"Perusahaan tempatku kerja sedang pengurangan karyawan. Aku dipecat, Mulkan," jawabku lesu.
"Wah, Alhamdulillah kalau begitu!" Dia tersenyum senang. Tinggal aku yang mengomel. Teman di PHK kok senang?Â
"Maksudku aku ingin mengajakmu bekerja."
Aku langsung tersenyum. "Aku mau! Kerja apa?" Ternyata rejeki itu tak lari ke mana.
"Anak buahku sedang sakit. Jadi sementara kau yang menggantikannya. Kau tahu aku ini seorang tukang. Kau akan menjadi keneklah."
Mulkan seperti memukul ulu hatiku. Apa? Menjadi kenek? Wah, Mulkan ingin mempermalukan kawan sendiri. Masa' tamatan SMA hanya bekerja menjadi kenek!
"Malu, ya? Hasyim, supaya kau tahu, hidup ini tak boleh milih-milih kerja. Apa saja asal halal, ambil. Apa kau lupa aku ini harusnya menjadi apa?"
"Seorang guru."
"Sebab tak ada pekejaan yang lowong untukku menjadi guru, maka aku mengajari bahan bangunan agar menjadi rumah cantik dan berkualitas. Ayo, jalan!" Dia terkekeh.
Meski masih ragu, aku mengejar langkahnya yang terburu. Saat mulai bekerja membantunya, aku mulai sadar, menjadi kenek itu ternyata tak bisa dianggap sepele. Keringatku yang mengucur melebihi keringat saat menjadi  karyawan pabrik. Mataku sering berkunang-kunang, sehingga aku juga harus sering mengaso. Mulkan hanya tertawa melihat tenagaku yang kedodoran.
"Bagaimana, jadi kenek itu asyik kan?" tanya Mulkan sebelum kami pulang kerja.
"Capeknya nggak ketulungan, Mul," jawabku sambil mengunyah ubi goreng. Saat itulah Mulkan menggenggamkan uang seratus ribu ke tanganku. Mataku langsung berbinar. Rasa capek langsung lenyap. "Mudah-mudahan besok anak buahmu masih sakit, jadi aku masih bisa ngenek," lanjutku sambil tertawa.
"Doa kok jelek!" Mulkan memukul lenganku. Aku semakin keras tertawa. Sebentar lagi aku tiba di rumah sembari membawa beras dan sekilo telor. Haha!