Gedung hijau lumut itu terkesan angkuh. Asop tersenyum, turun dari Alphard pinjaman sambil membetulkan letak dasi yang tak fasih dikenakan istrinya. Kerja butuh penampilan agar cepat dipercaya orang. Hanya untuk penampilan luar, tidak untuk penampilan dalam, kendati otak cekak.
Demi penampilan luar, semua barang yang dikenakan bisa saja pinjaman. Sama seperti saat Asop menjadi pengusaha depot barang butut, selalu mudik ke kampung membawa mobil. Paling tidak sekelas Innova, tapi membuat warga kampung menganga.
Seorang security tertunduk-tunduk, mempersilakannya masuk. Asop tersenyum bangga. Dulu, security itu tetangganya. Sombong bukan main. Namun sesama orang sombong tidak boleh saling mendahului.
Sekarang giliran Asop memiliki tanduk. Security itu hidupnya di ujung tanduk. Kehidupan ini terus berputar. Kadang di atas. Suatu kali berada di bawah. Tapi belum tentu itu berlaku pada kesombongan. Sombong itu kerap bercokol sampai pemiliknya mati. Tak pernah pula suatu kali si sombong menjadi rendah hati, apalagi rendah diri.
Asop bekerja di tempat yang paling tinggi di gedung itu. Tapi anehnya, di situlah sebuah kerajaan tikus berada. Entah bagaimana mereka bisa membuat kerajaan di tingkat atas gedung itu. Bagaimana para tikus naik dari lantai pertama ke atas. Jalan kaki? Atau naik lift? Sungguh, itu tak perlu dipikirkan.
Kita lihat bagamana Asop menghirup udara dalam-dalam saat disembur ac sebesar lemari. Perempuan di lobi ketakutan, bagaimana seandainya lelaki di depannya tak mau mengeluarkannya lagi. Pagi ini tentu saja menjadi hari buruk baginya. Namun melihat perempuan yang cantik selangit, Asop bukan saja mengeluarkan napas. Dia ngos-ngosan. Kalau saja istrinya secantik itu.
Hmm, dia memberi perempuan itu senyum tertampan yang dia punya. Meski dia hanya nyengir. Dia hari-hari memang mirip seekor kuda yang suka meringkik. Harap dimaklumi, giginya memang tak rata. Agak terlalu maju ke depan. Seperti bemo. Itu artinya dia tidak tampan. Tapi prinsip agar bisa sukses, terutama menggaet perempuan, lelaki hanya butuh ketampananan satu persen. Sembilan puluh sembilan persen itu uang. Prinsip itu tak selalu, namun seringkali.
Dia melambatkan masuk ke dalam lift. Sebentar dia duduk di sofa. Membaca majalah bisnis yang tak masuk di otaknya. Dia hanya faham berapa harga majalah sekilo. Dengan pura-pura khusyuk membaca, dia mengintip kaki mulus itu. Roknya sangat mini. Hampir sejengkal di atas lutut. Dia tak lecet, plus tanpa koreng. Ada ya kaki semulus itu di kota ini? Asop baru pertama kali melihatnya.
Sementara nun di loteng tingkat atas, para tikus kelihatan sibuk mempersiapkan penyambutan. Asop adalah pekerja berikutnya. Pekerja lain sudah hengkang. Mereka sudah lima tahun bekerja, dan tercatat lima kali diketahui atasannya korupsi. Itu hanya yang diketahui, dan menjadi terkendali karena si atasan mendapat percikan. Bagaimana dengan korupsi lain yang disimpan rapat-rapat?
“Pokoknya kita harus berhasil membuat kerajaan bisnis di sini,” kata tikus tua bermahkota tutup bir. Dia terlihat gagah berselempang uang seratus ribu. “Apa gunanya kita digelar tikus kantor, yang otaknya berapa giga derajat dibanding tikus got dan rumah. Apalagi dibandingkan dengan cecurut yang dari lahir sudah rabun itu.”
Tikus yang lebih muda menimpali. “Perjuangan kita untuk mendirikan kerajaan tikus kantor ini sudah berdarah-darah, Bos. Bahkan kita berhasil membangun bisnis aplikasi, bagaimana menjadi tikus yang jujur di luar, tapi di dalam adalah penipu.” Dia menunggu atasannya tertawa. Setelah atasannya tertawa, tikus muda ikut mengiringi, juga dilanjutkan tikus lain. Bercicit-cicit memenuhi seantero ruangan lima kali empat meter itu. Namun mendadak senyap ketika ada yang membuka pintu; Asop.