Kembali ke topik Pancasila, anggap saja Trial and Error pertama terjadi dalam konflik simbolik di frasa “ketuhanan yang maha esa dan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” yang berujung pada titik temu berupa ancaman disfungsi minoritas dari mayoritas.
Maka lahirnya sila “Ketuhanan Yang Maha Esa” adalah produk dari proses rasionalisasi dengan pertimbangan emosional, tradisional, goal rational, dan value rational. Layaknya penanaman visi dalam AI, namun tidak dalam ruang teknologi telekomunikasi.
Kebenaran Pancasila diposisikan sebagai AI sebuah bangsa, dapat dilihat dari komponen pembentuk Pancasila itu sendiri yang tidak mengalami disposisi. Misalnya adalah nilai-nilai keislaman, Pancasila memiliki visi yang tak jauh dari indra keislaman.
Mengapa? anggap saja konten paling orisinil dari Indonesia adalah dikenalnya konsep musyawarah dan gotong royong yang sudah jelas Konsep ini juga bersumber pada Al-Quran dan Hadits yang telah dijalankan pada masa kepemimpinan Nabi Muhammad, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali.
Asumsi dasar atas pemikiran Pancasila sebagai artificial intelligence diparagraf sebelumnya dapat kita bayangkan bahwa ia berada pada wadah sosial, atau otak dari entitas bernama Bangsa. Sehingga kemampuannya tidak sebatas penggerak pemikiran dan kepribadian bangsa, namun juga lokomotif verifikasi dan evaluasi Hukum secara sistemik.
Ketika hukum kita pandang sebagai suati sistem management disamping sistem norma. Sedangkan penentuan norma-norma yang sekiranya berlaku dalam kehidupan berbangsa dan bernegara bersumber pada Ideologi yang dianut tentang kehidupan berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila.
Maka pertanyaan besar yang terjadi adalah layakkah sebuah Pancasila menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang di Indonesia? Seperti yang kita ketahui bahwa permasalahan terhadap interpretasi atas Ideologi Pancasila kadang membenturkan atara kemapanan bahan hokum yang tersaji dengan peristiwa-peristiwa konret.
Sehingga berujung pada agungnya label keterbukaan ruang kritik yang bersanding dengan ketatnya penjagaan publik karena ketakutan mendeideologikan Pancasila.
Beberapa kegiatan seperti kajian atau perlawanan atas konsistensi kebijakan kadang juga direspon dengan kekerasan. Atau pembulian di kolom komentar atas pernyataan yang berlawanan dari keyakinan calon pemimpin kepresidenan. Atau mudahnya menciptakan artikel manis berbau humoris yang langsung dicerna kaum akademis dan berdampak ironis. Alhasil, perkembangan zaman malah mendiskresi komponen Pancasila bernama toleransi dan persatuan.
Tidak heran bahwa pemahaman seperti ini justru membuat lemas Pancasila dalam merangsang pendekatan Trial and Error nya, sehingga ia tidak mampu mendefinisikan masalah dengan cermat, atau merepresentasikan pengetahuan yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah tersebut dengan teknik penyelesaian yang terbaik.
Tidak seperti AI atau ideologi, namun lebih seperti simbol catatan kaki di kelas ber-SNI. Akibatnya adalah ia tidak dapat menekankan gambaran hidup baik, atau mengantarkan manusia kepada kesejahteraan dan kebahagiaan.