Panggung Krapyak yang merupakan salah satu situs bersejarah yang terletak di Yogyakarta, dengan beberapa peran signifikan di dalam beberapa aspek masyarakat seperti budaya, spiritual, dan historis masyarakat Jawa. Panggung Krapyak sendiri sebagai salah satu bagian dari sumbu filosofis kota Yogyakarta yang membentang dari Laut Selatan, Panggung Krapyak, Kraton, Tugu Yogya, hingga Gunung Merapi, keberadaan panggung Krapyak sendiri telah diakui oleh UNESCO sebagai warisan budaya dunia (UNESCO, 2017). Panggung Krapyak tidak hanya menjadi simbol fisik bagi masyarakat Yogyakarta, namun situs ini juga memiliki makna simbolis mendalam yang mencerminkan filosofi kehidupan manusia khususnya Jawa. Dalam konteks lokal, panggung Krapyak atau yang lebih dikenal dengan sebutan “Kandang Menjangan” dimaknai juga sebagai Yoni atau rahim kehidupan, dengan keterkaitannya pada elemen-elemen lingkungan sekitar seperti pohon asem dan kampung Mijen yang berarti benih ataupun Wiji (Susilo, 2008). Lebih dari itu, bangunan ini juga menyimpan simbol spiritual serta historis yang sangat mempengaruhi berbagai aspek dalam kehidupan masyarakat khususnya di Panggungharjo termasuk praktik-praktik ritual yang menjadi bagian integral dari tradisi masyarakat Panggungharjo. Esai yang dibawakan oleh penulis ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh Panggung Krapyak terhadap ritual yang dilaksanakan masyarakat sekitar baik yang bersifat tradisional maupun yang dijalankan oleh pihak Keraton.
Panggung Krapyak sendiri dibangun pada tahun 1782 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono I, fungsi awal Panggung Krapyak sendiri ialah sebagai benteng sekaligus tempat peristirahatan bagi raja dan prajuritnya ketika berburu menjangan ataupun kijang (Purwadi, 2007). Bangunan ini terbuat dari batu bata berlapis semen merah dengan ukuran 17,6 x 15 m dengan ketinggian 10 m serta memiliki dinding tebal 130 cm. Di setiap sisi bangunannya dilengkapi dengan satu pintu dan 2 jendela berbentuk lengkung di bagian atas, yang kemudian memberikan kesan kokoh namun sederhana. Bangunan ini terdiri dari dua lantai lantai pertama terbagi menjadi 4 ruangan dengan lorong yang menghubungkan pintu-pintu di sisi Utara, Selatan, Barat, dan Timur. Arsitektur ini dipercaya menyerupai Ka'bah sebagai simbol yang diilhamkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono I (Santoso 2015). Selain sebagai tempat berburu para raja, panggung Krapyak juga berfungsi sebagai lokasi meditasi spiritual raja yang menghadap langsung ke gunung Merapi, yang mempresentasikan hubungan manusia dengan alam serta Tuhan.
Panggung Krapyak, yang juga dikenal sebagai "kandang undangan", memiliki nilai kesakralan yang diakui oleh masyarakat sekitar maupun masyarakat di luar daerah. Titik kesakralan ini tidak terlepas dari filosofi Jawa yang memandang bangunan ini sebagai simbol rahim kehidupan dan pusat energi spiritual (haryono, 2019). Oleh karenanya, tidak sedikit dari masyarakat yang memanfaatkannya sebagai objek untuk melaksanakan ritual. Adapun beberapa ritual umum yang dilakukan di sekitar panggung Krapyak antara lain:
- penyebaran uang koin: masyarakat menyebarkan uang koin di sekitar bangunan sebagai simbol pengharapan atas rezeki ataupun keberuntungan (Rochmawati, 2020).
- Penyediaan sesajen: dupa, jajanan pasar, kembang, dan makanan-makanan tertentu diletakkan di depan pintu maupun disekitaran Panggung Krapyak sebagai persembahan kepada leluhur atau makhluk gaib penjaga tempat tersebut.
- Ritual tengah malam: ritual-ritual ini sering dilakukan di atas pukul jam 12.00 malam ataupun pada malam-malam tertentu yang dianggap sakral ataupun keramat, seperti malam Jumat Kliwon, malam satu suro, dan lain sebagainya.
Praktik-praktik ritual yang dilaksanakan oleh masyarakat tersebut mencerminkan perpaduan antara kepercayaan tradisional Jawa, pengaruh Hindu-Budha, dan ajaran Islam yang telah menyatu dalam budaya Masyarakat. Bagi sebagian Masyarakat, ritual ini bertujuan untuk memohon keberkahan, kelancaran hidup, atau sekedar bentuk penghormatan kepada leluhur.
Secara filosofis, panggung Krapyak mempresentasikan salah satu aspek penting dalam sumbu imajiner Yogyakarta yaitu asal usul kehidupan dan perjalanan spiritual manusia. Pohon asem yang tumbuh di sekitar bangunan dan keberadaan kampung Mijen mempertegas akan makna tersebut, dimana benih-benih kehidupan diibaratkan sebagai awal perjalanan menuju kesempurnaan spiritual (Soeroto, 2006). Disamping itu simbolisme ini selaras dengan konsep kosmologi Jawa yang melihat kehidupan manusia sebagai perjalanan dari kelahiran menuju penyatuan kembali dengan sang pencipta. Dalam konteks ini bangunan Panggung Krapyak ini tidak hanya berfungsi sebagai peninggalan Sejarah, akan tetapi juga sebagai pengingat bagi masyarakat akan tujuan hidup yang lebih besar.
Dapat disimpulkan bahwasanya, Punggung Krapyak sendiri memegang peranan penting dalam kehidupan spiritual serta budaya masyarakat di Panggungharjo. Sebagai bagian dari sumbu filosofis Yogyakarta, situs ini tidak hanya menjadi warisan sejarah yang berharga, tetapi juga sebagai pusat kesakralan yang terus-menerus hidup melalui praktik ritual ritual yang dilakukan oleh masyarakat dan tradisi Kraton. Melalui pengaruhnya Panggung Krapyak menjadi bukti bahwasanya nilai-nilai budaya, sejarah, dan spiritual dapat berpadu menjadi satu dalam keharmonisan masyarakat. Penelitian yang dilakukan oleh penulis mengenai makna simbolis serta fungsi sosial Panggung Krapyak dapat memperkaya pemahaman kita tentang peran situs-situs budaya lokal dalam membentuk identitas masyarakatnya. Dengan demikian pelestarian Panggung Krapyak tidak hanya berfungsi sebagi warisan budaya lokal, namun juga dapat dimaknai sebagai salahsatu warisan budaya Dunia sebagai salah satu simbol universal perjalanan spiritual manusia.
Daftar Pustaka
Haryono, T. (2019). Ritual dan Tradisi Masyarakat Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Purwadi, A. (2007). Sejarah Kraton Yogyakarta. Yogyakarta: Media Abadi.
Rochmawati, S. (2020). "Praktik Ritual di Situs Bersejarah." Jurnal Budaya Nusantara, 12(3), 45-58.
Santoso, I. (2015). Makna Filosofis Arsitektur Jawa. Bandung: Pustaka Nusantara.
Soeroto, K. (2006). Kosmologi Jawa: Antara Alam dan Manusia. Jakarta: Balai Pustaka.
Susilo, A. (2008). "Simbolisme dalam Tradisi Jawa." Jurnal Kajian Budaya, 10(1), 33-47.
UNESCO. (2017). Yogyakarta Philosophical Axis. Paris: UNESCO Press.
Wardani, P. (2014). Tradisi Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Kanisius.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H