Tak banyak yang tahu lorong itu. Orang bebas saja menyebutnya; Â Lorong Rona karena gerbangnya berwarna merah merona. Lorong Ona karena pak rt bernama Bu Ona, oh salah, maksud saya bu rt. Atau bisa juga menyingkatnya dengan nama Lorona. Tapi karena hampir sebelas-dua belas dengan nama wabah, akhirnya penyebutan itu dilarang. Entah apa maksudnya, saya juga tak tahu, dan sama sekali tak ingin mencari tahu. Mungkin mencari tempe bisa saya pertimbangkan.
Mari kita melongok rumah paling depan dengan nomor 01. Rumah itu dihuni oleh sepasang drum saking gemuknya. Bu Piah nama sang istri. Pemilik warung yang jarang bicara, tapi sering mengunyah. Tubuhnya bentol-bentol seperti ditancapi paku. Ya, mungkin sedikit lebih mirip dengan Corona. Tapi bentol di tubuhnya itu timbul pada saat dia remaja, asbab  penyakit cacar air.
Pak Parazi adalah suaminya. Orang sering memplesetkannya Paparazi. Seorang lelaki tambun yang tak boleh dibilang tampan kecuali oleh Bu Piah.
Cita-cita Parazi menjadi guru ilmu bumi. Hanya saja cita-cita itu enggan dia raih. Setamat SMA dia berhasil memindahkan peta Sumatera ke punggungnya. Itulah yang membuat Parazi selalu menggaruk-garuk. Menggaruk sama dengan bergerak.  Bergerak  berhubungan dengan olah tubuh, akhirnya dia menjadi guru olah raga. Meski itu tadi, orang sering salah tafsir apakah dia sedang senam atau sedang menggaruk panu.
Penghuni ketiga di rumah itu adalah perempuan. Mungkin kau menebak, dia lebih cocok menjadi balon ulang tahun. Ah, kau salah menebak. Belum tentu tampilan anak selalu mirip dengan orangtua. Bak kata pepatah buah jatuh tak jauh dari pohonnya, maka pepatah itu tak berlaku baginya.
Dia dipanggil Lori. Pemilik tubuh semok bohay dengan bongkahan belakang bisa dijadikan tempat membonceng. Tentu bila ada kembang pastilah banyak kumbang. Tak terhitung berapa kumbang yang mengitarinya.
Was-was Bu Piah, membuatnya sering mewanti-wanti agar Lori jangan sering keluar malam. Angin malam itu jahat. Lori bisa kembung. Tapi perempuan ting-ting ini bisa memberikan alasan yang win-win solution. Dia berjanji tak akan pulang malam, melainkan pulang pagi. Perbandingan pagi dan malam, tentu saja lebih muda pagi. Ah, masuk akal. Lori memang anak baik.
Maka itu Bu Piah sangat setuju solusi anaknya. Meski dia tetap menunggu dan membukakan pintu bagi Lori sembari menonton drakor yang membuatnya berair. Kalau orang lain itu yang berair matanya, sedangkan Bu Piah mulutnya. Sangat susah membedakan apakah Bu Piah yang menonton drakor, atau drakor yang menonton Bu Piah.
Berbilang bulan kemudian, rumah 01 meledak. Lori masuk angin, kembung dan muntah-muntah.  Parazi mencari obat paten di toko Koko Han. Hasilnya Lori  kentut-kentut.
Nasib apes rumah menjadi busuk. Nasib baik nyamuk pada minggat. Akan hal masuk angin tetap tak sembuh-sembuh. Saat Parazi memangil bidan Bibah, hanya satu resep yang dia sarankan, yaitu memanggil penghulu.
Usut punya usut, di rumah 01 sekarang ini ada lima kepala. Satu orang hasil dari masuk angin. Satu orang yang pernah masuk angin. Satu orang pemompa angin. Terakhir dua orang yang waspada agar jangan sampai terkena angin duduk. Itulah mengapa jangan suka cari angin, apalagi malam-malam. Â Salah masuk angin, yang runyam seluruh lorong.
Hebohnya membuat kedai sampah bertimbun sampah emak-emak garis keras. Iya kalau kemarin  itu  Lori cuma angin duduk, paling-paling si angin hanya  minta ditraktir makan. Kalau angin topan kan bahaya!
Oh, ya sebelum lupa, sekarang ada tiga drum menghuni rumah itu. Kau mau menjadi drum keempat? Psst, dengar-dengar Lori hamil lagi. Lakinya memang tukang tambal ban jempolan.
-----
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H