Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Berita Lelayu Pagi Itu

5 Januari 2021   13:22 Diperbarui: 5 Januari 2021   13:41 843
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Berita lelayu pagi itu, menyeruak dari toa uzur bersuara kemerosok,  menyentak warga Bawah Dapur; kampung kecil yang terletak di kaki bukit, di bawah bekas dapur umum romusha, kala itu.


Si Jalu belum pun berhasil berkokok melampaui dua oktaf, tapi beragam celoteh telah berhasil mengganti tugasnya membangunkan warga. Mulai dari celoteh di sungai tatkala membuang hajat. Celoteh di kedai sampah, warung kopi, hingga di dapur Kurnen yang meributkan pasal nasi gosong dan gulai berasa air kobokan.  


Padahal sudah ghalib berita lelayu terdengar di negeri itu. Setiap yang hidup pasti akan mati. Namun yang meninggal bukan orang sembarangan. Taklah dari kaum akar rumput, yang mesti ditebas apabila menyemak pandangan.


Tersebutlah Haji Suketi, salah seorang dari tiga imam besar Bawah Dapur; Murad yang belum bergelar haji, Haji Saukad, dan Haji Suketi. Di antara mereka, Haji Suketi menjadi penengah. Penengah ini maksudnya tidak berpandangan kolot, sebaliknya tiada pula terlalu modern.


Murad amatlah kolot, jamaahnya melulu atok-atok. Sedangkan Haji Saukad berbeda seratus delapan puluh derajat, berpandangan terlalu modern. Jamaahnya rata-rata anak muda. Kalaupun ada di antaranya atok-atok, itu pengecualian, karena dia berjiwa anak muda, tapi terjebak dalam tubuh atok-atok.


Nah, sekarang sudah jelas bagimu, yang meninggal itu adalah Haji Suketi! Tapi kabar selepas berita lelayulah, yang menyulut warga hingga terbakar. Gosip menjadi asyik, bertambah digoreng bertambah sip. Cerita satu centimeter, bisa menjadi dua centimeter. Cerita satu meter, bisa menjadi dua meter.


Dia meninggal karena bunuh diri! Ah, kata-kata "meninggal karena bunuh diri" sepertinya terlalu sopan, melainkan; mati bunuh diri!


Kok bisa seorang imam mati bunuh diri? Dia harusnya dapat memberi contoh, misalnya meninggal tatkala sujud atau memberi ceramah. Bukannya mati bunuh diri. Memalukan!


Haji Saukad berjuang keras membela sahabatnya itu. Dia yakin semakin tinggi iman seseorang, maka semakin kuat pula dia didera cobaan. Mungkin Suketi--rasanya tak layak dia disebut haji---saat itu tak tahan ujian hingga terpaksa bunuh diri.


Berarti laku bunuh dirinya dibenarkan agama? Warga ngotot. Haji Saukad bungkam. Dia pasrah mendengar gosip menyebar, membubung, melalap habis kampung. Menjadi abulah seluruh pamor Suketi, hilang tak berbekas apabila angin berhembus membuatnya tiada. Dia berubah lebih buruk dari kisah kain gombal yang tak dicuci puluhan tahun. Jelek sejelek-jeleknya!


Akan tetapi hal itu tak menyurutkan niat warga mendatangi rumah mendiang pada malam pertama membaca yasin. Bukan lantaran ingin berdoa, selain berghibah, sehingga mereka kebanyakan memilih memenuhkan tarup di luar ketimbang di dalam rumah yang hanya diisi segelintir atok-atok.


Tentang Nyai Bedah, istri Suketi, sudah sejak pagi mengurung diri di kamar. Hatinya bagai diiris sembilu, malu bukan buatan. Lelaki yang diyakini tak akan berbuat macam-macam, ternyata sukses mencoreng keningnya. Bunuh diri, bukankah itu sangat memalukan? Tapi penyebab bunuh diri itulah yang lebih memalukan.


Nyai Bedah teringat kemarin sore lakinya risau sangat. Asap rokok menguar dari mulutnya yang legam, seakan asap lokomotif, berjas-jus memualkan. Andaikata Nyai Bedah dapat muntah, dia ingin menyemburkan seluruh muntahannya ke wajah lelaki brengsek itu. Hmm!


Suketi mendesah, mengembuskan asap terakhir, menjejalkan puntung rokok di dalam asbak, lalu menatap Nyai Bedah ketakutan. Dia meringkuk seakan beruk ditimpa hujan. Baginya Nyai Bedah laksana singa, siap menerkam.


"Jadi, Bibah benaran hamil?"


"Iya, dia benaran hamil." Perut Bibah mulai membuncit. Mungkin sebentar lagi menjelma gong, menggemparkan warga Bawah Dapur.


"Pelakunya adalah kamu, Abah?" Hati perempuan itu hancur, apalagi melihat kepala Suketi mengangguk. Seandainya dia menggeleng, rasa malu Nyai Bedah tentu lebih ringan.


Petaka! Nasi sudah menjadi bubur. Ucapan "karena khilaf" dari mulut lelaki itu hanyalah angin lalu, dan suatu cara pembenaran. Apakah menghamili orang yang bukan muhrim itu harus dibenarkan untuk pelaku dari kalangan keluarga, lakinya sendiri? Nyai Bedah tak sanggup menerimanya!


***


Bibah diantar emaknya ke rumah Suketi lebih satu setengah tahun lalu. Pertalian darah di antara mereka sebenarnya cukup jauh. Menjadi dekat, asbab persoalan materi dan pamor. Suketi beruang, bukan lantaran besar mirip beruang, melainkan memiliki banyak uang lagi menjadi imam panutan warga Bawah Dapur.


Lelaki itu kesal tak suka didatangi tamu pagi-pagi, mengganggu ibadah rutinnya saja!


Entah kenapa dia berpikir akan terjadi hal gawat di belakang hari, usai mendengar si emak berniat menitipkan putrinya sekadar bantu-bantu. Maksudnya Bibah akan mondok di rumahnya.


"Tamat apa dia?" tanya Nyai Bedah antusias. Dia membayangkan rumah akan ramai dengan hadirnya Bibah, setelah berbilang tahun terasa sepi, hanya berdua Suketi di situ. Walaupun sekali waktu bertiga Imran ketika si anak libur kuliah di fakultas hukum, berjarak ratusan kilometer dari kampung.


"Esempe, Kak."


"Kakak senang mendengarnya. Apalagi Bibah tamat esempe. Kita berniat menyekolahkannya hingga esema. Benar kan, Abah?" Dia menatap sumringah Suketi yang hanya bisa tertunduk lesu, serta laksana kerbau dicocok hidung, risau membayangkan Bibah menjadi muasal masalah.


Perempuan itu memang berdandan seperti halnya gadis dusun, namun Suketi yakin Bibah adalah serumpun mawar indah harum mewangi yang tumbuh liar di sekitar sampah. Kelak bila dipindahkan ke dalam pot mahal, kembang tentu menjadi incaran kumbang. Salah-salah bila Suketi teledor menjaganya, sudah pasti duri akan melukai. Alamat membuat malu!


Suketi tak sanggup membayangkan ada seorang perempuan muda hamil tanpa suami di rumahnya. Itu tak boleh terjadi!


"Bagaimana, Abah?" Nyai Bedah menendang betis lakinya sehingga si laki tergeragap malu, tak sanggup melawan tatapan yang memaksa itu.


"Ah, sampai segitunya, Kak." Emak Bibah misuh-misuh. Pura-pura malu, tapi mau.


Saat Suketi mengangguk ragu, Nyai Bedah menjerit senang saking bahagia. Lakinya sadar petaka itu dimulai.


***


Di mana ada kembang di situ pasti ada kumbang. Tak lebih lima hari Bibah menjadi warga Bawah Dapur, kumbang mulai datang satu per satu ingin mengisap madu. Berawal sekadar jongkok-jongkok mengobrol, mereka mulai bermain gitar dan remi di bawah pohon mangga, berjarak sekitar tiga meter dari samping kiri rumah Suketi.


Perlahan pula pedagang berpikir tentang keping keberuntungan, melihat rejeki nomplok, mendirikan warung, satu demi satu, seakan kecambah tumbuh di musim penghujan.


Suketi bertambah risau. Bibah seakan mobil baru yang tak boleh lecet. Berangkat-pulang sekolah mestilah diantar-jemput. Perempuan itu benar-benar dipingit. Keluar pagar saja diawasi. Bahkan jika Bibah hendak ke pasar belanja mingguan, Nyai Bedah terpaksa menemaninya. Sekali waktu Suketi turun-tangan bila istrinya lelah.


Hingga kejadian siang itu membuat Suketi curiga. Bibah tertangkap  basah sedang menikmati rujak mangga muda di belakang rumah. Kecurigaan yang tak beralasan itu, dibalas Bibah dengan tawa cekikikan. Ada masalah kalau seorang gadis merujak mangga muda?


"Tak ada masalah. Tapi..." Suketi menggantung ucapannya. Dia merasa bersalah karena curiga berlebihan.


Di hari lain, Suketi memergoki Bibah muntah-muntah di dapur. Nyai Bedah sedang pergi kenduri. Dia teringat istrinya itu pernah muntah-muntah saat mengandung Imran. Bibah menenangkan dengan alasan ada riwayat maag.


Suketi berusaha meredam was-was yang menyemak hati. Bisa jadi dia terlalu pencemas. Bagaimana dengan Bibah yang mulai senang bersolek? Bukankah Nyai Bedah juga senang bersolek saat mengandung Fatimah, putri sulung mereka?


"Apa salahnya Bibah senang bersolek? Anak gadis memang harus terlihat cantik. Aku juga senang bersolek saat jatuh cinta kepada Abah." Kali ini Nyai Bedah membantah buah kerisauan lakinya. Suketi kalah telak, tertunduk malu mengamati jemari kakinya yang gemuk-gemuk.


Hingga di bulan kesepuluh keberadaan Bibah, Nyai Bedah muntab. Wajahnya semerah udang rebus, risau di kamar, berjalan hilir-mudik seperti gasing, membuat lakinya pusing. Si nyai curiga melihat samar-samar perut anak gadis itu mulai gembung.


Suketi nyaris seperti makan asap, menghabiskan hampir dua bungkus rokok, mencoba memadamkan gelisah dalam dada. Dia beberapa kali berubah posisi, dari berdiri di ambang jendela, hingga duduk tak tenang di kursi goyang.


Sungguh dia lebih dulu setengah bulan mengetahui pasal Bibah hamil. Saat itu Nyai Bedah menginap tiga malam di rumah sepupunya. Malam dingin berhujan menjadi saksi dimana Suketi memapah Bibah ke rumah bidan asbab tiga kali muntah, dan tubuhnya lunglai. 

Bidan mengatakan Bibah positif.
Suketi tahu arti ucapan itu, sehingga telapak tangannya basah keringat lantaran cemas. Dia pura-pura kurang faham, berharap dia hanya salah menerjemahkan. "Maksud, Bu Bidan?"


"Selamat ya, Pak Haji. Sebentar lagi Bapak akan mendapat cucu baru. Artinya, dia hamil."


Suketi bak mendengar petir di siang bolong. Dosa besar apa yang telah dia lakukan sehingga mendapat karma sedemikian menyakitkan?


Bibah meringis saat tangannya dipegang Suketi seakan dipelintir di kamar belakang rumah. Hujan turun sangat deras seakan mengamuk.


"Siapa pelakunya, Bibah? Katakan!"


"Aduh, sakit, Wak Haji. Lepaskan tangan saya."


Pegangan dilepas. Suketi laksana harimau mengamuk, terus-terusan menanyakan siapa pelakunya, sehingga mulut mungil itu gemetar berucap; Imran.


Suketi bingung. Seluruh tubuhnya seakan gempa. Bagaimana dia ingin menyelamatkan marwah keluarganya? Bagaimana dia menjawab Nyai Bedah? Apakah dia bisa mengelak bukan pelakunya, melainkan si bontot Imran. 

Nama baik anaknya akan hancur berkeping-keping, padahal dia masih muda. Jalan hidupnya sangat panjang. Maka apa saja bisa dilakukan orang panik. Imran harus diselamatkan! Suketi nekad mengakui Bibah telah hamil, dan pelakunya adalah dia, uwaknya sendiri.

Nyai Bedah mengamuk, mengeluarkan kata "pisah", seiring mengungsi ke kamar belakang, meninggalkan lakinya di kamar depan. Dia masih tak percaya apa yang terjadi pada keluarganya.


Suketi yakin apa yang dia lakukan adalah hal paling benar, demi menjaga nama baik Imran, dia rela menggadaikan gelar haji yang dia sandang.


Kejadian selanjutnya bila harus berpisah dengan Nyai Bedah, sama sekali tidak dia perhitungkan, apalagi akan ada tatapan menghukum dari seluruh warga Bawah Dapur, membuatnya kalut. Tidur menjadi tak nyenyak. Resah sepanjang malam.


Saat itulah dia merasa dunia berputar. Pusing sekali! Kepalanya seolah dipukul godam ratusan kilogram.


Akhirnya, siapa yang mampu menebak kematian. Tidak bisa dimajukan, tak pula dapat dimundurkan. Suketi menghembuskan napas terakhir asbab pecah pemuluh darah di kepala. Lalu, berita lelayu itu terdengar pagi ini.


---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun