Mohon tunggu...
Yeremia Krisnadi
Yeremia Krisnadi Mohon Tunggu... Guru - Sosiolog dan Praktisi Pendidikan

Philosophy enthusiast

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekerasan Simbolik terhadap Peran Guru

16 Agustus 2024   21:12 Diperbarui: 16 Agustus 2024   21:16 62
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://www.americanprogress.org/article/mid-and-late-career-teachers-struggle-with-paltry-incomes/Input sumber gambar

Terdengarnya kabar terkait cleansing yang dialami 107 guru honorer DKI Jakarta menambah situasi yang ironi bagi dunia pendidikan di negeri kita. Pertanyaan tentang "mengapa terkena cleansing?" telah dijawab oleh Plt Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta Budi Awaluddin, yang mengatakan "cleansing guru honorer di jakarta disebabkan sistem penyeleksian yang tidak jelas dan terdapat penggunaan dana BOS" ujar Budi di Balai Kota DKI Jakarta, Rabu (17/7/2024). Budi juga menegaskan pihaknya telah mengingatkan kepada para kepala sekolah untuk tidak merekrut guru honorer, namun masih terdapat yang melakukannya sekaligus memberikan gaji yang tidak sesuai. 

walaupun ketentuan penggajian guru honorer telah tertera pada peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi Nomor 63 tahun 2002 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Dana Bantuan Operasional Satuan Pendidikan, bagian permasalahannya adalah pada rekrutmen yang tidak sesuai dan guru yang terdampak adalah mereka yang tidak memiliki NUPTK atau Nomor Unik pendidik dan Tenaga Kependidikan.

Persoalan lain muncul ketika salah satu guru yang terkena cleansing  mengaku sudah mengajar 4,5 tahun sebagai guru honorer dan memiliki NUPTK maupun DAPODIK. Dirinya kehilangan kedua data tersebut. Namun begitu ia tetap bekerja di sekolahnya bahkan sewaktu-waktu ia kehilangan jam mengajar dan akhirnya terkena cleansing. Kesaksian tersebut  dapat dibaca lebih lanjut di  Cerita Guru Honorer di Jakarta Kena "Cleansing", Bermula dari Dapodik yang Tiba-tiba Hilang

Jika cleansing guru honorer diakibatkan pada keserampangan administrasi, siapakah yang bertanggung jawab atas situasi semacam ini ? Dengan kata lain, sudah sejauh mana status dan profesionalitas guru secara terdata telah dipertanggungjawabkan ?

Keserampangan administrasi yang diterima oleh guru honorer bukanlah cerita satu-satunya yang mewakili kebobrokan sistem pendidikan di Indonesia. Justru akibat dari keserampangan administrasi yang terjadi pada guru, secara tidak langsung semakin membuktikan peran guru telah disepelekan karena keberadaannya secara administrasi tidak dianggap serius. Pun keberadaannya secara profesional,  guru dewasa ini seperti tidak memiliki dorongan untuk menambah kapasitas kompetensi yang harus dimiliki. Buktinya, Indonesia masih berupaya untuk terus menaikan jumlah guru honorer yang diangkat menjadi PPPK maupun dipersiapkan menjadi PNS. Tidak hanya berlaku di negeri, guru sekolah swasta juga memiliki pergumulannya sendiri ketika berhadapan dengan sistem institusi di perusahaan mereka bekerja, misalnya pemberlakuan secara hukum bukan melalui UU Guru dan Dosen melainkan UU Ketenagakerjaan yang memiliki perbedaan hak dan kewajiban. 

Gelar "Pahlawan" itu bukanlah mitos 

Berbicara tentang peran guru yang secara tidak langsung dianggap sebelah mata, kondisi wajah pendidikan di Indonesia telah menjadi cermin bagaimana guru diperlakukan dan dipersepsikan tanpa menimbang jasa-jasa yang telah mereka lakukan. Tidak jarang peran dan profesi guru dianggap sepele. Peran profesionalitas guru telah mengalami degradasi setidaknya jika dilihat dari peningkatan kompetensi guru, perekrutan, hingga pengangkatan status guru. Pengakatan status yang tidak konsekuen melahirkan ketimpangan dan keserampangan administrasi. Administrasi yang berlapis membuat guru tidak secara penuh menerima haknya. Hasilnya, pemberlakuan tersebut membuka potensi masalah-masalah yang muncul seperti pembersihan guru honorer yang telah dibahas tadi. Selain itu jika peningkatan kompetensi guru dilakukan secara tidak merata dan minim kualitas, kebolehan guru dalam meningkatkan kualitas pembelajaran menjadi terhambat dan persepsi atas peran guru semakin dianggap sebelah mata padahal regenerasi guru dan peningkatan aktualisasi diri seperti pengembangan keterampilan sangat diperlukan. 

Jika persoalan ini selalu berlanjut dari waktu ke waktu, peran dan profesionalitas guru akan semakin menyusut. Sebutan klasik terhadap guru, yaitu "pahlawan tanpa tanda jasa" akan diklaim sebagai suatu keniscayaan yang keliru, bahwa guru memang tidak semestinya (sama sekali) diberikan tanda jasa. Tanpa menimbang guru juga memiliki hak untuk mengaktualisasikan dirinya, gelar kepahlawanan yang dilekatkan padanya ibarat dipermainkan dan sebatas pajangan saja. 

"Pahlawan tanpa tanda jasa" bukan hanya sebatas istilah. Semenjak Indonesia baru saja bangkit dari krisis politik 1965, tepatnya orde baru, ungkapan tersebut diyakini menjadi simbol utama profesi guru di negeri kita. Siapa yang ingin menjadi guru mau tidak mau harus siap menjadi pahlawan tanpa menghiraukan tanda apa yang didapat kepada mereka. penyebutan "pahlawan" barangkali menjadi acuan karena jasa-jasa guru bukan berhenti pada soal pengajaran tentang pengetahuan namun juga harus membekali para murid tentang nilai-nilai yang baik dalam komunitas mereka. Kepahlawanan sang guru didasarkan pada internalisasi kesabaran, ketulusan, dan kewibawaan demi mengantarkan anak didik  kepada nilai-nilai pengetahuan yang benar dan moral yang baik. Upaya mencapai tujuan dari internalisasi tersebut bukanlah hal yang sederhana untuk dilakukan. 

Apa yang dihadapkan pada guru bukanlah produk atau benda mati yang menjadi target pasar tanpa adanya pemberian afektif dan pendekatan kemanusiaan. Guru dan murid adalah subjek pendidikan yang menghidupi nilai-nilai pengetahuan dan kebajikan. Mereka ibarat layang-layang bersama benangnya yang terbang dengan gagah. Guru ialah benangnya dan murid adalah layangan. Mereka menghadapi angin yang kencang sebagai realitas dan persoalan hidup. Tanpa proses yang tepat dalam memperoleh kualitas mutu pendidikan, layaknya benang,  dibuat tidak sesuai standar, bahannya pun tidak berkualitas dan mudah putus. Benang tersebut tidak sanggup menopang layang-layang yang memiliki berbagai jenis bahan buatan. Perumpamaan tersebut dapat diartikan bahwa relasi dan kualitas pembelajaran antara guru dan murid memerlukan standar dan mutu yang dipersiapkan dengan baik. Dengan begitu istilah "Guru Pahlawan Tanpa Tanda Jasa" bukanlah suatu mitos atau kekeliruan penganggapan yang memenjarakan peran guru tanpa menimbang profesionalitas dan hak-haknya.  

kekerasan Simbolik yang Diterima

Maxine Greene, seorang filsuf pendidikan  menuliskan esai yang berjudul "Teacher as stranger: educational philosophy for the modern age" atau jika dalam buku "Menggugat Pendidikan" yang diterbitkan Pustaka Pelajar diterjemahkan menjadi "Guru si Orang Asing". Mengutip gagasannya, "Guru sering dibicarakan seolah ia tak berjiwa, ia tak punya raga, ia ada tanpa kedalaman". Greene menegaskan dilema bagi seorang guru adalah ketika mereka dianggap selayaknya sebuah produk yang dapat diatur dan dibuat tunduk untuk menerima apapun yang diikatkan padanya. Guru menerima sebuah sistem, baik itu kurikulum, budaya kerja tempat ia mengajar, hingga di kelas bersama murid. Beban guru terlihat berlapis. Perannya pun penuh akan penyesuaian berdasarkan iklim lingkungan sosial, karena memang goals yang ditujukan adalah sekelompok manusia. Jika beban dan perannya dibuat hanya selayak subjek kosong, ia bukanlah siapa-siapa kecuali individu yang asing. 

Ketika beban guru dibiarkan berlapis dan peran nya yang tidak teraktualisasi, maka apa yang disebut oleh Bourdieu sebagai kekerasan simbolik akan diterima olehnya. 

Bagi Pierre Bourdieu, kekerasan terjadi bukan hanya secara fisik. Secara simbolik suatu pihak mendapatkan legitimasi atas struktur yang dominan untuk menyatakan kebenaran. Kekerasan simbolik juga bersifat laten dan orang yang melakukan maupun yang diperlakukan cenderung tidak menyadarinya. Sederhananya, untuk dapat dikatakan sebagai kekerasan simbolik, satu pihak dipaksakan secara halus untuk patuh menerima norma-norma atau pemberlakuan yang telah ditetapkan. Hal ini bisa berlangsung secara sempurna ketika korbannya tidak memiliki keberdayaan untuk mempertanyakan atau menolak status dan peranannya. 

Domain sosial, yaitu penerimaan identitas dan peran yang dimiliki guru dibuat seolah-olah tidak berdaya. Di Indonesia, beban administrasi bagi guru seperti sebuah pemberlakuan yang harus diterima. Umumnya, harapan bahwa guru dapat berkarya dan mengembangkan keterampilannya dimiliki oleh semua orang yang memperdulikan tentang pendidikan termasuk guru itu sendiri. Tetapi bagaimana jadinya jika status dan profesionalitas mereka saja ditelantarkan. Klaim tentang guru pahlawan "tanpa tanda jasa" juga seringkali menjadi tameng ketika guru menuntut hak-haknya. ketidakberdayaan guru menjadi pemicu munculnya beban selanjutnya, yaitu ketika ia di dalam kelas. Guru yang tidak memiliki kompetensi yang mumpuni akan kewalahan dalam kegiatan mengajar, hasilnya para murid tidak secara maksimal menerima pembelajaran sesuai dengan tujuan pembelajaran. 

Dengan begitu, pada akhirnya persepsi atas profesi guru dengan mudah muncul di benak publik, bahwa menjadi guru terlihat seolah-olah pekerjaan mudah karena tidak banyak kompetensi yang harus dimiliki. Kedua, beban yang berlapis dan status pengangkatan guru tetap yang tidak merata menjadi pertimbangan orang-orang untuk meniti karir menjadi guru. Hal ini mengakibatkan tidak sedikit orang yang memiliki alasan menjadi guru adalah "asal bisa bekerja" atau terpaksa.

Kepahlawanan sang guru harus disambut dengan menjawab kepentingan hak-haknya. beban yang berlapis, mulai dari beban administrasi, beban status profesi, hingga upaya untuk mengaktualisasikan diri untuk para guru, harus menemui titik penyelesaiannya. pengakuan peran dan profesionalitas guru harus mencapai tahapan dimana kesetaraan dan kesejahteraannya dapat terpenuhi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun