Berangkat dari penjelasan di atas, kajian mistisisme dapat diartikan sebagai suatu upaya komunikasi untuk memahami sesuatu yang bersifat gaib atau suatu hal yang tidak dapat dilogika. Aspek-aspek seputar mistis seperti pengalaman, jalan, cara, sistem, hingga teknik-teknik kontemplasi lainnya dikemas semenarik mungkin di layar kaca.Â
Dengan melibatkan beberapa aktor pendukung hingga spesialis dalam hal mistis, tayangan-tayangan tersebut memiliki fungsi asli sebagai sarana edukasi. Hal ini mengingat mistis pada moral bertujuan untuk meluruskan jiwa dan mengendalikan kehendak manusia. Kajian-kajian mistisisme ini cukup populer mewakili sebuah tema program dari mulai bentuk film hingga reality show.
Film merupakan program tayangan yang termasuk kategori drama. Film yang dimaksud merupakan film layar lebar yang dibuat oleh perusahaan-perusahaan. Biasanya, film dipertunjukkan di bioskop lebih dulu baru kemudian ditayangkan di layar kaca. Selain di televisi, film-film ini juga bisa didistribusikan dalam bentuk kepingan (VCD dan DVD) atau saat ini bisa melalui platform penyedia jasa streaming film. Bentuk tayangan lainnya adalah reality show, merupakan program yang menyajikan suatu keadaan yang nyata, bahkan mungkin tanpa rekayasa.
Di tahun 2000-an berbagai stasiun televisi swasta berlomba-lomba menyajikan tayangan mistisisme. Dunia lain yang rilis pada tahun 2003 di Trans TV menjadi pelopor reality show bertema mistisisme.Â
Di tahun 2017, sebuah acara bertajuk Karma Show sukses menyajikan realitas berkonsep supranatural yang berbeda. Namun, berbagai prestasi yang didapatkan acara Karma tak membuatnya bertahan lama.Â
Hal ini dikarenakan dukungan tak lebih banyak dari kontra yang ada menyebabkan teguran dari KPI terus berdatangan. Meski sempat padam, stasiun televisi yang sama kembali mereinkarnasi acara sejenis dengan tajuk Menembus Mata Bathin. Bukan tanpa alasan, suksesnya komodifikasi hal mistis pada program Karma Show menjadi motivasi media tersebut untuk menyajikan program sejenis demi kembali meraup keuntungan besar yang pernah dicapai.
Teori ekonomi politik oleh Vincent Moscow (1966) mengkaji fenomena melalui kritik sosial yang berfokus pada hubungan antara struktur ekonomi dan dinamika industri serta konten ideologis media.Â
Ada tiga konsep dalam pengaplikasian pendekatan ekonomi di ranah komunikasi, yaitu komodifikasi, spasialisasi, dan strukturasi. Komodofikasi merupakan pengubahan nilai guna menjadi nilai tukar. Mistisisme yang mulanya memiliki nilai guna dijadikan komoditas berupa konten program yang akhirnya ditawarkan kepada pasar. Hal-hal tersebut kemudian diaplikasikan oleh media untuk mencapai motif ekonomi maupun politik.
Fenomena pertumbuhan konten mistisisme di media pertelevisian saat ini merupakan perkembangan dari cerita mistis yang dikemas dalam bentuk film. Semua berawal saat masa orde baru.Â
Genre horor berkembang pesat di Indonesia saat dirilisnya film Ratu Ular pada 1972. Film-film horor kala itu memadukan berbagai unsur sebagai pemanis, seperti adegan panas hingga ilustrasi berupa komik. Keberadaan bioskop dengan tayangannya kala itu menjadi hiburan segar.
Maraknya film bertema horor, mendapat perhatian dari Dewan Film Nasional yang saat itu juga membuat Kode Etik Badan Sensor Film pada 1980 sebagai alat kontrol. Kode etik tersebut mewajibkan keberadaan sosok protagonis religius sebagai pemecah masalah bahkan pahlawan dalam tayangan horor. Oleh karena itu, jika dilihat secara umum, kita tentu sudah mengetahui narasi film horor yang ada normalnya menampilkan konteks cerita baik melawan buruk, atau tokoh agama melawan jin.