Anas Urbaningrum yang sedang tirakat di penjara koruptor Sukamiskin mencuit satire. Siapa lagi yang diserang kalau bukan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Publik maklum Anas menyimpang dendam tak berkesudahan kepada SBY. Anas terus membangun opini tengah dizalimi, kendati pengadilan tipikor jelas-jelas memvonisnya sebagai seorang koruptor. Masih ingat sesumbar, gantung Anas di Monas?
Kicauan Anas tepat momentnya. Ketika seteru-seteru politik SBY keteteran. Kicauan itu jadi amunisi elit-elit politik yang fustasi menghadapi manuver mencari keadilannya SBY. Sebagaimana kita ketahui, sejak Agus Harimurti Yudhoyono maju dalam kontestasi Pilkada DKI Jakarta, SBY telah “dibunuh” habis-habisan. Uniknya, dalam kondisi terzalami, SBY malah mampu memukul balik. Saking telaknya sehingga Anas dipaksa bangkit dari tirakatnya di penjara Sukamiskin.
Manuver Anas bisa diprediksi jauh-jauh hari, sejak aktivis Perhimpunan Indonesia berbondong-bondong masuk Hanura. Para elit penguasa memosisikan Anas sebagai senjata pamungkas untuk menggebuk SBY. Demi misi ini, penguasa melepaskan kewarasannya. Osman Sapta Odang berpayah-payah menyambanginya di penjara Sukamiskin. Kicauan Anas disebarluaskan oleh media-media mainstream.
Ironis! Seorang koruptor diperlakukan bak negawaran. Ketika gerakan pemberantasan korupsi menggebu-gebu, perampok uang rakyat malah diperlakukan terhormat. Seakan-akan dengan menyerang SBY, dosa-dosa Anas terhapus. Lucu sekali menyaksikan seorang koruptor, dari dalam penjara pula, menilai dirinya jauh lebih baik dari seorang negawaran. Indonesia macam apa ini?
Kuat dugaan adanya deal di sini. Penguasa butuh tukang gebuk, sedang Anas butuh panggung untuk membalas dendam dan menjaga popularitasnya di mata publik. Boleh jadi, jika peperangan ini memanas, skenario model Antasari Azhar juga sudah disiapkan penguasa untuk Anas Urbaningrum.
Zaman Kalabendu
Orang baik berusaha disingkirkan, orang yang moralnya bejat malah naik pangkat.
Banyak komentar tak bernas, orang salah dianggap benar, orang jujur malah terbelenggu.
yang salah dipuji dan dihormati, orang jujur malah hancur
Syair Serat Kalatida Ronggowarsito, pujangga besar di tanah Jawa, di atas dapat menggambarkan kondisi kebangsaan dan kenegaraan yang serba terbalik. Kebenaran universal turun tahtah menjadi komoditas sukahatinya penguasa. Standar baik dan benar diperkosa demi ambisi melanggengkan kekuasaan, termasuk dengan merangkul orang-orang yang bermasalah secara hukum.
Penganakemasan koruptor bukan hal baru di Indonesia. Kecuali penanganan kasusnya yang berbelit-belit, sanksinya pun masih relatif rendah. Ketika di penjara pun, bukan berarti para koruptor itu terisolasi dari dunia luar. “Investigasi Tamasya Napi Sukamiskin” yang ditulis majalah tempo misalnya, membuat kita miris. Betapa dengan berbekal amplop, para koruptor dapat pelesiran, bersantai di rumah kontrakan, apartemen, rumah sakit, sampai pulang kampung.
Rekrutmen para terpidana dan mantan terpidana koruptor untuk memperkuat benteng politik juga demikian. Tindakan memperalat Anas adalah warisan pola rekrumen yang sudah diterapkan oleh PDIP dan Golkar. Di tubuh DPP PDIP, kader-kader tersangkut korupsi diberi tempat strategis. Ambil contoh Rokhmin Dahuri (Ketua Bidang Kemaritiman), Bambang Dwi Hartono (Ketua Bidang Pemenangan Pemilu), Idham Samawi (Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi), dan Olly Dondokambey (Bendahara Umum). Kondisi serupa terjadi di Golkar dengan memosisikan dua residivis koruptor Nurdin Halid dan Fahd A Rafiq di tempat terhormat.
Skenario Antasari dan Ahok
Fenomena salah kaprah terjadi pula di Jalan Merdeka. Seorang bekas terhukum kasus pembunuhan disambut hormat di istana negara. Padahal sebagai penerima grasi, secara tak langsung Atasari telah mendapuk diri bersalah. Jika Antasari mengaku bersih, mestinya dia tak mengajukan grasi melainkan mengupayakan Peninjauan Kembali kasusnya.
Wajar bila publik menilai ada deal-deal politik. Pasalnya, belakangan Antasari mulai menyerang SBY. Bukan cuma mendukung Ahok-Djarot, dia diberi kursi terdepan di kubu paslon petanaha. Padahal, sebebas dulu, Antasari pernah menyatakan hendak fokus menikmati kebebasannya. Apa yang mendorong Antasari turun gunung kalau bukan terikat deal-deal politik dengan penguasa?
Dugaan tangan-tangan tak terlihat (invisible hand) dalam membela terdakwa penista agama Ahok juga tak bisa dipungkiri. Kendati sempat dipatahkan protes jutaan umat Islam, misi penyelamatan Ahok terus berlanjut. Bahkan, ketika Ahok tersandung pelecehan Kiyai Ma’ruf Amin, Luhut Binsar Padjaitan bersama Kapolda dan Pangdam Jaya menyambangi kediaman Ketua MUI. Publik bertanya, apa urusan Menko Kemaritimin dengan gejolak sosial-politik?
Sekarang, Mendagri mencari-cari alasan agar Ahok tak perlu dinonaktifkan selepas masa cuti kampanyenya selesai. Padahal sekelas mantan Ketua MK Hamdan Zoelva menyebut seharusnya Ahok sudah dinonaktifkan sejak menyandang status terdakwa.
Penganakemasan Ahok tak terlepas dari kepentingan Pemilu 2019. Sebagai basis PDIP, kursi pemimpin Jakarta tak boleh jatuh ke tangan parpol lain. Sementara Jokowi mencemaskan munculkan sosok capres penantangnya dari kursi gubernur DKI Jakarta.
Demikianlah tren pelanggengan kekuasan di negeri kita. Sungguh tak masuk nalar ketika koruptor, bekas terhukum kasus pembunuh sampai terdakwa penista agama dibela habis-habisan. Tetapi itulah yang marak. Sebagai penutup, ada baiknya kita menerunginapi nasihat Ronggowarsito.
Walaupun kelihatan beruntung orang yang gila itu
Masih lebih beruntung orang yang ingat dan waspada
Salam Kompasiana!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H