Mohon tunggu...
Muhamad Ridwan
Muhamad Ridwan Mohon Tunggu... Lainnya - Hanya mengisi kekosongan

stay where your heart smile

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Iman dalam Kehidupan

15 September 2023   11:07 Diperbarui: 15 September 2023   11:32 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sesungguhnya masalah "iman" itu, bukanlah sesuatu yang sifatnya tambahan dalam wujud ini, yang boleh kita abaikan atau kita anggap ringan, atau kita tinggalkan untuk dilupakan. Bagaimana ini boleh terjadi, padahal ia adalah suatu hal yang ada sangkut pautnya dengan wujud manusia dan dengan penentuan nasib hidupnya, bahkan dengan menilik kdpada fqlgsi dan kedudukan manusia, ia adalah merupakan "masalah penentuan nasib hidup" yang paling penting baginya. Ia bisa membawa manusia kepada kebahagiaan yang abadi atau kepada kecelakaan yang abadi. Maka oleh karenanya, adalah suatu keharusan bagi setiap yang mempunyai akal fikiran untuk memikirkannya dan mencari ketentraman dengan hakikat yang sebenarnya.

Sebagian dari rnereka ada yang menyandarkan pemikirannya kepada suatu fitrah yang ada dalam lubuk hatinya: "Adakah di sana suatu keraguan tentang wujud Allah, pencipta langit dan bumi?") "Itulah fitrah Allah yang atasnya Ia menciptakan manusia." (Q, A, 30 : S. Ar-Rum.). Sebagian yang lain ada yang mendasarkan'pemikirannya atas prinsip hukum sebab'akibat (causalitas) yang menetapkan bahwa setiap yang diciptakan pasti ada penciptanya, setiap sesuatu yang terjadi pasti ada yang menjadikannya, setiap yang bergerak pasti ada penggeraknya, dan setiap peraturan yang berlaku pasti ada di sana yang membuat peraturan itu. Prinsip pemikiran ini adalah jelas dan gamblang yang dapat diterima oleh akal fikiran. 

Sebagian dari mereka ada pula yang mendiskusikan masalah ini dengan secara perhitungan dan matematika, yang berkesimpulan bahwa sesuatu yang lebih menjamin bagi keselarnatan dalam

kehidupan sekarang ini dan sesudah mati nanti, adalah bahwa manusia hendaklah beriman kepada Allah, Hari Akhirat, adanya Kebangkitan dan Pembalasan, Tentang hal ini, seorang failasuf dan ahli syair, Abul Ala Al Ma'arry pernah berkata "Ahli nujum dan dokter mengatakan bahwa orang yang telah mati tidak akann dibangkitkan, Aku katakan kepadamu berdua, kalau benar apa yang kau katakan, aku tak akan mendapat kerugian, Tetapi kalau benar perkataanku, maka kerugian akan menimpa dirimu berdua."

Filsuf matematika Pascal berkata: "Entah Anda mengira Tuhan itu ada atau tidak, apa yang akan Anda pilih? Pikiran Anda tidak mampu dari semua ketidakberdayaan untuk memilih, dan ini adalah permainan yang terjadi antara Anda dan alam, di mana Anda masing-masing melemparkan panahnya, dan salah satu dari dua bagian harus menang .. Jadi seimbangkan antara apa yang bisa Anda menangkan dan apa yang Anda bisa kalah. Jika Anda mempertaruhkan semua yang Anda miliki pada penampilan panah pertama - yaitu, tentang keberadaan Tuhan - dan jika Anda menang, Anda akan memiliki kebahagiaan abadi. Jika Anda gagal, Anda tidak akan kehilangan sesuatu yang penting ... Anda hanya akan mengambil risiko sesuatu. Jika, dan setiap denda, - bahkan jika penyelidik kejatuhan itu dapat ditoleransi dan masuk akal."

siapa yang beriman kepada Allah dan Hari. Kemudian, ia tidak akan merasa khawatir dengan keadaan dunianya yang fana ini demi untuk mencapai keberuntungan di Akhiratnya kelak yang sifatnya kekal dan abadi . . . . Tidak, sama sekali tidak, karena ia dengan imannya ini akan beruntung dalam dua kehidupan secara bersama, dan akan beruntung dengan dua kebaikan di Dunia dan Akhirat semuanya. Oleh karenanya benarlah apa yang Allah firmankan dalam Al Qur-an: "(Barangsiapa menghendaki pahala di Dunia, maka pada Allah ada pahala Dunia dan Akhirat." Q. s. 134 : S. An-Nisa'.) "Bagi mereka ya,ig berbuat kebajikan di atas Dunia ini, akan mendapat balasan kebajikan pula, tetapi sesungguhnya negeri Akhirat.itu lebih baik keadaannya." Q. s, 30 : S. An-Nahl.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun