"Dialah kekasihku, Mas." Perkataanku nampaknya berhasil membuanya kaget, dan kemudian sedikit menjauhkan posisi tubuhnya dari tubuhku—sambil tetap menatapku. "Mungkin kekasihku memang hanya seorang pemuda kampung biasa, dia tidak lebih kaya darimu, dia tidak lebih populer darimu, dan bahkan dia tidak lebih tampan darimu. Dilihat dari segi mana pun dia memang tidak sama denganmu, Mas. Tapi meskipun begitu, dia lebih percaya diri darimu, dia lebih mengandalkan dirinya sendiri untuk mendapatkan cintaku. Dia tidak sepertimu, dia tidak pernah mengandalkan kedua orang tuanya hanya untuk memenangkanku. Dan terakhir, kau tahu apa yang lebih membuat kalian berbeda? Dia begitu kucinta, sementara kau tidak." Aku menghabiskan cukup banyak tenaga untuk mengungkapkan itu semua, sekaligus menahan air mata agar aku tak terlihat lemah di hadapannya.
Setelah itu, tak terdengar lagi suara suamiku. Mungkin efek dari racun serangga yang ia minum sebelumnya sudah bekerja. Maafkan aku, Mas. Aku telah menghakimimu sebelum kau sempat mencicipi tubuhku. Aku tahu aku egois, tapi kurasa itulah balasan yang setimpal untuk orang sepertimu, orang yang telah tega membunuh kekasihku sebelum dia sempat meminangku. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H