Mohon tunggu...
Queen Queen
Queen Queen Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

not perfect enough...

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Disguise...

29 Februari 2012   04:52 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:46 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bukalah mata hati, ku masih cumbui bayang dirimu di dalam mimpi

yang mungkin takkan pernah membawamu di genggamku

Dirimu di hatiku tak lekang oleh waktu, meski kau bukan milikku

Intan permata yang tak pudar, tetap bersinar,

mengusik kesepian jiwaku… -Kerispatih-

Temaram merambat menuju malam. Tetes-tetes gerimis semakin merapat, menambah kegalauan sekian ratus manusia yang terjebak macet jalanan di luar sana. Terbayang betapa dinginnya udara, meski ratusan motor dan mobil yang berjajar di jalanan sekeliling taman kota itu masih menyalakan mesinnya. Semua pemandangan itu dapat disaksikan dengan jelas oleh dua anak manusia dari dinding kaca foodcourt di lantai lima sebuah mall besar di Surabaya.

Pertemuan mantan pasangan kekasih setelah hampir tujuh tahun terpisah itu jelas bukan sebuah pertemuan yang disengaja. Beberapa menit yang lalu mereka terlibat pembicaraan basa-basi di toko buku tepat di lantai bawah foodcourt dimana mereka berada kini. Apalagi yang bisa dilakukan ketika tanpa sengaja bertemu dengan sang mantan kekasih, selain sekedar berbasa-basi menanyakan kabar. Dan basa-basi itulah yang kemudian mengantarkan Rama dan Alya duduk berhadapan menikmati secangkir cappucino hangat di sore yang basah.

“Sudah berapa hari di Surabaya?”, tanya Rama memecah sekian detik keheningan.

“Baru tiga hari ini, Mas.”, jawab Alya menatap hangat laki-laki di depannya, sambil memamerkan senyumnya yang bahkan sampai detik ini masih sanggup menggetarkan hati mantan kekasihnya itu.

“Mmm… suamimu nggak ikut?”, tanya Rama kali ini dengan sedikit ragu. Jujur saja masih ada sakit hati terselip di hatinya ketika bertanya tentang laki-laki yang telah menggantikan posisinya di samping Alya. Yah, seharusnya dialah yang ada di posisi itu. Tapi, mau bagaimana lagi. Toh, kebersamaannya dengan Alya sudah menjadi masa lalu. Jelas Alya sudah berbahagia bersama keluarga kecilnya, dan sudah pasti melupakan semua kenangan lama saat bersamanya.

Alya terdiam sejenak, seperti tak disangkanya Rama akan bertanya demikian. Seolah didera rasa bersalah, beberapa detik senyumnya sempat hilang sebelum kemudian merekah kembali.

“Enggak, Mas. Aku sendiri. Kebetulan kerjaan suamiku sedang nggak bisa ditinggal.”, jawab Alya setelah sempat menyeruput cappuccino hangatnya.

“Ooh. Terus kapan rencana balik ke Lampung?”, tanya Rama lagi.

“Mungkin minggu depan, Mas. Aku masih kangen sama keluarga disini.”

Rama menatap lebih lekat perempuan di hadapannya itu. Senyum manis itu masih sama dengan dua lesung pipit yang menyertainya. Sorot matanya pun masih sebening dulu. Nyaris tak ada yang berubah. Kalaupun ada, itu tidak lain karena Alya terlihat lebih kurus, meskipun itu sama sekali tak mengurangi kecantikannya. Ah, betapa perempuan itu masih saja memiliki daya pikat di hatinya.

“Mas Rama sendiri, masih tinggal di Jakarta?”, tanya Alya membuyarkan keterpesonaan Rama.

“Hmm… Iya, masih. Aku cuma ambil cuti sebentar.”

“Istri Mas Rama ikut kesini juga?”, tanya Alya seolah membalas pertanyaan Rama sebelumnya.

“Mmm… enggak. Sama. Kebetulan kerjaan dia juga sedang nggak bisa ditunda.”, jawab Rama yang seolah-olah juga meniru jawaban Alya atas pertanyaannya beberapa detik lalu.

What???

Istri???

Hmm, jelas Rama telah berbohong dengan mengatakan istrinya tidak turut serta pulang bersamanya ke Surabaya. Karena terhitung sejak perpisahannya dengan Alya, Rama belum pernah menikah dengan siapapun. Tidak dengan Alya, tidak juga dengan gadis lain manapun. Jadi mustahil dia sudah memiliki istri yang bisa menemaninya pulang ke kampung halamannya. Yah, alasan apalagi kalau bukan dia pun ingin terlihat bahagia dengan kehidupannya sendiri, tak hanya Alya yang bisa berbahagia dengan keluarganya. Rama pun maklum atas pertanyaan Alya. Beberapa bulan setelah kepergian Alya ke Lampung, Rama sempat dikabarkan akan menikah dengan seorang gadis Jakarta pilihan orang tuanya. Mungkin kabar itu didapatkan Alya dari beberapa teman yang masih sempat dihubunginya waktu itu. Namun berita tentang batalnya pernikahannya itu sepertinya tak pernah sampai ke telinga Alya. Rama menolak perjodohan dari orang tuanya dengan alasannya sendiri yang tak banyak orang lain tahu. Kepergiannya ke Jakarta bukan untuk mengikuti perempuan yang sempat dijodohkan dengannya, akan tetapi karena dirinya sudah terlalu bosan dengan tekanan-tekanan yang diberikan orang tuanya, sehingga ketika salah satu saudara ayahnya menawarkan untuk tinggal di Jakarta, dia tidak menolak.

“Mas Rama punya kangen juga ya sama kampung halaman? Sampe dibela-belain ambil cuti buat pulang.”, kata Alya kali ini dengan tawa kecilnya.

Rama terdiam sesaat. Tak segera dijawabnya pertanyaan Alya. Matanya kemudian terpaku pada sekotak Marlboro putih yang tengah dimainkan tangan kanannya di atas meja. Betapa perempuan yang tak pernah hilang dari ingatannya itu tidak tahu apa saja yang telah terjadi pada dirinya sejak mereka berpisah.

“Bukan, Al. Bukan begitu.”, jawab Rama lirih.

Alya mengernyitkan dahi, jelas menunjukkan bahwa dia tak paham dengan jawaban Rama.

Rama menghela nafas panjang.

“Ibu meninggal, Al.”, jawab Rama kali ini lebih lirih lagi, namun masih bisa didengar dengan jelas oleh Alya. Sejenak Alya tersentak, seolah tak percaya atas apa yang baru saja di dengarnya.

“Apa, Mas? Maksud Mas Rama…”, ucap Alya sedikit tersendat. Tak diteruskannya kalimatnya itu, seakan ada sesuatu yang mengganjal di tenggorokannya.

“Hmm… iya. Ibu meninggal kemarin lusa. Kena stroke. Makanya aku pulang.”, kata Rama sambil kembali menatap wajah ayu yang masih diliputi keterkejutan itu.

“Maaf, Mas. Aku bener-bener nggak tahu.”, ucap Alya dengan mata berkaca-kaca.

“Ya udah, nggak papa kok. “, kata Rama seolah mampu menangkap kegalauan di hati Alya.

“Kamu nggak dendam sama ibuku kan?”, tanya Rama tiba-tiba.

Alya kembali terkejut atas pertanyaan Rama. Ya, bisa dibilang perpisahan Rama dengan Alya itu karena ibu Rama tidak menyetujui hubungan mereka. Orang tua Rama, terutama ibunya yang masih memiliki kepercayaan pada primbon Jawa menentang keras hubungan Rama dan Alya lantaran menurut perhitungan primbon Jawa tersebut, total naptu mereka menemukan kelipatan angka empat yang berarti ‘loro’. Dengan kata lain, ‘loro’ itu berarti apabila mereka memaksa untuk membina keluarga maka kehidupan mereka tak akan menemukan kebahagiaan karena akan selalu ditimpa musibah atau sakit. Rama pun menentang keras keputusan orang tuanya yang memaksanya mengakhiri hubungannya dengan Alya.

Demikian halnya dengan Alya, perempuan itu pun sama terpukulnya seperti Rama. Lima tahun kisah cinta mereka sebelumnya memang tak pernah mendapat pertentangan baik dari keluarga Alya maupun Rama. Namun kenyataan kemudian berkata lain. Sebagai seorang anak perempuan satu-satunya di keluarganya, Alya tak sampai hati melihat orang tuanya juga ikut bersedih atas kekecewaan yang dialaminya. Sekuat hati Alya mencoba menerima kenyataan yangdatang kepadanya. Saat itu pula, adik dari ibunya yang tinggal di Lampung mengajaknya untuk tinggal disana dan berniat menikahkannya dengan seorang pengusaha yang menginginkan seorang wanita Jawa yang terkenal dengan kelembutannya itu sebagai istrinya. Tak ada alasan bagi Alya untuk berlama-lama menikmati sakit hati yang diterimanya. Pintu kebahagiaan baru sudah menantinya, meskipun tak mudah juga untuk beranjak dari Rama. Ditinggalkannya pulau Jawa dengan sejuta kekecewaannya, meskipun Rama sempat mengajaknya untuk nekat kawin lari, namun ditolaknya juga. Bagi Alya, restu orang tua adalah bekal wajib baginya untuk melangkah. Dia tak berani, bahkan terlalu takut untuk melangkah sendiri. Dia tak mau cintanya terhadap Rama membuat laki-laki itu durhaka kepada orang tuanya.

“Al…”, panggil Rama setelah melihat Alya diam tak menjawab pertanyaannya. Dilihatnya kedua bola mata perempuan itu menatap kosong ke arahnya.

“Eh, iya Mas.”, Alya tersentak.

“Kamu nggak dendam sama ibuku kan?”, Rama mengulang pertanyaannya sekali lagi.

“Oh, enggak, Mas. Nggak mungkin lah aku kayak gitu.”, jawab Alya menggeleng sekenanya.

“Hmm, oke lah kalau kamu bilang sudah nggak dendam sama ibuku. Aku tahu Al, setelah semua yang dilakukan ibu atas hubungan kita, aku nggak berfikir kalau kamu nggak pernah sakit hati. Aku tahu kalau…”

“Sudahlah, Mas. Semuanya sudah lewat. Nggak ada yang perlu disesali.”, potong Alya atas ucapan Rama yang memaksanya kembali mengingat-ingat masa tujuh tahun silam.

“Iya, iya. Aku tahu, Al. Justru karena itu, sebagai perwakilan dari ibuku, aku minta maaf atas semua kesalahannya padamu. Bagaimanapun dia ibuku, ibu yang melahirkan aku.”

“Iya, Mas. Aku sudah nggak apa-apa kok. Toh, sekarang hidup kita masing-masing sudah jauh lebih baik. Nggak ada yang perlu disesali, semua itu memang cara Tuhan menunjukkan kita pada kebahagiaan lain yang seharusnya kita terima.”, ucap Alya dengan senyuman yang teduh, seteduh langit malam kini yang semakin merangkul mendung kelabu.

“Coba dulu kamu mau aku ajak kawin lari.”, sahut Rama disusul tawa kecilnya.

“Hmm, Mas Rama mulai deh.”

Mereka tertawa kecil. Suasana mulai lumer, tak lagi kaku seperti beberapa menit yang lalu. Kadang terasa lucu memang ketika harus mengingat-ingat masa lalu yang penuh kesakitan dan perjuangan, saat kebahagiaan telah teraih di masa kini. Namun itu tak dirasakan Rama dalam hatinya, meski bibirnya tersenyum mengikut alur pembicaraan dengan wanita yang sejujurnya masih dicintainya itu.

Alya Kirana. Ah, andai wanita itu tahu, getaran di hati Rama semakin tak biasa. Ingin dipeluk dan diciumnya sosok berparas ayu itu, melepas semua kerinduan yang sekian lama dipendamnya. Tak perlu banyak berpikir, nyatanya semua rasa masih tertuju pada Alya. Menyesakkan. Jelas menyesakkan, berhadapan dengan orang yang dicintai dan dirindukan sekian lama, namun tak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk sekedar mengucapkan ‘aku rindu kamu’.

Tawa renyah dari bibir itu, senyum yang menampakkan dua lesung pipit di pipi yang menyemu merah, juga binar mata yang masih sama. Sekian detik Rama sempat terpana, sebelum lagi-lagi kesadarannya mengambil alih. Monolog dalam hatinya semakin lantang bersuara. Kenapa Tuhan harus memberikan ciptaan-Nya yang terindah itu kepada laki-laki lain, bukan dirinya yang jelas-jelas memiliki cinta yang besar dan mungkin paling besar untuk perempuan itu. Dia pernah memiliki keyakinan bahwa hanya dialah laki-laki yang mampu memberikan kebahagiaan yang luar biasa pada Alya, bagaimanapun keadaannya, terbukti ketika dia berani mengajak Alya untuk nekat kawin lari. Namun semua itu tak pernah terjadi karena justru Alya lah yang menolaknya. Betapa tak pernah ada cacat yang dia lihat pada diri Alya. Sempurna. Ya, seumur hidup hanya Alya lah wanita sempurna yang tampak di matanya, selainnya tak ada lagi.

Tuhan tak adil. Begitu Rama sempat memprotes dalam hati. Kejutan yang saat ini diberikan Tuhan sangat-sangat berhasil mengundang euforia sekaligus nyeri di ulu hatinya. Dia harus berpura-pura, menampakkan kebahagiaan semu yang terpaksa harus diciptakannya sendiri. Dengan alasan apapun, pepatah ‘cinta tak harus memiliki’ tetap saja kehilangan nilai hiburannya ketika harus berhadapan dengan kenyataan. Cemburu? Sakit hati? Tak usah ditanya. Kenapa akhirnya harus dia yang merasakan sendiri semua kepahitan yang pernah ada. Tuhan telah mengganti kebahagiaan Alya, namun dengan dirinya? Tujuh tahun jelas bukan waktu yang singkat untuk tetap mengingat seseorang yang telah pergi. Tak ada ganti, tak ada pelampiasan, kebahagiaan itu hanya ada di angan-angan.

Sempat kemudian terpikir oleh Rama, mungkinkah semua yang terjadi pada dirinya lantaran kedurhakaannya pada orang tuanya, terutama ibunya, yang menolak dijodohkan dengan wanita pilihannya? Ah, Rama tak peduli apakah itu suatu bentuk kedurhakaan atau bukan, yang jelas yang ia tahu, ibunya telah berbuat tak adil pada Alya. Senyatanya, ibunya tak pernah berkenan menjadikan Alya sebagai menantunya karena Alya hanya seorang anak dari keluarga yang tak begitu kaya, berbeda dengan Rama yang berasal dari keluarga terpandang yang bisa dikategorikan berada dalam masyarakat ekonomi kelas menengah atas. Ya, itulah alasan sebenarnya yang diketahui Rama. Perhitungan primbon-primbon Jawa itu bukan alasan utama ibunya, melainkan alasan lain yang dicari ibunya agar Rama mau menurutinya. Namun sia-sia saja, perjodohan Rama dengan seorang gadis Jakarta itu tak pelak ditolak juga oleh Rama, lantaran dengan perhitungan primbon Jawa pun justru Rama dan gadis Jakarta tersebut malah mendapati angka kelipatan lima yang berarti ‘pati’ atau mati. Itulah mengapa Rama kemudian berani menolak keinginan ibunya. Namun semua sudah terlambat. Alya, gadis yang dicintainya itu sudah meninggalkan pulau Jawa dan memiliki kehidupan baru disana.

Malam semakin tertuju oleh temaram. Hujan pun telah reda beberapa saat lalu. Dua buah cangkir yang tadinya berisi cappuccino di atas meja itu pun telah terlihat dasar gelasnya. Tawa-tawa kecil dua anak manusia yang menghangat itu terhenti sejenak. Alya melihat jam tangan di pergelangan tangan kirinya, disusul kemudian Rama yang menengok jam di handphonenya.

Pukul delapan.

Tak terasa hampir dua jam mereka duduk berhadapan, sedikit membahas kenangan lama dan banyak hal lain yang mengundang canda tawa mereka. Rama pun seolah paham apa yang ada di pikiran Alya.

“Nggak terasa, sudah malam ya?”, tanya Rama.

“Iya, Mas. Lama juga ngobrolnya.”

“Mmm, mau pulang sekarang?”, tanya Rama lagi meskipun dalam hatinya dia tak ingin bertanya demikian.

Sempat disesalinya mengapa hujan harus berhenti, mengapa cappuccino di cangkir itu bisa habis, dan mengapa manusia harus menciptakan jam sehingga Alya bisa tahu seberapa jauh malam telah terlewati. Masih ingin dilaluinya malam yang dingin itu bersama Alya sampai pagi dan berharap pagi tak pernah datang, meski hanya sekedar bercengkerama menghabiskan beberapa cangkir cappuccino lagi. Namun Rama sadar, hal itu tak mungkin terjadi. Diterimanya saja hatinya yang tiba-tiba hambar lantaran Alya mengangguk, mengutarakan keinginannya untuk segera pulang.

Setelah sedikit berbasa-basi kembali, dengan langkah yang sedikit terseret, Rama mengiringi Alya berjalan menuju pintu lobby, mencari taksi yang akan mengantarnya pulang. Rama memprotes lagi dalam hati.

Masihkah ada pertemuan seperti ini lagi?

Akankah ada temaram senja yang mengiringinya mengecup kenangan lama kembali?

Akankah ada tetesan hujan yang menemaninya menikmati secangkir cappuccino bersama perempuan yang berjalan di sampingnya kini?

Akankah ada kebetulan seperti ini yang diciptakan Tuhan di lain hari?

“Ah, Kau kejam, Tuhan…”, protes Rama dalam hati, ketika dilihatnya Alya sudah memanggil salah satu taksi yang sedang parkir di luar lobby mall. Dan dalam hitungan detik taksi itu sudah berada di hadapan mereka.

“Mas Rama, aku pulang dulu. Makasih ya… “, ucap Alya lagi-lagi menyungging senyumnya. Rama mengangguk.

“Hati-hati ya. Makasih juga buat waktunya.”, balas Rama setelah dengan penuh kesadaran membuyarkan sendiri monolog di dalam hatinya.

“Pasti.”, jawab Alya mantap.

“Salam buat suamimu.”. Meski sedikit berat, berhasil juga kata-kata itu keluar dari bibir Rama.

“Iya, Mas. Salam juga buat istri Mas Rama.”

Ingin sekali dikecupnya kening Alya yang putih bersih dan setengah tertutup poni lemparnya itu, namun jelas itu tak mungkin dilakukannya. Bahkan untuk sekedar mengecup tangan yang kini dijabatnya itupun Rama tak punya keberanian. Rama semakin pias ketika dilihatnya Alya melangkah masuk ke dalam taksi. Untuk kesekian kalinya ia memprotes dalam hati. God! Pertemuan macam apa ini? Seperti ini sajakah? Tak ada tukar-menukar nomor handphone, tak ada tukar-menukar pin BB, tak ada tukar-menukar ID jejaring sosial apapun untuk tetap berhubungan kembali. Tak ada. Tak ada sama sekali.

Pelan namun pasti, taksi itu membawa Alya menjauh diiringi lambaian tangan Alya beberapa saat dari kaca mobil yang setengah terbuka. Dalam sebuah pertemuan yang membahagiakan, pasti detik-detik seperti itulah yang akan terasa menyakitkan. Tak ada yang bisa dilakukannya lagi kecuali membalas lambaian tangan itu.

Di dalam taksi, Alya melihat bayangan Rama dari spion kiri taksi. Terlihat sosok Rama yang semakin mengecil menatap taksi yang membawanya pergi. Segera setelah bayangan Rama hilang dari kaca spion, Alya terpaku beberapa saat. Nafasnya tercekat. Semburat pelangi samar membias di bola matanya. Dan, tangisnya pecah.

Dia menangis sejadi-jadinya tanpa mempedulikan sopir taksi yang lantas serba salah melihat penumpangnya tiba-tiba saja histeris. Alya sama sekali tak peduli, bahkan tak mau peduli. Dalam hati dicaci makinya sendiri atas nasib yang menimpanya. Dikutuknya dirinya sendiri yang sebenarnya masih sangat mencintai Rama, laki-laki yang baru saja lenyap dari pandangannya itu. Seandainya laki-laki itu tahu, dirinya tak pernah menikah. Kepergiannya ke Lampung mengikuti tantenya hanya untuk mendapatkan suasana baru, dan pernikahannya dengan seorang pengusaha itu tak pernah terjadi, lantaran laki-laki yang akan dijodohkan dengannya itu telah menghamili gadis lain.

Dan hujan turun lagi. Turun dari sudut paling gelap mata langit. Lebih deras kali ini, melucuti topeng dua anak manusia yang sama-sama kehilangan dan sama-sama tak mendapat apa-apa. Dan malam semakin dingin, menuju pagi seperti biasa.

-Riph-

Surabaya, November  2011

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun