja inginnya selalu diingat oleh siapa pun, apalagi dengan orang terdekat.
Keinginan untuk tidak dilupakan merupakan keinginan dasar dari setiap makhluk yang ada di bumi ini. Keinginan diingat atau tidak dilupakan tidak hanya berlaku kepada manusia saja, tetapi juga berlaku kepada makhluk lainnya, seperti hewan atau tumbuhan.
Apakah Anda memiliki hewan peliharaan? Jika punya, coba saja Anda lupakan dalam waktu beberapa minggu, mungkin hewan Anda akan sedih dan bahkan pergi begitu saja, karena telah dilupakan. Apalagi dilupakannya karena kebiasaan Anda, apa pun itu kebiasaannya. Terkadang kebiasaanlah yang membuat diri kita lalai.
Kelalaian itulah yang membawa kita sebagai manusia lupa dengan keadaan di sekitar yang sebenarnya. Contoh, saya memiliki sebuah kisah yang berjudul "Ulat yang terlupakan oleh ulet". Kisah ini menceritakan seorang makhluk kecil yang juga termasuk ke dalam anak serangga atau sering kita sebut ulet. Dia sering kali merasa putus asa dengan dirinya yang tak pernah dianggap oleh siapa pun. Bahkan teman seperhewanannya pun menggunjingnya dan mengatakan, "ha-ha tidak ada yang mengenal dirimu dengan sebenar-benarnya."
Ulet ini pun terus merasa sedih karena tidak ada yang mengenal dengan sebenarnya dirinya ini siapa, yang dikenal oleh manusia dan bahkan kawanan hewannya pun memanggilnya ulet. Dirinya selalu terlupakan atau bahkan tidak diakui karena sudah kebiasaan siapa pun tidak mengenal dirinya itu siapa.
Sampai pada suatu ketika, seeokor ulet ini jengah dan marah sehingga membuat dirinya berubah semakin mengkerut dan menjadi sebuah kepompong, hingga akhirnya menjadi seekor kupu-kupu. Ia berkata kepada teman-teman seperhewanannya, "lebih baik aku menjadi kupu-kupu, lebih banyak mengenalku dan mengingatku daripada menjadi seekor ulet".
"Manusia memang seperti itu hanya terbiasa berkata dari apa yang mereka ketahui sebelumnya, bukan sebenarnya. Aku ini bukanlah ulet, melainkan ulat." Lanjut dia. Oke, baiklah, saya sudahi sampai di sini kisah seekor "ulat yang terlupakan oleh ulet". Saya akan sedikit mengulik kisah di atas berdasarkan dari kebiasaan masyarakat dalam menata kata.
Ulat dan ulet. Sebuah dua kata dasar yang memiliki arti yang berbeda-beda. Ulat memiliki arti "salah satu tahap bentuk dalam daur kehidupan kupu-kupu, berupa binatang kecil melata, gilik memanjang, dan umumnya berkaki enam, adakalanya berbulu-bulu, memakan daun, buah, atau bangkai, jika sudah waktunya berubah menjadi kepompong lalu menjadi kupu-kupu (termasuk juga anak serangga, bernga, lundi, dan sebagainya) sedangkan ulet memiliki arti "liat; kuat (tidak mudah putus asa)".
Dari kedua definisi kata tersebut memiliki penjelasan yang berbeda-beda. Kebiasaan masyarakat telah mengubah persepsi mengenai kata "ulet" merupakan nama hewan, nyatanya kata ulet bukanlah nama hewan. Pengimplementasian kata ulet sering kali dikonstruksikan dalam semua jenis tuturan.
Penggunaan kata "ulet" oleh masyarakat luas digunakan sebagai menyatakan seseorang yang tidak mudah putus asa dan juga menyatakan sebagai nama hewan. Mungkin dahulu Anda sering mendengar "ulet bulu" dan juga sebuah pernyataan "orang itu kerjanya ulet sekali". Manakah yang benar? Jelas yang benar adalah kalimat "orang itu kerjanya ulet sekali" karena dari definisi tadi bahwa kata "ulet" adalah kontruksi dari kata kerja keras atau tidak mudah putus asa.
Kembali lagi pada kisah di atas, maka tidak heran hewan yang sering Anda sebut ulet itu marah atau merasa terlupakan, karena itu bukan penamaan mengenai dirinya dia. Nama yang sebenarnya adalah ulat (ulat bulu, ulat batu, ulat pohon, dan sejenis ulat lainnya". Bagaimana ulat tidak terlupakan, kalau penggunaan kata "ulet" untuk nama hewan sudah dimeratakan sedemikian banyaknya penuturan.
Ulat itu sungguh ulet walau terlupakan tetap berjuang untuk selalu diingat.