Percaya atau tidak, wajarnya pola pikir seorang balita hingga menjadi mahasiswa atau perkerja cenderung semakin dewasa. Entah Dewasa ilmu, dewasa sanak keluarga, dan dewasa akan frasa hadits agama akan bahaya Harta-Tahta-Wanita.
Dan paragraf diatas merupakan cocoklogi saya yang hampir disetujui oleh anda. Salahkah? Tidak menurut saya karena kita paham dengan makna "Dewasa" tanpa harus membaca Kamus lengkap Bahasa Indonesia.
Berbeda kisah ketika saya mendefinisikan kondisi yang lebih sistematis seperti kebutuhan primer masyarakat.
Misal saat menggolongkan kebutuhan primer masyarakat zaman now (Milenial) tidak hanya berpatokan terhadap sandang, pangan, papan. Namun "colokan" serta "aksesInternetan"juga termasuk didalamnya.
Kenapa demikian? karena berdasarkan baca-baca berita, saya simpulkan bahwa tekanan media dapat menjadi faktor banyaknya hilang nyawa.
Benarkan? menurut saya salah sih, karena dua faktor. pertama, argumen diatas saya keluarkan tanpa ada proses wawancara atau sampling data. kedua, argumen diatas menyalahi ide pokok dalam: LKS SD hingga SMU; kerangka ilmu pengetahuan; dan metode penelitian yang telah dibentuk sejak tahun 80-an.
Argumen yang dibentuk karena feelingserta logika nirfaedah ini memang cenderung mudah dipahami, dan dijumpai layaknya masakan istri sendiri. Pola pemikiran menggunakan Feelingini yang kemudian saya simpulkan sebagai pola Cocoklogi (Mencocok-cocokan Logika).
Dalam konteks yang lebih luas, budaya cocoklogi ini sudah menjamur dikalangan akademisi hingga pejabat negeri. Mulai dari KTI hingga makalah saya sendiri menjadi saksi cocoklogi.
Dan lebih fatal apabila pola pikir ini dituangkan dalam bentuk instrument Legal. Yaah, Sehingga tak heran praktisi sering mapang di televisi, contohnya adegan petak-umpet korupsi karena salah tafsir hak asasi dalam konstitusi.
Atau momen ditilangnya supir taksi yang sedang berhenti di area rambu larangan parkir.
Atau momen dihidupkannya lagi pasal-pasal yang mati karena putusan Mahkamah Konstitusi oleh Yang Terhormat Bapak Dewan Legislasi.