Mohon tunggu...
Rifan Nazhip
Rifan Nazhip Mohon Tunggu... Penulis - Menebus bait

Karyawan swasta dan penulis. Menulis sejak 1989 sampai sekarang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jembatan Terakhir

8 November 2019   17:29 Diperbarui: 8 November 2019   17:47 109
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber ilustrasi : pixabay

di tempat ini
di tempat pertama aku menemukanmu
kembali kudatangi tempat ini
tapi kudengan yang lain

samar kudengar
suara yang selalu kukenal itu suaramu
kau terlihat bahagia bersamanya
dia kekasihmu yang baru

aku pun terdiam
saat gadis kecil berlari ke arahmu gadis kecil yang miliki mata indah persis seperti matamu

dan kau tersenyum (aku pun tersenyum)
dan kugenggam tangan wanita di sampingku
(dan kau genggam tangannya, dan kau genggam tangannya)
dan berkata lirih di dalam hati (lirih hati) tentang semua ini

(By Virgoun feat Audy)

Ketika berdiri di jembatan ini, tetiba saya merasa dilahap kenangan. Saya membayangkan perempuan berambut bob itu merebahkan kepalanya di samping saya. Aroma urang-aring menyemburat dari ujung rambutnya. Saya melihat dia begitu menikmati pemandangan di bawah sana. Sepasang angsa dan empat anaknya. Begitu riang! Berkejaran, atau seperti main petak-umpet menyembunyikan kepala. Lalu meleter bahagia sambil menggoyang-goyangnya.

"Mas mau punya anak berapa?" Manik matanya menghunjam jantung saya. Ada binar-binar kebahagiaan di situ.

"Kau ingin berapa? Kalau aku ingin sebelas orang."

"Kenapa sebanyak itu?"

"Mau membentuk tim sepak bola."

"Dasar pemain sepakbola!"

"Kalau kau?"

Dia  berlari menjauh, mendekati pedagang balon. Dia membelinya dua buah, lalu mendekati saya. Satu buah dikasihkan kepada saya, dan satunya di tangannya. Entah apa mau Siska, seperti anak-anak saja. Tapi sebentar kemudian, saya mulai mengerti apa maunya.  Dua utas benang balon itu dia ikatkan. Katanya itu mengibaratkan dirinya dan saya.

"Semoga seperti ini cinta kita, sampai ruh meninggalkan jasad." Siska menerbangkan kedua buah balon itu. Dia menjerit-jerit senang. Seakan hidup ini untuk selamanya.

Hanya saja jerit senang itu punah ketika kami pulang dan menemukan wajah ayahnya yang merah padam. Dari dulu kami memang sering main kucing-kucingan dengan lelaki itu. Salah saya tak pernah permisi kepadanya ketika akan membawa jalan Siska.

Saya merinding mendengar ayahnya menceracau. Apa yang Siska harapkan dari seorang pemain sepak bola? Kaki yang patah atau tangan yang keseleo? Mau makan apa Siska bila bersama saya? Apa dia sanggup makan bola?

Amukan ayahnya segila itu, semata-mata karena mendengar Siska memutuskan akan menikah dengan  saya dalam waktu dekat. Jujur, itu memang atas desakan saya. Lebih dari jujur, itu juga permintaan ibu saya karena ingin secepatnya memomong cucu.

Dapat kau bayangkan apa yang terjadi selanjutnya. Saya memang bukan pemilik Siska. Jadi, ketika ayahnya mengirim putrinya itu ke Kota Kembang, apa yang bisa saya perbuat? Kami masih sering berkirim-kiriman surat. Dan saya tetap berjuang meyakinkan ayahnya. Hasilnya hidung saya bocor bukan lantaran bola, tapi karena hantaman tinju anak buahnya. Sejak saat itu saya dan Siska tak bisa lagi berhubungan. Saya memang tetap berkirim surat, namun selalu tak berbalas. Saya merasa hancur. Hingga di tahun kelima kami berpisah, Siska mengirimkan saya undangan pernikahan.

Saya mencoba menata hati, tapi tetap semakin terpuruk. Kegiatan saya bersama tim sepak bola tak lagi seintens dulu. Saya lebih banyak bolos untuk merenung di jembatan ini. Hingga Safitri membantu saya bangkit. Dia yang mengangkat semangat saya agar menjadi pemain profesional. Dia yang telaten mengikuti saya, bahkan ketika bertanding ke luar kota.

"Apakah orangtuamu tak marah?" tanya saya kala itu.

"Mereka akan marah karena saya lecet. Tapi sampai saat ini saya tak penah lecet, kecuali..." Dia menggantung ucapannya.

"Kecuali hati saya yang lecet karenamu." Dia tertawa terbahak. Tapi dia hanya bisa tersenyum malu ketika setahun kemudian saya mengecup keningnya di hari pernikahan itu. Lihatlah, sekarang kami sudah memiliki dua anak. Mereka kelihatan riang mengejar rama-rama. Safitri merebahkan kepala di bahu saya. Rambutnya memang bukan dipotong bob, tapi bagaikan mayang terurai. Tapi dia milikku selamanya untuk saat ini.

Saya harus berlari ketika mendengar anak sulung saya menangis. Dia memegangi kakinya yang memar. Ketika saya sudah di dekatnya, dia langsung menunjuk anak perempuan berambut bob yang ketakutan. Matanya mengerjap-ngerjap seperti akan menangis. Saya yakin anak perempuan itu yang mencelakai putri saya. Hanya saja saya hanya bisa mematung. Saya seolah melihat Siska junior yang bersedih ketika akan berangkat ke Kota Bandung. Dia pun menangis.  Maksud saya Siska. Oh, anak perempuan itu menangis juga.

Seorang perempuan segera berlari dan merangkulnya. Aku  terpana. Puluhan tahun terlewat alangkah dia tetap memesona. Saya mengerjapkan mata. Tapi saya tidak sedang bermimpi.

Anak saya sudah berhenti menangis. Dia memegang erat kaki saya.

"Siska!" Hati saya luluh. Seorang lelaki gagah mendekatinya.

"Ada apa, Ma?" Dia bertanya.

"Biasa, anak-anak!" jawabnya salah tingkah.

Lelaki itu menatap saya sendu. "Maafkan putri saya, ya. Dia memang suka nakal. Mari, Mas." Dia membawa Siska pergi. Sementara saya hanya bisa  terpaku. Lumayan lama. Sampai akhirnya sebuah sentuhan lembut menggamit lengan saya. Apakah Siska kembali untuk mengatakan dia rindu? Ah, saya salah. Seorang perempuan bernama Safitri berdiri di sebelah saya.

"Ada apa, Mas?" tanya istri saya.

"Ah, biasa, anak-anak," jawab saya sambil menggendong si bungsu.

"Apakah semua baik-baik saja?"

"Ya, pasti," jawab saya mantap. Tapi saya tak yakin apakah hati saya sedang baik-baik saja. Saya melihat dari jauh Siska, suaminya, dan anak perempuan itu naik ke dalam perahu bebek-bebekan. Saya membayangkan orang yang memegangi tangan Siska itu adalah saya. Saya membayangkan orang yang membiarkan dada bidangnya menjadi tumpuan kepala Siska adalah saya.

"Apakah semua baik-baik saja, Mas?" Safitri kembali bertanya.

"Pulang yok. Kayaknya mau hujan."

"Ah, papa ini. Baru saja setengan jam kita di sini, sudahlah mau pulang." Dua anak saya protes.

Safitri melingkarkan tangannya dengan manja di pinggang saya. Saya merasa amat sangat tak baik-baik saja.a

Sapta, 081119

---sekian---    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun