“Pagi pak Sutan,,, mau sarapan apa pak, bubur atau roti?” Tanya suster pribadi ku.
“Saya minta segelas kopi saja, terima kasih sus..” Jawabku
Fijar, begitu ia biasa disapa, ia adalah suster yang saat ini menjaga dan merawatku. Dahulu aku tinggal bersama istri dan ketiga anakku, dirumah yang cukup mewah juga bersama dua orang pembantu rumah tangga dan seorang tukang kebunku. Cukup ramai memang namun itulah keindahan yang tak banyak dimiliki oleh setiap orang.
Namun, sudah enam tahun belakangan ini sejak tragedi yang menimpa keluarga kami, aku hanya tinggal seorang diri tanpa istri dan juga anak-anakku. Hanya ada suster yang merawatku dan seorang tukang kebunku yang masih setia membersihkan setiap sudut ruanganku yang sudah mulai terlihat usang disana sini. Sekarang aku hanya tinggal dirumah kontrakan kecil, lusuh, bahkan untuk tidur sendiri saja rasanya bak tidur didalam peti mati sempit, sesak, dan berdebu.
Begitu pula dengan keadaanku yang demikian menyedihkan. Sebatang kara dan hanya bisa duduk dikursi roda setiap harinya karena salah satu kakiku telah diamputasi.
“Ini pak kopinya silahkan…”
“Ya terima kasih”
Sembari menyeruput kopi buatan sang suster, aku duduk dikamarku menatap kearah jendela yang sudah sedikit berdebu. Aku termenung mengingat kembali masa-masa kejayaanku. Masa-masa dimana aku masih tegak berdiri dan menatap hari-hariku yang tersenyum penuh rasa bangga.
“Papaaaa…papaaaa…papa pulang…” teriak Puja anak sulungku lalu seketika itu pula ia pun menghambur kearah ku dan memelukku seraya berkata dengan penuh manja “papa bawa apa pa? Pasti bawa makanan enak lagi ya?”
“Papaaaa..papa bawa mainan pesanan aku kan?” satu lagi si bungsu Fauzan merengek penuh manja.
“Kalau buat Akim mana pa??” Kini anak keduaku yang merengek, Hakim.
“Iya iya sayang papa bawa semua yang kalian mau..”
“eh… anak-anak nakal papa kan capek baru pulang kerja,, sana kalian main sendiri” kata istriku dengan lembut.
“Pa,, tadi siang pak Burhan bertandang kemari dan beritahu mama agar sepulang dari kantor papa langsung menghubungi beliau.” Seketika wajahku berubah merah karena teringat percakapan kemarin siang diberanda rumahku.
“Pak Sutan saya yakin dengan adanya proyek ini bisnis kita akan melambung dan kita akan mendapatkan untung banyak. Pikirkanlah sekali lagi saya akan menunggu.”
Proyek yang dimaksud oleh rekanku tadi adalah proyek pembangunan sebuah apartemen yang terletak tidak jauh dari tempat tinggalku, disana terdapat sebuah tanah lapang milik seorang saudagar kaya yang dijual seluas 2 hektar dan tanah tersebut saat ini hanya digunakan oleh para pedagang kaki lima dan asongan yang setiap harinya mencari nafkah dengan berjualan makanan, perabotan rumah tangga, bahkan ada pula yang hanya menyodorkan tangan meminta sebagian rezeki dari penghasilan mereka yang tidak seberapa.
“Bagaimana pak Sutan? Bapak hanya tinggal menanda tangani kontrak ini lalu sesegera mungkin kita jalankan proyek pembangunan itu.”
Pikirku panjang sebelum akhirnya aku menandatangani kontrak perjanjian kerja sama tersebut. Bagaimana nasib para pedagang yang setiap harinya mengais rezeki disana? Bagaimana nasib anak-anak mereka yang masih kecil-kecil jika tempat orang tua mereka mencari nafkah direbut dan digusur secara paksa oleh kami yang berkuasa? Aku terduduk lesu memikirkan bagaimana nasib mereka selanjutnya, apakah mereka akan pindah ketempat lain? Ataukah akan tetap mempertahankan? Sedang untuk modal mereka berdagang saja belum mencukupi atau bahkan mungkin tidak ada apalagi untuk menyewa tempat atau kios? Beribu pertanyaan menggelayuti pikiranku, menimpa bahuku seakan sebuah tebing besar menghantam kepalaku.
Burhan, rekan seprofesiku yang juga berposisi sebagai direktur utama diperusahaan yang telah lama bekerja sama dengan perusahaanku itu terlihat biasa saja dan dengan antusiasnya ia membujukku agar aku menerima tawaran kerja sama darinya. Yang selama ini kudengar dari beberapa karyawannya ia adalah sosok atasan yang otoriter dan licik, namun aku tidak mempercayai semua itu karena yang selama ini ku lihat adalah sosok Burhan yang tegas, berdikari tinggi dan penuh tanggung jawab.
Dua minggu setelah aku menandatangani kontrak tersebut, dilangsungkanlah penggusuran ditanah lapang tersebut. Karena tanah tersebut sekarang telah menjadi milik kami. Benar dugaanku para pedagang dan pengais rezeki menolak penggusuran yang sangat iba-tiba itu tanpa pemberitahuan, tanpa jaminan pengganti, dan lain sebagainya. Namun para pekerja dan buldoser milik perusahaan kami tetap melaksanakan penggusuran tersebut.
Mereka meneriakkan sumpah serapah yang aku tidak kuasa untuk mendengarnya, yang wanita banyak yang menangis karena satu-satunya harta berharga milik mereka kami hancurkan, tanpa ampun, tanpa belas kasih sama sekali. Hatiku miris melihat pemandangan tersebut, namun apa daya aku sudah menandatangani kontrak tersebut. Aku menoleh kepada Burhan dan aku lihat ia hanya menanggapi dengan santai semua pemandangan ini.
“Lihatlah Sutan, kita berhasil..kita berhasil menambah proyek kita dan bisnis kita akan semakin besar!!!” Teriaknya dengan angkuh.
“Hai kalian para penguasa!!! Enyah kalian dari muka bumi ini suatu saat kalian akan menjadi miskin bahkan lebih dari itu kalian menjadi gelandangan, hidup kalian sengsara wahai para penguasa dunia, camkan itu!!!” Teriak salah satu dari mereka.
“Kalian akan mati dalam keadaan sebatang kara, keranda kalian akan berjalan sendiri ke tanah pekuburan!!!”
Begitu banyak sumpah serapah yang menyayat-nyayat hati tersebut. Tak tahan lagi, akupun pulang ke rumah dengan perasaan tak menentu. Sepanjang perjalanan air mataku bercucuran betapa aku begitu tega merampas hak-hak mereka. Mereka juga manusia yang ingin bertahan hidup.
“Tidak Sutan, kau tidak salah, Burhan yang salah!!! Kau hanya terjebak dalam permainannya. Ya, permainan seorang Burhan yang licik dan keras hati itu.” Aku bergelut dalam hati.
Sesampainya dirumah aku melihat anak-anakku begitu riang, bermain dengan permainannya masing-masing. Bahkan aku lihat anak keduaku Akim begitu lucu dan menggemaskan sedang asyik bermain bola sendirian, sedang Puja dan Fauzan sedang mencoret-coret dibuku tulis, entah apa yang mereka tulis tetap dalam pandangaku, mereka begitu lucu, kreatif, inovatif, dan sekali lagi menggemaskan.
Aku langsung menuju kamarku dan melewati anak-anak serta istriku yang sibuk dengan pekerjaannya sebagai ibu dari anak-anakku. Aku sempat menoleh dan tersenyum kepadanya, lalu kembali berlalu.
Tiga tahun berlalu sejak proyek pembangunan selesai. Kehidupanku masih aman dan berjalan sebagaimana biasa. Anak-anakku pun tumbuh menjadi anak yang cerdas, ceria, namun masih tetap menggemaskan. Bahkan anak bungsuku Fauzan yang masih berusia tiga tahun sudah bisa membedakan warna-warna. Aku bangga mempunyai anak-anak seperti mereka. Rasanya hidupku sempurna. Aku jalani hari-hariku yang penuh warna dengan kesibukan duniawi. Sampai pada suatu malam..
“Kebakaran….kebakaran…api…api…!!!”
“Kebakaran….kebakaran….!!!”
Aku terperanjat dari tidurku, tak sempat pikir panjang aku langsung melompat dari jendela kamarku dilantai dua dan berlari keluar karena aku rasakan panas menjalar keseluruh ruangan di kediamanku. Aku sempat tertimpa sesuatu dan menyebabkan kakiku panas rasa terbakar, atau mungkin memang sudah terbakar entahlah, aku tak bisa berpikir lagi. Bahkan aku tak sempat menyelamatkan istri dan anak-anakku. Aku ingin kembali lagi kedalam namun terlambat, api sudah menjalar kemana-mana, menjilat seluruh isi rumahku. Aku menangis sejadi-jadinya.
“Ya Tuhan….apa ini yang Kau rencanakan sebagai balasan dari kekhilafanku dimasa lalu???” aku berteriak-teriak tak karuan.
Suara dengung mobil pemadam kebakaran dan para warga setempat yang takut rumahnya ikut terbakar juga ramai menjamah telingaku.
“Istriku…anak-anakku….mereka semua didalam aku akan menolong mereka pak…”
“Jangan pak api sudah semakin membesar percuma saja kau masuk yang ada kau hanya akan menghabisi dirimu”
Aku sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi, aku hanya bisa terduduk lemas tak berdaya, dua jam kemudian api sudah mulai padam dan hanya menyisakan puing-puing kehancuran.
“Arghhhhhhh….Rasanya aku ingin mati saja. mengapa aku tidak ikut terbakar bersama mereka saja??” Jeritku dalam hati.
“Yang tabah pak Sutan..ini ujian dari Tuhan mungkin anda pernah lupa kepadaNya karena kesilauan dunia yang anda miliki” Ketua RT menegarkanku.
Ya, selama ini aku memang telah banyak melupakanNya. Aku terlalu sibuk dengan urusan duniaku yang tak kunjung selesai. Lalu inikah teguran dariNya agar aku kembali padaNya? Tidak!! Aku tidak mau menjadikan Tuhan sebagai pelarian sedang disaat senang aku melupakanNya. Aku tidak mau menjadikan Tuhan sebagai budak.
Sejak saat itu, aku hidup terlunta-lunta, sebatang kara, perusahaanku bangkrut, semuanya habis ditelan bumi. Walau aku masih bisa bertahan dengan uang simpanan seadanya, namun hidupku hampa, duniaku kosong. Aku seperti tidak ada lagi didunia ini.
“Dimana anak-anakku???”
Mana mereka yang selalu menyambut kedatanganku ketika aku pulang kantor???
Mana mereka yang selalu berebut ingin makan dan minum disampingku???
Dimana suara tangis dan tawa mereka???
Dimana pelukan mereka serta panggilan papa…papa… ketika aku jauh dari mereka???
Dimana semua itu???
Dimana???
Tanpa sadar air mataku meleleh mengingat setiap inchi kejadian yang menimpaku enam tahun silam. Dan sampai saat ini peristiwa naas tersebut masih menjadi misteri, siapa gerangan yang tega membakar kediamanku dan menghancurkan hidupku sedemikian rupa, begitu sempurna permainannya hingga aku sendiri pun tak tau apa motif seseorang yang melakukannya. Apakah ia sengaja ingin menghancurkan kehidupanku? Ataukah ia mempunyai dendam pribadi terhadapku? Entahlah, yang aku tau seandainya aku tidak menandatangani perjanjian itu, mungkin sumpah serapah para orang-orang teraniaya itu tidak akan pernah ada. Mungkin sampai detik ini aku masih hidup bersama istri dan anak-anakku. Mungkin aku masih bisa merasakan deru nafas dan teriakkan anak-anakku yang penuh dengan kebahagiaan dan keceriaan. Mungkin aku bisa menyaksikan anak-anakku tumbuh dewasa dan menjadi orang sukses seperti aku, ayah mereka.
“Pak.. saya sudah siapkan sarapan ayo pak makan dulu…” Ucapan suster Fijar mengejutkan ku dan menyadarkanku dari lamunan panjangku.
“Ya sus terima kasih” Jawabku
Namun apalah daya kini aku sendiri. Kosong, ditemani kursi roda dan debu-debu kamarku. Ya, aku sendiri.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H