"Skak!" Suara tawa itu menggema. Aku menjambak rambut, lalu mengeluarkan lima ribuan dari kantong celana.Â
Menghempaskannya kesal. Uang terakhir itu akhirnya melayang. Saad seperti harimau mengaut dan menciumnya.
Aku bersandar di rusuk pos ronda Terngiang keluhan istri tentang beras yang hampir habis. Juga lauk tak ada kecuali sambal terasi dan ikan asin. Bambang meneriakkan sepatu sekolahnya menganga seperti mulut buaya. Pasal ancaman Pak Sap akan menggunting rambut murid yang panjang, pun memenuhi kepala. Rambut anakku sudah menyentuh daun telinga.
Minggu kemarin Mandor Salim memanggilku ketika berada di dekat mesin pabrik. Itulah panggilan terakhirnya kepadaku. Dia menyerahkan selembar kertas, bahwa aku di PHK. Bukan karena kinerjaku menurun, hanya saja sedang ada pengurangan karyawan. Perusahaan sedang pailit.
Uang dalam amplop agak tebal dia serahkan, lalu kugenggamkan ke tangan istri dengan mengeluhkan; aku telah dipecat. Hujan di luar seketika pindah ke bola matanya. Dia mengelus perutnya yang membuncit, hampir sembilan bulan.
"Bang," ucapnya lesu.
Kira- kira apa yang akan dia repetkan ketikaÂ
mengetahui uang lima puluh ribu sudah kupakai untuk berjudi?
Aku melangkah lesu menuju pinggir jalan. Panggilan Saad tak kupedulikan, meski dia merayu kami main catur tanpa taruhan.
Hmm, andai aku masih bekerja, mungkin aku tak secemas ini. Uang pesangon pemberian dari Salim, hampir dua pertiga digunakan untuk membayar uang kontrakan, iuran listrik dan PAM. Â Aku juga sudah memasukkan lamaran ke beberapa perusahaan, tapi semuanya menolak. Sekuat apa nilai jual ijazah SMA, apalagi umurku sudah lewat kepala tiga?
Apa pula alasanku kepada istri tentang uang lima puluh ribu itu? Apakah untuk membeli rokok? Rasanya tak ada harga sebungkus rokok lima puluh ribu. Lagi pula aku hanya perokok pasif.
Saat pikiran kacau, seseorang menepuk bahuku. Melihat aku terkejut, dia tertawa dan meminta maaf. "Eh, kamu tak kerja, ya?"