Mohon tunggu...
Mohamad Rifan
Mohamad Rifan Mohon Tunggu... Ilmuwan - digoogle aja, dia lebih pintar

iseng-iseng nulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Ketika Pancasila Harus Beradaptasi di Tengah Pandemi Covid-19

7 Mei 2020   15:31 Diperbarui: 3 Januari 2022   13:09 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

oleh Liavita Rahmawati, Mohamad Rifan

"Dihari itu, butir-butir Pancasila tercicil dalam sebuah buku, tepatnya 75 tahun yang lalu. Pancasila lahir dengan semangat yang tak redup, 5 pilar digagas skaligus sebagai ide kerangka negara dia termaktub, namun apakah Ia didesain pula dengan semangat untuk bertahan hidup."

Frasa diatas menjadi sindiran mungkin bagi saya sebagai penulis. kegelisahan diri menjawab bahwa Pancasila tidak didesain untuk bertahan hidup mungkin ada benarnya.

Mungkin saja pula, karena dalam kelima butirnya sangat berlawanan dengan kata "silaturrahmi" sehingga kebijakan "Phisical Distancing" menjadi kelakar yang sukar dilaksanakan. Tak heran banyak yang kembali ke kampung halaman tanpa pikir panjang masalah penularan.

Meskipun ya.. tidak dipungkiri Proyek-proyek membumikan Pancasila mulai dari sautan toleransi. hingga tertanam pada sugesti masing-masing pribadi menjadi konsekuensi dari Sebuah Falsafah Negeri. Namun, ditengah Pandemi Pancasila seakan mati tak bisa berdiri.

Pertanyaan lain hadir lagi, apakah Pancasila yang acapkali dilirik oleh jajaran Pemerintah hingga Masyarakat sebagai nilai yang konsisten untuk dijalani?

Mulai dari kegagapan kebijakan hingga kebingungan kondisi ekonomi, Kiranya memaksa Pancasila harus beradaptasi di tengah pandemi.

Dalam pandangan saya, Pancasila digagas dengan jiwa kemanusiaan dan persatuan. Semangat Pancasila didesain sedemikian rupa untuk dapat beradaptasi di segala medan, termasuk pula ditengah krisis kesehatan.

Tak dipungkiri bahwa adaptasi yang dilakukan oleh Pancasila harus diwanti-wanti oleh bangsa. Setidaknya adaptasi tersebut terelakan dalam 4 (empat) sila secara sederhana.

Tidak perlu dibahas bahwa "Ketuhanan Yang Maha Esa" sudah melakukan adaptasinya diawal pandemi. Pembatasan tata cara beribadah agar tidak terikat dari symbol keagamaan merupakan langkah adaptasi dari Sila ini.

Selanjutnya adaptasi yang perlu dilakukan ada pada sila "Kemanusiaan yang Adil dan beradab." Pada dasarnya sila ini juga membahas tentang norma sosial atau perlikau. Tidak perlu kita sanggah bahwa sila ini juga ikut mewarnai kalimat "tidak ingat keluarga maka tak punya adab". Ditengah pandemi, sila ini mungkin ingin beradaptasi, agar menjiwai rakyat untuk membatasi nafsu bermigrasi ditengah polemik pulang kampung dan mudik menjadi relavan untuk dilaksanakan.

Lalu bagaimana dengan mereka yang berada di garis rentan miskin?,

Jawaban kritis dengan beraam analisis ini secara gamblang terjawab dalam adaptasi Sila ke-2. Iya, sila ke-2, masih ada "Persatuan Indonesia" yang menjadi corak kegotong-royongan bangsa. Di Indonesia, Kita punya Rukun Warga, Tetangga, Dusun, hingga Desa yang membantu negara dengan segala kelakar kebijaksanaannya.

Semangat "Persatuan Indoensia" mengarahkan pada koordinasi dalam wilayah dari terlebar hingga terkecil untuk saling bahu membahu, membantu agar mampu melewati masa karantina tanpa harus menembus nyawa.

Setelah semua tersusun, tinggal negara melalui Pemerintah Pusat hingga Daerah agar konsisten terhadap "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Bukan apa-apa, sila ini kerap kali dicirikan untuk dilakukan oleh kelas individu sebagaimana kata kisi-kisi CPNS. Namun Untold Story dari perumusan Sila ini di masa PPKI juga mengarahkan pada tanggung jawab negara.

Walhasil, Sila "Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia." Wajib beradaptasi dikala pandemi. Tegap lurus mengarah pada kebijakan lokal hingga nasional, agar kiranya konsisten dan mendukung adaptasi sila lainnya.

Lalu, dimana sila ke-empat? Dimana "Kerakyatan yang dimpimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan"? apakah ia akan beradaptasi pula?

Entahlah, saya sebagai rakyat hanya menunggu bentuk adaptasinya melalui perabotan berita dan kerja nyata. Karena realitanya, hasil "permusyawaratan perwakilan" masih belum mencerminkan "hikmat kebijaksanaan". 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun