Oleh: Mohamad Rifan dan Nurul Ula Ulya
Ada banyak perkenalan yang manusia lalui lewat perkembangan zaman. Perkembangan zaman telah mengenalkan kita pada ragam Bahasa hingga anatomi sebuah bangsa. Mengenalkan kita pada diksi teknologi hingga keagungan sebuah telekomunikasi. Mengenalkan manusia kepada Ideologi hingga wujud NKRI. Setidaknya perkembangan zaman tidak lepas dari berbagai pemikiran yang berhasil menggeser titik jenuh peradaban.
Apabila kita geser sedikit berbagai candu yang diberikan zaman seperti perwayangan dan karakterisasi peperangan. Setidaknya terdapat tokoh protagonist penyumbang pikiran perkembangan yang berjalan beriringan. Pertama Ideologi mainstream, dan kedua artificial intelligence sebagai momok dominan hasil reformasi industry ke-4.
artificial intelligence (AI) mulai dikenalkan oleh Alan Turing sejak tahun 1950 yang kala itu berhasil memadukan sistem logika deduktif dalam program-program komputer melalui pengembangan teori kemampuan penghitungan (computability). Sehingga tercipta pola respon dari mesin terhadap seangkaian pertanyaan.
Penemuan AI ini kemudian terus berkembang diawali akurasi kemampuanya untuk mendefinisikan masalah, menganalisis masalah hingga merepresentasikan pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan teknik penyelesaian yang terbaik.
Tak heran bahwa AI sanggup menggapai titik efesiensi karena terus melakukan pendekatan trial and error. Menarik bukan? Karena itu perkawinan antara AI dengan Pabrik melahirkan perceraian sektor produksi dengan buruh tenaga kasar.
Sampai saat ini problematika atas kelemahan kecerdasan buatan adalah terbatas pada input-input simbolik sebagai penggambaran visi yang ditanamkan. Hal ini dianggap wajar, karena berbeda dengan sistem kecerdasan manusia, AI masih terbelenggu pada sistem keahlian seperti dalam domain yang menjadi visinya.
Ibarat merintis tenaga profesional seorang dokter umum lulusan S1 yang menempuh spesialisasi S2 dan lebih spesialisasi lagi di Jenjang S3. AI berada pada taraf Strata 3 (S3) dimana IA beradaptasi dan belajar agar dapat bekerja lebih baik dengan perubahan lingkungan yang ekstrim pada domain kerjanya secara profesional. Sehingga AI dapat mengeksploitasi toleransi terhadap akurasi parsial untuk dapat diselesaikan dan dikendalikan dengan mudah agar sesuai dengan realita.
Desahan zaman tidak hanya merangsang pemikiran terbentuknya AI, namun juga beberapa Ideologi manestream sebuah bangsa, di Indonesia kita dengan lapang dada menyebutnya Pancasila. Mengapa? berangkat dari proses pengenalan atas kemajuan peradaban juga membuka imajinasi kita tentang bagaimana Pancasila terbentuk layaknya Artificial Intelegent
Baik AI maupun Pancasila memiliki kesamaan berangkat dari belenggu logika deduktif atas problematika-problematika sektoral. Ketika AI diciptakan untuk menggapai efesiensi di sektor teknologi informasi, Pancasila diciptakan oleh para Founding Fathers untuk menggapai kesepahaman di sektor Ideologi.
Berbeda dengan Islam sebagai ideologi manestream, dan syariah sebagai aspek dari keislaman diluar Akidah dan Akhlak. Karena Islam tidak melewati proses Trial and Error, islam menjadi sebuah pemikiran yang memperoleh porsi eternal tanpa memberi ruang bagi kaumnya untuk membuat cabang ideologi karena sumber dari keislaman adalah firman pencipta dan sabda rasulnya.
Kembali ke topik Pancasila, anggap saja Trial and Error pertama terjadi dalam konflik simbolik di frasa “ketuhanan yang maha esa dan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang berujung pada titik temu berupa ancaman disfungsi minoritas dari mayoritas.
Maka lahirnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah produk dari proses rasionalisasi dengan pertimbangan emosional, tradisional, goal rational, dan value rational. Layaknya penanaman visi dalam AI, namun tidak dalam ruang teknologi telekomunikasi.
Kebenaran Pancasila diposisikan sebagai AI sebuah bangsa, dapat dilihat dari komponen pembentuk Pancasila itu sendiri yang tidak mengalami disposisi. Misalnya adalah nilai-nilai keislaman, Pancasila memiliki visi yang tak jauh dari indra keislaman.
Mengapa? anggap saja konten paling orisinil dari Indonesia adalah dikenalnya konsep musyawarah dan gotong royong yang sudah jelas Konsep ini juga bersumber pada Al-Quran dan Hadits yang telah dijalankan pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Asumsi dasar atas pemikiran Pancasila sebagai artificial intelligence diparagraf sebelumnya dapat kita bayangkan bahwa ia berada pada wadah sosial, atau otak dari entitas bernama Bangsa. Sehingga kemampuannya tidak sebatas penggerak pemikiran dan kepribadian bangsa, namun juga lokomotif verifikasi dan evaluasi Hukum secara sistemik.
Ketika hukum kita pandang sebagai suati sistem management disamping sistem norma. Sedangkan penentuan norma-norma yang sekiranya berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersumber pada Ideologi yang dianut tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila.
Maka pertanyaan besar yang terjadi adalah layakkah sebuah Pancasila menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang di Indonesia? Seperti yang kita ketahui bahwa permasalahan terhadap interpretasi atas Ideologi Pancasila kadang membenturkan atara kemapanan bahan hokum yang tersaji dengan peristiwa-peristiwa konret.
Sehingga berujung pada agungnya label keterbukaan ruang kritik yang bersanding dengan ketatnya penjagaan publik karena ketakutan mendeideologikan Pancasila.
Beberapa kegiatan seperti kajian atau perlawanan atas konsistensi kebijakan kadang juga direspon dengan kekerasan. Atau pembulian di kolom komentar atas pernyataan yang berlawanan dari keyakinan calon pemimpin kepresidenan. Atau mudahnya menciptakan artikel manis berbau humoris yang langsung dicerna kaum akademis dan berdampak ironis. Alhasil, perkembangan zaman malah mendiskresi komponen Pancasila bernama toleransi dan persatuan.
Tidak heran bahwa pemahaman seperti ini justru membuat lemas Pancasila dalam merangsang pendekatan Trial and Error nya, sehingga ia tidak mampu mendefinisikan masalah dengan cermat, atau merepresentasikan pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan teknik penyelesaian yang terbaik.
Tidak seperti AI atau ideologi, namun lebih seperti simbol catatan kaki di kelas ber-SNI. Akibatnya adalah ia tidak dapat menekankan gambaran hidup baik, atau mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan.
Rangsangan untuk membangkitkan artificial intelligence bernama Pancasila ini tidak hanya sebatas kajian pada ruang publik hingga mimbar akademik. Namun dapat pula berangkat dari resapan pribadi secara simbolik, seperti upacara lapangan dengan peserta didik dan guru berbaju batik. Atau pencairan komitmen berlegislasi oleh yang terhomat anggota desan yang baik? Kadang tulisan tak rampung ini sedikit menggelitik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H