Variasi Sistem Pemilu
  1. Single-member contituency (satu daerah pemilihan memilih satu wakil; biasanya disebut sistem distrik
  2. Multi-member constituency (satu daerah pemilihan memilih beberapa wakil; biasanya dinamakan sistem perwakilan berimbang atau sistem proporsional)Â
Perbedaan sistem distrik dan sistem proporsional
  -- sistem distrik : (1) the first the post (FPTP), (2) wilayah kecil satu wakil tunggal, (3) suara kontestan lain (wasted), (4) dwi-partai, (5) distortion effect "over-representatition"
  -- sistem proporsional : (1) satu wilayah besar terpilih beberapa wakil, (2) jumlah kursi sesuai jumlah proporsional suara, (3) tidak ada suara terbuang, (4) multi-partai, (5) distortion effect "under-representatition"
Keuntungan dan kelemahan sistem distrik
keuntungan : (1) partai terdorong untuk berintegrasi dan kerja sama, (2) fragmentasi dan kemunculan partai baru dikurangi, (3) setiap distrik 1 wakil lebih dekat konstituen. Â Kedudukan kepada partai lebih bebas karena faktor personal penentu kemenangannya, (4) lebih mudah bagi suatu partai mencapai kedudukan mayoritas parlemen (non-executive heavy), (5) jumlah partai yang kecil nempermudah tercapainya stabilitas politik
kelemahan : (1) terjadi kesenjangan antara prosentase suara dengan jumlah kursi di parlemen (distorsion effect), Â (2) distorsi rugikan partai kecil dan golongan minoritas, jika suara rata setiap distrik (under-representation) Â dianggap kurang representatif (wasted), Â (3) kurang bisa akomodasi kepentingan berbagai kelompok dan masyarakat heterogen (pluralis, (4) wakil terpilih condong kepentingan daerah daripada nasional
Keuntungan dan kelemahan sistem proporsional
keuntungan : (1) lebih representatif; prosentase perolehan suara/partai sesuai kursi di parlemen. Tidak ada distorsi suara perolehan kursi, (2) setiap suara dihitung dan tidak ada yang hilang. Partai kecil dan golongan minoritas diberi kesempatan wakilnya di parlemen. Â Masyarakat heterogen atau pluralis lebih cocok sistem ini. Â
kelemahan : (1) kurang mendorong partai berintegrasi satu sama lain, sebaliknya mempertajam perbedaan. Hal ini mempermudah berdiri partai baru pluralis, (2) wakil rakyat kurang erat hubungannya dengan konstituen, condong kepada partainya. Peranan partai lebih dominan personal wakilnya. Â Muncul. Kedudukan kuat pemimpin partai menentukan wakilnya di parlemen lewat stesel daftar. (3) banyaknya partai, sulitnya mencapai partai mayoritasm ketika sistem parlementer sulit membentuk pemerintahan stabil. Jadi harus berkoalisi (executive heavy vs legeslativ heavy)Â
Sistem pemilihan umum Indonesia
  1. Zaman demokrasi parlementer (1945-1959) : (a) pemilu paling demokratis, (b) memilih DPR dan konstituente, (c) total 27 parpol, (d) jumlah parlemen 257 kursi, (e) PNI, NU, masyumi, dan PKI dominan, (f) stabilitas politik tidak terwujud
  2. Zaman demokrasi terpimpin (1959-1965) : (a) mencabut kebebasan mendirikan partai, (b) ada 10 partai (PNI, masyumi, NU, PKI, Partai Katolik Partindo, PSII Arudji, IPKI, Partai Islam Perti), (c) tidak ada pemilu
  3. Zaman demokrasi pancasila (1965-1998)  : (a) sistem distrik ditolak lebih ke fusi partai, (b) total 460 anggota DPR (75 ABRI dan 25 utusan golongan), (c)  total 3 parpol (Golkar, PDI, PPP), (d) kebijakan floating mass, (e) tidak ada distortion effect, (f) fragmentasi partai berkurang, stabilitas politik tercapai
  4. Zaman reformasi (1998-sekarang) :(a) kebebasan mendirikan partai 48 parpol, (b) pilpres secara langsung (2004), (c) pemilu DPD mewakili kepentingan daerah, (d)  muncul parlementary threshold 3%, (e) presiden terpilih 50% plus 1 dan harus didukung 5% suara sah nasional dan 3% di DPR tahun 2004 (UU No. 12 Tahun 2003), (f)  Tahun 2004 ada 7 partai masuk DPR (Golkar, PDIP, PPP, PKB, PKS, PAN, dan demokrat)Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H