Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Orang Simpang

27 November 2019   12:26 Diperbarui: 27 November 2019   13:45 179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi: pixabay

Baca juga : https://www.kompasiana.com/rifan51637/5dddf475d541df0b3142a0c2/rindu-itu-harus-berlalu 

Aku masih berdiri di simpang. Ragu melanjutkan perjalanan, ke kanan atau ke kiri. Laju sepeda kuhentikan. Hari itu begitu indah. Aku seakan melihat matamu di langit, mengedip manja. Apakah kau akan mengajakku ke suatu tempat? Sebuah taman luas di belakang rumahmu. Pohon-pohon rimbun. Bunga aneka rupa, dan baunya nyaris serupa; wangi. 

Kita mengejar rama-rama, bukan untuk menangkap, tapi ingin melihatnya terbang meningkahi angin nakal yang turun dari atas bukit. Aku sempatkan juga menangkap seekor capung, lalu diam-diam mengikat ekornya dengan benang. Aku terpingkal-pingkal melihat ada capung  berekor tipis dan panjang.

Sudahlah! Aku sudah meminta maaf tidak akan mengulanginya kembali. Kau lihat kan aku telaten melepaskan ekor capung itu dari belitan? Tapi semua ini salahku. Capung itu cacat. Dia seperti helikopter yang baling-balingnya patah satu. Dia tersungkur ke tanah, lalu terbang lagi, tersungkur pula, dan aku berjanji akan mempersembahkan es krim kepadamu untuk memohon maaf.

Katamu aku tak perlu memohon maaf. Aku hanya perlu meminta maaf kepada semua binatang yang kuganggu. Diciptakannya binatang-binatang indah, bukan untuk dimiliki. Cuma sekadar dinikmati. Seperti  aku menikmati mata kejoramu. Rambut ikal berombak-ombak dan berkepang dua. Dagu lancip dan hidung mancung. Kulitmu yang putih mulus. 

Aku sering mencuri pandang bulu tanganmu yang tumbuh rapat seperti savana. Kau akan merajuk. Kau tanya aku sedang melihat apa. Kataku tanganmu merah digigit nyamuk. Itulah kesempatanku mengelus tangan berbulu itu. 

Tapi apakah lakuku berdosa? Ayah kata, anak seumuran kita tidak berdosa. Salah kita sering ditimpakan kepada orangtua yang tak mau mengajari berbuat baik. 

Tapi bukankah Ayah tak melihat lakuku? Hmm, mungkin dosaku akan ditabung, setelah itu celengan itu akan dipecahkan pada saat aku akil balik. Seperti itukah? Sial! Otakku kecilku terlalu kecil memikirkan itu. Tapi jujur, aku tetap suka kepadamu. Inikah namanya cinta? Wajarkah?

Kata Mbak Anum, cinta anak kecil itu semacam cinta monyet. Maka itu aku sering berkaca di kubangan air ketika bersamamu. Aku menyeringai. Kau tertawa melihat tingkahku. Tapi aku yakin Mbak Anum benar. Wajahku terlihat seperti Monky, monyet si Asop. Benar pula perkataannya. Sekali lagi aku mirip monyet!

Aku kemudian mendorong sepeda. Pagar-pagar rumah yang terbuat dari bilah papan diserut rapi, kupegangi pelan, seolah aku takut terjatuh.  Atau mungkin agar lambat bertemu dirimu. Aku takut melihat api menyala matamu. Menyembur, mencoba menghanguskanku. Kau bagai si mata api. Aku sangat takut. Baru pertama aku melihatmu sangat marah. Kali itu.

Jujur, sebagai kekanak lanang, aku memang suka dengan api. Bila Ibu membakar sampah, aku dan anak lanang lain menari-nari seolah orang purba yang takjub melihat merah, menjilat-jilat seperti lidah. Di kepala kami melingkar daun kelapa yang masih hijau. Kami mengapung-apungkan tinju. Bernyanyi ole-ole.

Ibu berulangkali menyuruh kami berhenti, karena api bisa jahat menjilat kami. Akhirnya dia mengambil seember air parit yang penuh jentik-jentik nyamuk. Maksudnya hendak menyiram api. Tapi air parit melangkahi rumpun bara sampah itu. Menguyur kami yang sedang menari-menari. Kami semua meghambur ke sungai. Kami saling mengejek mirip si Monky monyet.

Dan kali itu aku memang menyengaja bermain api dekat rumpun bunga. Pertama-tama dengan kertas. Kedua kali, aku bosan melihat api kurang besar, maka kuambil patahan-patahan ranting kering. Senang juga melihat api agak membesar. Saat itulah ibumu meneriakkan es cendol. Kita berlarian ke dapur. Bercup-cap kesenangan. Makan es cendol di siang yang terik, alamatlah segarnya. Aku sampai lupa tentang api. Tapi aku sadar ketika tiba-tiba ibumu menjerit. Serumpun melati kesayanganmu hangus terbakar. Itu pasti karena api yang kubuat terlalu besar. Tapi mengapa sampai menghangus rumpun melati itu?

Ibumu kelabakan. Dia mengambil sebilah galah bambu. Dipukul-pukulnya membabi buta api itu. Untunglah dia berhasil memadamkankannya. Tapi padam pula cahaya matamu, melihat beberapa  rumpun melati lagi, tewas terkena sabetan galah bambu ibumu. Kenangan pahit itu lenyap.

Aku pun berhenti melihatmu  merenung di halaman. Kau memakai gaun yang aku suka. Kembang-kembang berwarna ungu. Tapi aku tak suka tatapmu. Mulutmu runcing. Kau katakan kita musuhan. Kau melemparku dengan ranting kayu. Tak kena. Kau ganti dengan kerikil. Tak sakit. 

Akhirnya kesal kau hantam aku dengan pecahan bata. Hasilnya keningku bocor. Kau ketakutan masuk ke rumah. Ibuku yang sedang melintas di depan rumahmu, menjerit dan membawaku ke rumah sakit. 

Kau tahu, setelah itu kita dilarang bersua. Ibumu dan Ibuku bermusuhan. Padahal kita berjanji akan temanan sebelum tiga hari. Kata Ayah Asop, musuhan itu dilarang agama. Apalagi lebih dari tiga hari. Berdosa. Tapi kita harus bersabar untuk pura-pura bermusuhan. Orangtua memang senang bermusuhan lantaran anak, meski pun sebenarnya para anak ingin berbaikan.

Dan sekarang dua puluh tahun berlalu, kita berada di taman. Bukan taman yang indah kataku. Tapi ini taman menyeramkan. Taman pemakaman umum. Aku melihat wajahmu kusut. Kecantikan itu hilang. Hampir-hampir kau pingsan. Tapi saat melihatku turun dari Alphard hitam metalik, tangismu terhenti. Aku takut melihat api di matamu. Api itu seolah bisa menembus kacamata hitam yang kau kenakan. Kau seperti ingin membakarku.

Ya, salahku karena ingin kerja cepat dan murah, membakar habis hutan di kaki bukit itu. Tanah di situ memang punyaku. Mau kuapakan saja itu hakku. Tak ada yang boleh melarang. Tapi aku lupa. Udara itu milik bersama. Kalau aku sendirian yang mengisap asap sisa pembakaran hutan, tak mengapa. Tapi ini semua orang terpaksa menikmati bau terbakar itu. Bukan hanya di kampung ini. Bahkan kota lain. Bahkan negara lain. 

Dan aku tahu anak bungsumu yang berusia sembilan bulan itu. Dia terkena imbasnya. Dia memang sejak lahir sering sesak napas. Maka terkena asap pembakaran itu, sesaknya napasnya menghebat. Dokter di rumah sakit menyerah menanganinya setelah seminggu berlalu, dia tak ada perubahan ke arah sehat. 

Hingga hari kesepuluh, dia meninggalkan dunia fana dengan damai. Sementara aku dan kau semakin berjarak. Kita berada di simpang jalan. Aku tetap ingin berkawan denganmu, kendati untuk tidak memiliki. Tapi kau memilih jalan yang berbeda, dan kita pasti tak akan bisa berjumpa. Ah, aku memang monyet! Sialan!

---sekian---

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun