Orang tua memanglah guru bagi anak-anaknya. Anak dididik pertama kali oleh orang tua selama 6 tahun. Didikan orang tua terhadap anak sejak usia 1 tahun sampai menjelang masuk pendidikan formal.Â
Anak mulai diajari pertama kali mengenal pragmatik, yaitu pengajaran seorang anak memahami maksud dari kata yang dituturkan oleh orang tuanya. Setelah itu anak mulai mengenal semantik, yaitu makna kata. Terus dan terus anak diajari orang tua, mengenal huruf hingga mulai memasuki pendidikan formal.
Dari pernyataan di atas saja kita sudah dapat menyimpulkan bahwa guru abadi bagi seorang anak adalah pengajaran orang tuanya. Selain diajari tentang ilmu, anak juga diajari tentang adab, norma, agama, dan lain-lainnya. Orang tua guru dari segala bidang ilmu.
Di dalam situasi dan keadaan seperti ini, kegiatan belajar anak dilakukan di rumah. Anak kembali pada didikan orang tuanya. Rumah dijadikan sekolah, orang tua menjadi guru pengganti di rumah.
Dalam kegiatan belajar di rumah, guru tetap memberikan materi, ilmu, dan pengajaran terhadap peserta didiknya. Namun, orang tualah yang tetap membimbing dan mengajarkan anak selama proses pembelajaran dari rumah.
Apalagi teruntuk anak-anak yang masih SD, mereka masih membutuhkan bimbingan yang penuh dari pendidik. Maka dari itu, peran orang tualah menjadi peran utama sebagai pengganti guru selama belajar dari rumah.
Hal tersebut juga dialami saudara-saudara saya, tetangga-tetangga saya. Orang tua banyak yang menunda pekerjaan rumahnya demi mengajarkan anak-anaknya agar dapat mengikuti pembelajaran dengan baik. Terkadang ada tugas pun orang tualah yang diperankan dalam membantu bahkan mengerjakan tugas anaknya.
Menanggapi peristiwa seperti ini, orang tua dituntut lebih canggih dari google, agar anak tidak harus melulu menjadikan google sebagai tempat belajar mereka. Hal ini bukan pernyataan yang tepat, karena kita tidak bisa menganggap orang tua lebih canggih dari google.
Tidak semua orang tua canggih dan mengerti tentang segala tugas-tugas anak yang melibatkan teknologi. Kita tidak bisa memandang semua orang tua sama. Tidak semua orang mengerti tentang teknologi, tentang kemodernan ini. Jangankan soal teknologi, tentang pembelajaran anaknya saja terkadang sulit mengerti.
Hal tersebut dikarenakan tidak semua pendidikan orang tua sama, kalau orang tua dituntut untuk lebih canggih dari google, itu tidak akan bisa, google adalah tempat yang luas untuk segala pencarian. Seharusnya orang tua dituntut lebih berperan dari guru selama belajar dari rumah, bukan lebih canggih dari google.
Dalam keadaan seperti ini, menjadikan orang tua mau tidak mau, bisa tidak bisa ikut sama-sama belajar bersama anak. Orang tua yang tidak bisa menggunakan kecanggihan teknologi, lama-lama terbiasa dan bisa. Hal inilah yang dikatakan dituntut secara halus untuk lebih bisa dalam mengajarkan anak.
Dalam kebanyakan kasus, banyak terjadi tidak kekerasan yang terjadi pada anak oleh orang tuanya, dikarenakan ketidaksabaran orang tua dalam mendidik anak. Bahkan belum lama terjadi kasus pembunuhan anak oleh orang tua, karena pembelajaran daring seperti saat ini.
Hal yang harus kita lakukan dalam menanggapi persepsi seperti ini adalah peranan pihak keluarga pun harus lebih dominan, tidak hanya kepada orang tua, kakak atau saudara yang lebih mengerti dalam mengajarkan adik atau saudaranya.
Itulah yang saya lakukan kepada adik-adik sepupu saya, ketika dalam proses belajar dari rumah mengalami kesulitan, sayalah yang membantu mereka, karena tidak semua orang tua mengerti walau sudah dituntut lebih canggih dari google.
Google hanyalah sarana dari kecanggihan teknologi, semua ada di dalamnya, orang tua tidak bisa lebih canggih dari google, tetapi orang tua bisa lebih mendidik dari google.
Semoga bermanfaat.
Salam literasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H