Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mak Onah

3 Juli 2021   10:49 Diperbarui: 3 Juli 2021   10:52 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kali ini tentang Mak Onah yang berjualan nasi uduk dan lontong di pertigaan jalan, sejauh selemparan batu dari tempatku mengajar.

Sepertinya dia berusia lebih tua berapa tahun dari Ebok, ibuku. Atau, apakah usia mereka sepantaran? Hanya tekanan ekonomi yang membuatnya lekas tua.

Meski istri selalu menghidangkan sarapan menarik yang mengantarkanku berangkat kerja, tapi tetap saja aku sarapan sedikit. Buah tangan Mak Onah yang akhirnya berhasil menggenapkan kenyang. Apakah karena sarapan kreasi istriku kalah enak dari buatannya? Tidak juga. Atau, apakah...? Oh, aku yakin ini sebab aku tak dapat menanggung rindu kepada Ebok. Perempuan tua itu

keras kepala diajak pindah ke rumahku. Katanya dia betah berkampung. Agar lebih dekat bila ingin menjenguk Abak, ayahku, di pekuburan pinggir kampung? Kendati malam sekali pun.

Bila demikian aku harus mengalah. Hanya bisa mengelus dada.

Pagi itu karena terlambat bangun, terlambat pula aku mengicip sarapan dari Mak Onah. Mudah-mudahan dia hapal untuk menyisakan sepiring-dua nasi uduk, sebab laparku sering dobel.

Tapi aku salah, isi termosnya masih penuh nasi uduk. Di etalase berjejer lontong berselimut daun pisang. Lalu, ke manakah dia pergi? Aku celingak-celinguk, dan akhirnya melihatnya terseok, keluar dari satu gang, bersama anak kecil.

Siapa anak itu? Anaknya? Ah, mustahil! Atau? Ya, anak kecil itu mungkin cucunya.

Melihatku sedang berdiri di dekat warungnya, dia salah-tingkah. Dia terburu menyiapkan sarapanku, dan terburu pula mengurusi anak itu.

Dia akhirnya berhasil membujuk anak itu dengan sebuah balon. Saat dia menghidangkan teh panas di depanku, aku sontak bertanya, "Anaknya ya, Mak Onah?" Dia melotot dan mengatakan bahwa anak itu cucunya. Aku menjawab dengan tertawa. "Orang tuanya mana?" lanjutku.

"Bapaknya lagi ngebengkel."

"Ibunya?"

"Ke Malaysia. Dia diterima menjadi tkw. Dua hari lalu berangkat. Dia kerja di sana selama dua tahun."

What? Lama sekali hingga dua tahun? Mak Onah hanya tersenyum sambil mengejar anak itu. Nakal betul si bocah.

Kasihan Mak Onah. Kenapa anak-mantunya berbuat begitu? Aku terbayang seorang ibu muda yang terlihat repot mengurus anaknya. Dia berulangkali terbangun malam karena si anak ngompol atau ingin susu. Berkali pula dia tak jadi shalat karena mukenanya terkena ompol. Berkali, dan berkali.

Ketika beranjak besar si anak mulai bandel. Berulangkali membuat modar kepala anak tetangga. Harus keluar-masuk sekolah untuk menyelesaikan permasalahan kenakalan. Lalu, dia dewasa, pacaran, dan ngebet nikah.

Ibu itu meminjam sana-sini, menjual harta ke sana-ke mari, agar pernikahan anaknya sukses dan membanggakan.

Apakah cukup sampai di situ? Oh, tentu saja tidak. Seharusnya setelah anak menikah, maka tugasnyalah yang menyenangkan ibu. Membiayai hidupnya. Tapi ternyata si ibu harus berjibaku mencari nafkah. Bahkan tak tahu malu, anak-mantu terkadang nebeng hidup.

Apakah saat ingin hidup lebih mapan, anak-mantu tega membuat ibu menjadi babu? Memomong cucu yang nakal nggak ketulungan?

Kasihan Mak Onah. Dia mencoba terlihat ikhlas, meski hatinya hancur. Aku tak sadar meneteskan air mata saat membayar sarapan.

Sesampai di kampus, aku telepon Inong. Aku minta dia berhenti kerja dan harus memomong anak sendiri. Ebok bukan babu kami.

Inong terkekeh. "Sejak kapan kita sudah punya anak. Mas?"

Aku menyeka keringat di tengkuk, lalu menepuk kening, menahan malu.

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun