Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Kerja Itu Tidak Boleh Memilih, Kawan

18 April 2020   12:32 Diperbarui: 18 April 2020   12:39 79
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Skak!" Suara tawa itu menggema. Aku menjambak rambut, lalu mengeluarkan lima ribuan dari kantong celana. 

Menghempaskannya kesal. Uang terakhir itu akhirnya melayang. Saad seperti harimau mengaut dan menciumnya.

Aku bersandar di rusuk pos ronda Terngiang keluhan istri tentang beras yang hampir habis. Juga lauk tak ada kecuali sambal terasi dan ikan asin. Bambang meneriakkan sepatu sekolahnya menganga seperti mulut buaya. Pasal ancaman Pak Sap akan menggunting rambut murid yang panjang, pun memenuhi kepala. Rambut anakku sudah menyentuh daun telinga.

Minggu kemarin Mandor Salim memanggilku ketika berada di dekat mesin pabrik. Itulah panggilan terakhirnya kepadaku. Dia menyerahkan selembar kertas, bahwa aku di PHK. Bukan karena kinerjaku menurun, hanya saja sedang ada pengurangan karyawan. Perusahaan sedang pailit.

Uang dalam amplop agak tebal dia serahkan, lalu kugenggamkan ke tangan istri dengan mengeluhkan; aku telah dipecat. Hujan di luar seketika pindah ke bola matanya. Dia mengelus perutnya yang membuncit, hampir sembilan bulan.

"Bang," ucapnya lesu.
Kira- kira apa yang akan dia repetkan ketika 

mengetahui uang lima puluh ribu sudah kupakai untuk berjudi?

Aku melangkah lesu menuju pinggir jalan. Panggilan Saad tak kupedulikan, meski dia merayu kami main catur tanpa taruhan.

Hmm, andai aku masih bekerja, mungkin aku tak secemas ini. Uang pesangon pemberian dari Salim, hampir dua pertiga digunakan untuk membayar uang kontrakan, iuran listrik dan PAM.  Aku juga sudah memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan, tapi semuanya menolak. Sekuat apa nilai jual ijazah SMA, apalagi umurku sudah lewat kepala tiga?

Apa pula alasanku kepada istri tentang uang lima puluh ribu itu? Apakah untuk membeli rokok? Rasanya tak ada harga sebungkus rokok lima puluh ribu. Lagi pula aku hanya perokok pasif.

Saat pikiran kacau, seseorang menepuk bahuku. Melihat aku terkejut, dia tertawa dan meminta maaf. "Eh, kamu tak kerja, ya?"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun