Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Bagaimana Kami Makan, Bang?

14 April 2020   23:01 Diperbarui: 14 April 2020   23:01 240
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

Urat-urat saya bertonjolan. Terbit  keringat sebesar biji jagung di kening. Siang nanti mudah-mudahan berakhir panas terik. Ini hari saya. Rejeki orang tak mungkin tertukar.

Saya ingat keluhan istri tadi malam. Tentang beras yang tinggal beberapa genggam. Tentang susu kental yang sudah kering. Kalaupun kalengnya diperas, pasti tak akan menghasilkan setetes apapun.

Istri  bisa mengganti susu kental dengan air tajin. Tapi dia takut Menar tak suka. Bila tak suka sesuatu, anak itu bisa menangis histeris. Suaranya lebih menjengkelkan dari kucing yang sedang kawin di atas atap, lalu membuat asbes retak di beberapa sisi. Bagaimana dengan beras?

Suara ngiat-ngiot tatkala saya mengayuh sepeda, membuat semangat ini terpacu. Saya ingin sepulang berjualan, wajah-wajah buah hati belahan jiwa itu sumringah. Apalagi yang lebih membahagiakan di dunia ini kecuali melihat wajah mereka berseri-seri.

Kotak persegi empat di boncengan pun tak mengecewakan. Istri  memang jagonya hampir segala kuliner. Termasuk urusan membuat es lilin. Ada rasa jeruk, coklat, kacang ijo, juga nanas di kotak itu. Pokoknya semriwinglah. Maka tepat pukul sepuluh, saya membelokkan stang sepeda ke arah Lorong Jambu.

Saya heran, lorong itu ditutup menggunakan bangku panjang. Ada sebuah spanduk dibentangkan; Lauk Daun, begitu bunyinya. Saya menebak bahwa sedang ada kenduri. Tumben, biasanya kalau kenduri, paling tidak  disediakan kari kambing. Atau minimal ayam gulai. Nah, ini lauk daun! Apakah orang di lorong itu begitu melaratnya, hingga kenduri terpaksa berlauk daun?

"Kok tutup-tutup segala, Mas Sap? Kenduri, ya? Ajak-ajak, dong!" Saya turun dari sepeda.
"Pala lu peyang! Ini jaman wabah, jadi harus lauk daun. Sana, sana!"

Saya bersiul-siul, kembali mengayuh sepeda dengan riang. Riang saya tinggal setengah. Di Lorong Jambu, biasanya ada pelanggan tetap. Es lilin  bisa laku sebuluh batang. Tapi kali ini saya apes. Baiklah, mudahan-mudahan ada yang memanggil. Matahari semakin terik menyilaukan mata.

Namun, jangankan orang yang memanggil, angin saja ogah berhembus. Jalanan lengang. Trotoar yang biasanya penuh gerobak penjual sarapan, semua berselimut terpal aneka warna. Saya tiba-tiba teringat wajah Miah. 

Ya, Allah saya sangat tak ingin melihat wajah istri ditekuk karena sedih. Saya tak mau melihatnya menangis. Saya juga teringat wajah Menar. Apa jadinya bila dia menangis histeris? Apa jadinya kalau sampai seharian? Tetangga bisa protes.

Ah, masih belasan lagi lorong yang belum saya masuki. Mudah-mudahan es lilin saya laris-manis.

Saya berhenti di Lorong Mangga, ada spanduk tertulis; Lokdaun. Saya berhenti di Lorong Kuini, ternyata sama saja, ada Lokdon, Pandangan saya berkunang-kunang. 

Berbagai model tulisan menghantui pikiran saya. Lauk Daun, Lokdon, Kelok dong! hingga lockdown. Pikiran saya semakin terhantui ketika terdengar suara Azan Dzuhur. Itu artinya saya harus shalat dulu. Tapi setelah itu apa? Perut saya melilit, sementara saya tak memiliki serupiah pun.

Selepas Ashar, tak ada perubahan yang berarti, kecuali lima batang es lilin hilang di perut saya. Semua es yang semula sekaras batu, berubah menjadi seencer susu kental. Haruskan saya pulang tanpa membawa apa-apa?

Saya masih mencoba peruntungan hingga Maghrib. Tetap tak ada pembeli. Hingga Isya, tak lebih telur busuk. Selepas Isya saya putuskan pulang ke rumah. 

Hanya orang gila yang berjualan es keliling kota hingga larut malam. Apapun yang akan terjadi, terjadilah.
Saya lunglai pulang ke rumah. Terbayang pintu depan belum ditutup. 

Tangisan Menar sayup-sayup menjangkau jalan. Istri menengadah di depan pintu. Mungkin sedang mengusir suntuk sambil menghitung bintang. Apa saya sanggup menjumpai mereka tanpa membawa sepeser uang?

Ternyata pintu depan sudah tertutup. Lampu di ruang tamu merangkap dapur masih menyala. Perlahan saya menyenderkan sepeda di dinding rumah.

Air mata saya mengambang. Saya berjinjit membuka pintu yang sering tidak dikunci kecuali saya sudah pulang berjualan. Saya tidak ingin membuat Miah terbangun, lalu melihat tatapannya yang kecewa ketika suaminya pulang tanpa uang.

Saya kemudian tersentak melihat ada tepung, minyak dan susu bubuk di atas meja. Di sudut ruangan ada sekarung beras ukuran sepuluh kilogram. Darimana Miah mendapatkannya? Apakah dia?

Saya terduduk lesu. Saya teringat kejadian hampir lima tahun lewat. Seorang perempuan sedang berlari ketakutan dikejar massa. Saya berhasil menyembunyikan perempuan itu di markas. Saat itulah dia bercerita dikejar massa karena mencopet tas seorang ibu. Saya hanya tertawa. Saya mengatakan kami seprofesi. Uang di dalam tas kami gunakan untuk foya-foya.

Namun ketika saya jatuh cinta, lalu menikahinya, kami sudah bertekad meninggalkan dunia hitam. Meski terkadang tangan gatal untuk melakukannya karena tuntutan ekonomi, kami tetap bertahan. Jadi darimana semua barang pangan itu? Apakah Miah diam-diam melakukannya kembali?

Sebentuk wajah tiba-tiba muncul di balik tirai. "Eh, Abang sudah pulang? Alhamdulillah, Bang, Pak Jalal memberikan kita sembako serta susu si adek."

Saya terperanjat. Hampir sepuluh tahun lalu, saya berhasil mencuri lima ekor ayam Pak Jalal. Tapi sekarang balasannya apa? Air mata saya pun tumpah. Selain terharu mendapat bantuan darinya, saya juga terbayang nasib orang setaraf saya.  

Bagaimana mereka bisa bertahan di tengah wabah ini bila tidak ada Pak Jalal-Pak Jalal lain? 

Kelayapan bisa membuat orang seperti kami sakit, bahkan mati karena diserang wabah. Bertahan di rumah bisa membuat kami sakit, bahkan mati sebab kelaparan. Istri memeluk saya, dan kami menangis haru.

0o0o0sekian0o0o0

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun