Mohon tunggu...
Sangria Razan
Sangria Razan Mohon Tunggu... Lainnya - Menulis dengan Hati

Sebagai seseorang yang ingin belajar dan memahami batasan serta perspektif yang benar, saya sangat berharap mendapatkan bimbingan dan pandangan yang lebih bijak dalam menyikapi pengalaman seperti ini, agar tetap sejalan dengan prinsip-prinsip yang saya anut.

Selanjutnya

Tutup

Horor

Pathok pethuk "Part 2"

6 Januari 2025   10:40 Diperbarui: 6 Januari 2025   10:43 20
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Awal dari Kejadian yang Menjadi-jadi

Kepindahanku dari hiruk pikuk Jakarta ke desa kecil yang terpencil telah mengubah hidupku secara drastis. Di balik keindahan alam dan ketenangan desa, aku dihadapkan pada sesuatu yang tak pernah kubayangkan sebelumnya: serangkaian kejadian aneh yang seolah enggan memberiku ruang untuk bernapas.

Saat usiaku beranjak menuju masa remaja dan tubuhku mulai mengalami perubahan, segala hal yang tak masuk akal itu semakin menjadi-jadi. Periode pertama menstruasi, yang seharusnya menjadi fase wajar bagi seorang gadis, justru menjadi awal dari rangkaian pengalaman yang semakin intens. Seakan-akan, ada sesuatu dari dalam diriku yang "membuka pintu" ke dunia yang tak kasat mata.

Malam-malam yang seharusnya menjadi waktu istirahat justru berubah menjadi panggung mimpi yang mencekam. Sosok-sosok asing sering muncul dalam mimpiku, tak sekadar sebagai bayangan, tetapi terasa begitu nyata. Aku terbangun dengan keringat dingin, napas tersengal-sengal, dan rasa takut yang tak bisa kujelaskan. Ada yang berbisik di telingaku, ada yang hanya berdiri di sudut kamar, memandangiku dengan tatapan yang membuat tubuhku merinding.

Bahkan saat tertidur lelap, aku bisa merasakan keberadaan mereka. Mereka hadir dalam berbagai bentuk: wanita dengan rambut panjang terurai dan tatapan sayu, anak kecil yang menangis di sudut gelap, hingga bayangan besar tanpa bentuk yang hanya berdiri tanpa suara. Satu hal yang selalu sama—mereka semua seperti memanggilku, meminta perhatian, meminta sesuatu dariku.

Pernah suatu malam, aku bermimpi berjalan di sebuah hutan gelap yang penuh kabut. Di tengah perjalanan, aku melihat sosok tinggi besar dengan wajah tak terlihat berdiri di depan sebuah pintu kayu tua yang penuh ukiran aneh. Saat aku mendekat, ia mengulurkan tangan besar ke arahku, seakan ingin aku masuk ke balik pintu itu. Aku menolak, mencoba berbalik, tetapi langkahku terasa berat, seolah-olah ada sesuatu yang menarikku ke arah pintu itu. Saat aku tersadar, tubuhku menggigil, dan aku menemukan bekas cakaran kecil di lengan kananku—entah dari mana asalnya.

Aku tidak bisa memahami apa yang terjadi. Di satu sisi, aku ingin berbicara pada orangtuaku, tetapi aku takut dianggap aneh atau bahkan membuat mereka khawatir. Di sisi lain, aku hanya bisa memendam semuanya sendiri, berharap semua ini akan berakhir.

Kepindahanku ke rumah kakek yang megah sekaligus menyeramkan di tengah desa semakin membuka babak baru dari perjalanan hidupku yang penuh misteri. Rumah itu adalah warisan keluarga yang sudah berdiri lebih lama dari usia kakekku sendiri. Dengan delapan kamar besar, dua pintu depan yang tinggi dan lebar menjulang, serta lorong panjang yang gelap dan dingin di tengahnya, rumah ini lebih menyerupai istana kecil yang sarat rahasia dibandingkan sekadar tempat tinggal biasa.

Sejak awal, aku selalu menghindari lorong besar itu. Entah mengapa, ada perasaan tak nyaman setiap kali aku harus melewatinya sendirian. Suasana lorong itu selalu terasa berbeda, bahkan di siang hari yang cerah. Bayangan dari dinding-dinding tua, bunyi derak kayu lantai yang seperti mengikutiku, dan hawa dingin yang seolah tak pernah hilang, membuatku enggan melangkah terlalu lama di sana.

Sebagai anak perempuan yang baru memasuki masa remaja, aku akhirnya diizinkan memiliki kamar sendiri. Kakek dan nenek, yang sangat menyayangiku, menghadiahkan sebuah kamar di sisi timur rumah itu. Aku awalnya begitu senang, membayangkan memiliki ruang pribadi yang bisa menjadi pelarianku dari keramaian. Namun, ada satu masalah besar: kamar itu belum memiliki pintu yang layak. Pintu sementara yang dipasang hanyalah sebuah papan kayu tua yang bisa dengan mudah bergeser jika tertiup angin.

Rumah ini sebenarnya sedang dalam tahap renovasi sejak keluarga kecilku pindah dari Jakarta untuk tinggal di sini. Kebangkrutan rumah makan yang dikelola orang tuaku memaksa kami meninggalkan kehidupan kota besar yang nyaman dan kembali ke desa, tempat kelahiran ibuku. Sebagai anak terakhir, ibu merasa tak punya pilihan selain mengikuti keinginan kakek untuk membesarkan aku dan adikku di sini.

Malam pertama di kamar baruku terasa berbeda. Awalnya, aku mencoba mengabaikan perasaan aneh yang kerap muncul di rumah ini. Aku meyakinkan diriku bahwa semua ini hanyalah adaptasi dari lingkungan baru. Namun, ketika malam semakin larut dan suasana rumah menjadi sunyi, suara-suara kecil mulai terdengar. Kadang seperti langkah kaki dari lorong besar, kadang seperti bisikan yang samar.

Aku terbangun di tengah malam, dan angin yang entah dari mana masuk ke dalam kamar membuat pintu kayu sementara itu bergeser perlahan. Aku terdiam, tubuhku kaku. Aku memandang ke arah pintu yang terbuka setengah, berharap angin akan mendorongnya tertutup kembali. Tapi tidak. Sebaliknya, pintu itu justru terbuka lebih lebar, menampakkan lorong panjang di luar yang sekarang tampak lebih gelap dari biasanya.

Di ujung lorong, aku melihat sesuatu yang membuat jantungku hampir berhenti. Ada bayangan samar, berdiri tegak, tak bergerak sedikit pun. Aku ingin berpikir itu hanyalah bayangan dari cahaya bulan yang masuk melalui jendela, tetapi tidak ada cahaya yang cukup untuk menciptakan bayangan sebesar itu.

Aku menarik selimutku hingga menutupi seluruh tubuh, mencoba menenangkan diriku. Dalam hati, aku terus mengulang doa, berharap apapun itu tidak mendekat. Suara langkah kaki kecil mulai terdengar, seolah mendekat ke arah pintu kamarku.

 Ketika akhirnya aku memberanikan diri untuk mengintip dari balik selimut, bayangan itu sudah tidak ada. Namun, pintu kayu sementara itu kini benar-benar terbuka lebar, dan aku bisa merasakan hawa dingin dari lorong yang seperti menyentuh kulitku.

Keesokan paginya, aku mencoba menceritakan sedikit pengalaman itu pada nenek. Tapi nenek hanya tersenyum kecil, seolah tak ingin membahasnya lebih lanjut. "Jangan terlalu dipikirkan. Rumah ini memang sudah tua," katanya singkat.

Namun, aku tahu ada lebih banyak hal yang disembunyikan di balik senyuman nenek. Rahasia apa yang disimpan rumah ini? Mengapa lorong besar itu selalu terasa berbeda? Dan mengapa hanya aku yang merasa semua ini begitu nyata?

Aku hanya tahu satu hal: lorong besar itu bukan sekadar lorong biasa. Dan kamar baruku, meski menjadi tempat privasiku, mungkin tak akan pernah menjadi tempat yang benar-benar aman.

Aku baru menyadari bahwa kamar baruku berada di ujung lorong besar yang selama ini selalu kuhindari. Rumah kakek memang penuh keanehan, tetapi menempatkan kamarku tepat di ujung lorong itu terasa seperti mimpi buruk yang menjadi nyata. Lorong besar itu menjadi jalur yang harus kulewati setiap hari, dan setiap langkahku di sana selalu ditemani perasaan seolah-olah ada mata yang mengawasi.

Malam pertama di kamar baruku sudah cukup membuat bulu kudukku berdiri, namun ketika aku sadar bahwa lorong itu adalah bagian yang tak terpisahkan dari kamarku, ketakutanku semakin menjadi-jadi. Saat aku berdiri di ambang pintu kamar dan menatap ke arah lorong, pandanganku terasa terhisap ke dalam kegelapan yang tak berujung. Lorong itu bukan sekadar lorong; ia seperti sebuah jalan yang membawa rahasia yang tak ingin kuungkapkan.

Setiap malam, lorong itu seperti hidup. Angin dingin sering kali berembus tanpa alasan, membawa suara-suara aneh yang hanya bisa kudengar. Kadang seperti langkah kaki, kadang seperti bisikan yang memanggil namaku. Ada saat-saat di mana aku merasa lorong itu menjadi lebih panjang dari biasanya, seperti melarutkan semua batas ruang dan waktu.

Kamar yang kakek dan nenek hadiahkan untukku awalnya kurasa adalah tanda cinta mereka. Namun, semakin lama aku tinggal di sana, aku merasa seperti terjebak dalam ruang yang tak sepenuhnya milikku. Malam-malamku tak pernah benar-benar tenang. Setiap kali aku mencoba tidur, aku selalu merasa ada sesuatu yang mengintip dari balik pintu atau dari sudut gelap lorong.

Malam itu, aku terbangun lagi di tengah malam. Suasana rumah begitu sunyi, hingga aku bisa mendengar detak jantungku sendiri. Namun, sunyi itu tak lama bertahan. Perlahan, suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong, mendekat perlahan.

Aku mencoba meyakinkan diriku bahwa itu hanya angin atau mungkin suara tikus yang berlari, tapi langkah itu terlalu berat, terlalu nyata.

Aku menatap ke arah pintu kamarku yang masih belum memiliki daun pintu yang layak. Pintu kayu sementara itu sedikit bergeser, seolah-olah dorongan halus dari lorong membuatnya terbuka perlahan. Aku memeluk selimutku erat, berusaha mengendalikan napasku yang mulai tak beraturan.

Ketika pintu itu terbuka sepenuhnya, aku bisa melihat lorong besar itu dengan jelas. Gelap, dingin, dan kosong. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Di ujung lorong, tepat di tengah-tengah kegelapan, aku melihat sosok hitam berdiri diam. Sosok itu terlalu tinggi untuk ukuran manusia biasa, dengan tubuh yang kurus dan kepala yang tampak seperti mengenakan mahkota runcing.

Aku memalingkan wajahku, memejamkan mata erat-erat sambil berdoa dalam hati. Namun, ketika aku membuka mata lagi, sosok itu sudah berada lebih dekat, hanya beberapa langkah dari pintu kamarku. Nafasku tercekat, tubuhku kaku. Aku ingin menjerit, tapi suaraku tak mau keluar.

Aku tidak tahu bagaimana malam itu berlalu. Aku hanya ingat terbangun di pagi hari dengan pintu kamar yang terbuka lebar, seolah-olah mengundang sesuatu untuk masuk. Kakek yang melihatku pagi itu hanya menatapku dengan wajah yang sulit kuartikan.

"Kamu sudah besar sekarang," katanya pelan sambil menepuk pundakku. "Ada banyak hal di rumah ini yang tak perlu kamu pahami sekarang. Tapi ingat, lorong itu... hormatilah apa pun yang ada di sana."

Kata-katanya membuatku semakin bingung sekaligus ketakutan. Hormat? Pada siapa? Pada apa? Rumah ini, lorong itu, dan semua rahasia yang tersembunyi di dalamnya semakin membuatku merasa terasing, bahkan dari diriku sendiri.

Aku mulai bertanya-tanya, apakah kepindahan kami ke desa ini adalah sebuah kebetulan? Atau mungkin ada sesuatu yang lebih besar sedang menantiku di sini? Sesuatu yang tak bisa kutolak, tak bisa kuhindari, seperti lorong itu sendiri.

Namun, harapanku sepertinya terlalu tinggi. Karena kejadian-kejadian itu justru semakin sering, semakin intens, dan semakin mendalam. Aku sadar, ada sesuatu yang tak bisa kuabaikan, sesuatu yang mulai mengambil alih kehidupanku, memaksa aku untuk menerima keberadaannya, suka atau tidak.

Bagaimana aku bisa melanjutkan hidup dengan semua ini? Bisakah aku memahami apa yang sebenarnya terjadi padaku? Atau akankah aku terus dibayangi oleh keanehan ini, terjebak antara dunia nyata dan dunia yang tak semua orang bisa melihatnya?

Malam-malamku di kamar baru itu selalu diwarnai keanehan. Setiap kali aku mencoba memejamkan mata, sesuatu terasa tak beres. Lorong panjang di luar pintu kamarku seperti hidup, seakan-akan menyimpan rahasia yang tak pernah ingin kubongkar. Suara-suara aneh, bisikan lirih, dan bayangan-bayangan gelap sering kali muncul, membuatku enggan meninggalkan kamar atau bahkan sekadar menatap keluar pintu.

Aku tak punya pilihan selain menerima mereka. Sosok-sosok tak kasatmata itu telah menjadi bagian dari hidupku, teman-teman yang tak pernah kupilih dan tak pernah kuinginkan. Mereka datang dan pergi sesuka hati, tak peduli betapa takutnya aku. Tak peduli betapa aku hanya ingin tidur dengan tenang, seperti anak-anak lainnya.

Orang tuaku, yang tengah menghadapi kesulitan besar akibat kebangkrutan rumah makan, tak punya waktu untuk memahami apa yang kualami. Mereka selalu berkata, "Kamu harus belajar mandiri. Kamu anak yang pintar, pasti bisa." Tapi kenyataannya, aku tidak bisa. Aku hanya anak kecil yang terlalu takut pada bayangannya sendiri. Aku ingin memberitahu mereka, memohon mereka untuk percaya, tapi setiap kali aku mencoba, kata-kataku selalu terhenti di tenggorokan.

Kehidupan di desa ini jauh dari apa yang kukenal. Aku tidak bisa beradaptasi, tidak bisa merasa nyaman. Setiap hari, aku lebih banyak mengurung diri di kamar, berusaha melarikan diri dari dunia yang terasa semakin asing. Aku bukan anak yang ceria seperti dulu. Aku bukan lagi anak yang penuh percaya diri.

Doa menjadi satu-satunya pelarian bagiku. Setiap malam, aku menggenggam tasbih nenekku erat-erat, berdoa sebisaku. Aku memohon perlindungan, memohon keberanian, memohon agar semua ini berakhir. Tapi keanehan itu tidak pernah berhenti. Malah semakin sering terjadi, seolah-olah mereka tahu bahwa aku tak bisa melawan.

Aku sering menangis dalam diam, terisak pelan agar tidak terdengar oleh siapa pun. Aku tahu, tidak ada yang akan mengerti. Bahkan aku sendiri tidak mengerti. Kenapa aku harus melalui semua ini? Apa salahku?

Yang paling menyakitkan adalah kesepian. Aku merasa sendirian, bahkan di tengah keluargaku sendiri. Kakek dan nenekku, meski sangat menyayangiku, sering kali hanya berkata, "Sudah biasa. Jangan terlalu dipikirkan." Tapi bagaimana aku bisa tidak memikirkannya, ketika malam-malamku dipenuhi ketakutan yang tak pernah berhenti?

Aku ingat suatu malam, suara langkah kaki dari lorong terdengar begitu nyata. Mereka mendekat, semakin dekat, hingga terasa seperti berhenti tepat di depan pintu kamarku. Aku menahan napas, tubuhku gemetar di balik selimut. Aku tahu, tak ada seorang pun di rumah yang bangun. Itu bukan langkah manusia.

Aku tidak tahu bagaimana aku bisa melewati malam-malam seperti itu. Aku hanya tahu bahwa aku terus bertahan, meskipun hatiku dipenuhi ketakutan dan rasa iba pada diriku sendiri. Aku sering berpikir, apakah ada anak lain di dunia ini yang merasakan apa yang kurasakan? Ataukah aku memang ditakdirkan untuk menghadapi semuanya sendirian?

Malam-malam itu, lorong panjang di luar pintuku bukan hanya lorong biasa. Ia adalah pengingat bahwa aku berbeda, bahwa aku harus menghadapi hal-hal yang tak kasatmata sendirian. Dan setiap kali pagi tiba, aku merasa sedikit lebih kecil, sedikit lebih rapuh, seperti potongan diriku hilang setiap malamnya.

Aku hanya ingin berteriak, menangis keras, memohon agar semua ini berhenti. Tapi tidak ada yang mendengarku. Tidak ada yang tahu betapa beratnya setiap langkahku di lorong itu, di rumah itu, di hidupku. Aku merasa tenggelam, dan satu-satunya pegangan yang kumiliki adalah doa-doa yang kadang terasa hampa.

Hari itu adalah hari yang akan selalu kuingat. Hari menstruasi pertamaku. Ibu bilang, ini adalah bagian dari tumbuh dewasa. Namun, bagiku, hari itu adalah awal dari kejadian aneh yang semakin nyata. Waktu menunjukkan selepas Ashar. Aku harus membersihkan diri, seperti yang ibu ajarkan pagi tadi.

Lorong panjang itu menanti. Delapan kamar berjajar di sisi kanan dan kirinya, dengan suasana sepi yang selalu membuatku merasa diawasi. Aku menahan napas, mencoba mengabaikan perasaan tak nyaman yang menyelinap. Aku berjalan cepat, langkahku menggema di lantai tua yang dingin.

Setibanya di kamar mandi, ibu sudah di sana. Ia sedang mencuci pakaian, memastikan aku tidak sendiri untuk pengalaman pertamaku ini. “Ayo, Kak, bersihkan diri. Jangan lupa cara yang ibu ajarin tadi,” katanya lembut sambil tersenyum.

Aku menyalakan keran, suara air mengalir mengisi keheningan. Tapi tiba-tiba, semuanya berubah. Dalam sekejap, aku tidak lagi berada di kamar mandi rumah kakek. Aku berdiri di tengah sebuah hutan. Gubuk kecil di depanku menjadi satu-satunya bangunan, dan di belakangnya ada kamar mandi sederhana dengan padasan.

Pohon-pohon besar menjulang di sekitarnya. Pohon nangka yang penuh buah matang, pohon pepaya dengan buah hijau menggantung, dan pohon salam yang begitu besar hingga batangnya tampak seperti pilar. Di sudut pandangku, pohon-pohon pisang melambai pelan, daun pupusnya bergerak seperti menyapa.

Aku tertegun, tubuhku gemetar. Tapi lebih menakutkan lagi, aku melihat ular besar di balik pohon pepaya. Matanya merah menyala, lidahnya menjulur dengan gerakan yang aneh, seolah-olah ingin berbicara denganku. Aku menahan napas, memalingkan wajah, hanya untuk disambut oleh pemandangan lain yang tak kalah ganjil.

Di bawah pohon nangka yang besar, seekor kera putih berbulu lebat duduk santai, memakan buah nangka yang kuning dan harum. Tatapannya tajam, penuh kegirangan, seakan-akan ia tahu keberadaanku dan sedang menungguku sejak lama.

Aku tidak sanggup lagi. Mulutku terbuka, dan aku berteriak, "Ibu!"

Segalanya tiba-tiba gelap. Ketika mataku terbuka, aku kembali ke kamar mandi rumah kakek. Ibu menatapku dengan wajah bingung, lalu berkata, “Kamu kenapa sih? Orang disuruh mandi kok malah bengong.”

Aku menatap ibu, mencoba mengerti apa yang baru saja terjadi. Tapi ibu tidak memberi waktu untuk merenung. Ia segera menyalakan keran lagi, membimbingku dengan sabar. “Pertama, wudhu dulu ya, Kak. Habis itu, bersihkan darahnya. Jangan ada yang tercecer di lantai, ya. Kalau sudah, mandi seperti biasa. Pakai sabun biar enggak amis.”

Aku mengikuti perintah ibu, tetapi pikiranku masih melayang-layang. Apa yang baru saja kulihat? Hutan itu, pohon-pohon besar, ular, dan kera putih—semuanya terasa begitu nyata. Namun di mata ibu, aku hanya seorang anak yang melamun di kamar mandi.

Malam itu, aku tidak bisa tidur. Suara-suara dari lorong seolah memanggilku lagi, bayangan hutan dan penghuni-penghuninya terus mengganggu pikiranku. Aku tidak berani menceritakan hal itu pada siapa pun. Siapa yang akan percaya? Bahkan aku sendiri tidak yakin apa yang baru saja kualami.

Yang kutahu, menstruasi pertamaku bukan hanya tanda kedewasaan. Ia adalah gerbang ke dunia yang lebih besar, lebih gelap, dan lebih misterius dari yang pernah kubayangkan. Dan sejak hari itu, aku tahu bahwa hidupku di rumah kakek ini tidak akan pernah sama lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun