Mohon tunggu...
Riefka Aulia
Riefka Aulia Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

http://riefkaulia.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Cerita Roman Kodian dari Kayangan Putih

9 Agustus 2011   15:39 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:57 734
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Once upon a time, saat legenda atau mitos berkembang seperti sekarang ini sebagai hiburan alternatif, ada sebuah kisah nyata yang luput dari perhatian orang-orang. Sebuah kisah roman kodian nan tragis yang terjadi di kayangan putih, beribu-ribu mil sebelah timur laut kayangan api. Disebut kayangan putih karena tempat ini dikelilingi oleh perbukitan karst, putih mengkilat saat tertimpa cahaya mentari dan tempatnya yang menjulang megah, menandakan sebagai pembeda dari kasta lain.

Di saat sekawanan awan sering terlihat mengeriput dan kelam hingga memuntahkan isinya, untuk kedua kalinya Betari dan Batara bertemu di bentala yang penuh dengan rama-rama. Peperangan telah usai. Semua berada di atmosfer yang penuh suka cita. Natura raya sudah menakdirkan mereka untuk bertemu lagi. Adalah sebuah ketidakpercayaan akan harapan konyol yang pernah Betari utarakan bertahun-tahun silam, masih saat kanak-kanak, pada semesta. Kenangan itu terus berkelebat di benaknya. Dan kini, seakan semesta meresponnya.

Hari demi hari, Batara semakin yakin akan keputusannya. Terlebih saat ia melihat Betari memainkan tintanya meliuk di atas kertas saeh dan sebuah mahakarya seni terbuat! Batara terpukau. Seratus dua puluh dua hari kemudian, saat masehi berganti, Batara mengungkapkan perasaannya. Sengaja benar Batara memilih waktu ini sebelum ia harus kembali berperang atau pergi ke tempat antah berantah untuk menguatkan kekuasaan.

"Masehi memang berganti, pasir waktu yang bergerak dan semahal apapun harganya takkan mampu melawan keinginan semesta jika memang harus terjadi. Inikah saatnya aku harus membuka hati kembali?" Tanya Betari dalam desahnya pada meteor squadrion yang melesat di langit dini hari itu. Betari menghela nafas dan menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas kedua lututnya. "Jatuh memang selalu sakit, tapi kita tidak pernah tahu rasanya jika terhempas dari arah yang berbeda, kan? Setiap keterhempasan selalu membawa kisah juga pelajaran yang tersendiri. Dan jika pilihanku benar, maka ijinkan ini bertahan lebih lama." Lirih Betari lagi.

Bulan melengkung sempurna seperti seutas senyum. Hingga Betari membuat keputusan pada saat hari keempat di masehi yang baru, Batara mengacungkan kedua tangannya penuh kegembiraan, seperti sang juara yang sampai di garis akhir. Pipi Betari bersemu merah dan hanya tersenyum tipis, jiwanya merapal ode pada semesta agar seperti yang ia harapkan waktu menghadap semalam.

Dan bagaimana menurut kalian kisah mereka? Bahagiakah sampai akhir hayat? Ah, tidak juga. Sekitar dua ratus sepuluh hari belakangan, Betari hanya menendangkan megatruh. Iya, selama itu Betari menendangkan megatruh.

Di suatu malam yang kering namun dingin, ia berjalan anggun menuju punden berundak-undak. Ekor gaun sutra berwarna hijau lumutnya menyapu lantai, melangkah gontai, rambut sepunggungnya yang tergerai ke samping di atas bahu kiri mengkilap diterpa cahaya rembulan, wajahnya gelap terhalangi bayangan kepalanya sendiri. "Bukan waktu, juga bukan jarak yang ku salahkan, kita hanya korban dari kejamnya rutinitas yang terlalu membabi buta." Kini Betari menengadah pada langit, menatap bulan yang menyabit sempurna, tersenyum sendu, "Entah kapan aku mendengar kalimat penyesalannya sambil membawa sekuntum edelweis. Semoga natura raya membawanya lagi padaku dengan selamat."

Dua ratus tiga belas hari setelah itu, Batara muncul, tapi tidak menemui Betari. Ia melangkah besar-besar nan terburu-buru menghadap kayangan. Betari melihat itu, lantas Betari kecewa, kenapa ia justru lebih mementingkan kelompoknya dibandingkan Betari. Tanpa sepatah kata karena telah meninggalkannya dalam waktu yang lama.

Entah apa yang mereka bicarakan, kemudian Batara langsung pergi. Laksana kilat yang terburu-buru pergi sehabis mencakar langit. "Apa salahku? Apa sedemikian hinakah diriku hingga engkau tak menoleh padaku? pergi begitu saja? Apa salahku?" Tanya Betari penuh kesal sesaat setelah Batara pergi. Betari terduduk lemas, menunduk dalam dan merapal kalimat terakhirnya berulang kali dalam hati.

Jiwanya puspas, entah ia harus merasa kesal atau mengasihani Batara. Untuk apa marah sedangkan ia tak ada di sini lagi sekarang. Betari jatuh tertidur dengan hati yang masih puspas. Bagaimanalah? Seperti dua orang yang tidak saling mengenal padahal.... Ah, kau tahu sendiri. Dan kau tahu, tak lama kemudian bunga tidur muncul. Betari memimpikan Batara, berbincang-bincang hangat seperti tak ada masalah. Berjalan beriringan bergandengan tangan menuju taman bahkan aras awan sekalipun! Hari yang sempurna.

Betari menggeliat anggun saat mentari mengintip sesenti dari garis cakrawala. Menghirup udara pagi, dan beberapa saat kemudian ia sadar bahwa kembang tidurnya 180 derajat jauh berbeda dengan realita. "Percuma menyumpah nyerapahimu. Percuma.." Kata Betari.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun