Mohon tunggu...
M RIDWAN RADIEF
M RIDWAN RADIEF Mohon Tunggu... Mahasiswa - Penulis

Aku adalah tanda tanya untuk sesuatu yang bernama "ILMU"..

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Patologi dan Subjektivitas Eksistensi Birokrasi (Sebuah Refleksi Menjelang Rasionalisasi PNS)

9 Juni 2016   10:14 Diperbarui: 9 Juni 2016   10:44 242
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bisa dikatakan Birokrasi telah gagal menjadi inspirasi akselerasi Reformasi Birokrasi.  pelbagai patologi yang menjadi ciri birokrasi masih menjadi momok yang mengemuka di lingkungan pemerintah daerah. Warisan pemerintahan kolonial seperti budaya feodal, priyayi, paternalistik, hierarkis, dan loyalitas subjektif eksis menghiasi arena kebijakan dan pelayanan publik.

Selama ini, Birokrasi telah mengalami disorientasi. Ketidakmampuan menerjemahkan otonomi daerah dalam perspektif kebijakan dan pelayanan publik membuat birokrasi tidak mempunyai visi dan misi yang jelas mewujudkan pemerintahan yang efektif dan efisien. Eksistensi birokrasi lebih cenderung kepada agen penguasa dibanding agen pelayanan. Wajar jika kemudian birokrat tidak memiliki Sense of urgencykarena realitsas birokrasi jauh dari persoalan masyarakat yang mengakibatkan respons terhadap kesulitan masyarakat cenderung lamban.

Memahami Patologi Birokrasi

Konsep Patologi berasal dari ilmu kedokteran yang mengkaji mengenai penyakit yang melekat pada organ manusia sehigga menyebabkan tidak berfungsinya organ tersebut. Sedangkan Patologi birokrasi di sini dilihat dari perspektif administrasi publik untuk mengamati pelbagai penyakit birokrasi yang membuat birokrasi pemerintah mengalami disfungsional dan disorientasi. Menurut analisis penulis, Paradoks eksistensi birokrasi disebabkan oleh pelbagai penyakit, di antaranya adalah :

Pertama. Warisan pemerintahan klonial seperti budaya feodal dan priyayi masih sangat kental di tubuh birokrasi. Status pegawai negeri dipandang sebagai status sosial yang tinggi dan melekat di dalamnya privileges.Kegilaan birokrat akan rasa hormat dan hak – hak istimewa membuat birokrasi tidak memiliki sense of human being. Ini yang kemudian merusak fungsi pelayanan kepada masyarakat yang mengakibatkanmasyarakat dilayani berdasarkan ciri – ciri subjektifnya. Misalnya, masyarakat dengan status sosial yang tinggi (eks pejabat/Pengusaha) akan mendapatkan keutamaan – keutamaan dalam pelayanan sedangkan masyarakat dengan status sosial yang rendah harus menanggung prosedur yang rigid. Situasi seperti ini memperlihatkan bahwa bargaining positionbirokrasi sangatlah rendah karena hanya dinilai dengan hubungan kekerabatan, status sosial, dan uang. Bukan lagi integritas, kinerja, dan kompetensinya.

Eksistensi birokrasi tidaklah demikian. Pelayanan kepada masyarakat harusnya bersifat non-partisan. Masyarakat harus dipandang sebagai sebuah kasus sehingga tidak ada perbedaan status sosial dengan yang lain. Adapun yang membedakan satu dan yang lainnya adalah besar kecilnya masalah yang dihadapi masyarakat sehingga membutuhkan penangan yang berbeda.

Kedua.Prosedur yang rigid dan cenderung hierarkis. Sering  kali kita jumpai prosedur yang rigid dan tidak responsif di instansi pemerintah. Bukannya memudahkan pelayanan, justru menyulitkan dan mencederai hak – hak masyarakat untuk mendapatkan pelayanan yang baik. Ketakutan aparat birokrasi menyesuaikan kondisi masyarakat menjadikan prosedur seperti berhala yang harus mutlak untuk ditaati.

Prosedur seperti ini berpotensi menjadi ladang pungli bagi aparat pemerintah pemburu rente. Batapa tidak, hal ini akan menciptakan pasar pungli, tawar menawar demi pelayanan yang mudah dan cepat. Hak – hak istimewa yang diberikan aparatur kepada pengguna layanan ditukar dengan sejumlah kenikmatan. Ini membuktikan bahwa prosedur tidak disusun berdasarkan kondisi masyarakat melainkan kepentingan subjektif penguasa. Tidak sampai di situ, prosedur yang kaku mendidik aparat birokrasi tidak inovatif dan sulit untuk melakukan diskresi terhadap persoalan masyarakat yang semakin kompleks.

Pun demikian dengan struktur birokrasi yang cenderung hierarkis, hal ini berdampak pada  panjangnya proses pengambilan keputusan. Setiap keputusan terfragmentasi dalam setiap bidang. Jadi, harapan bahwa pelayanan semakin mudah ibarat mimpi di siang bolong.  

Ketiga.Loyalitas subjektif. Loyalitas banyak dimaknai subjektif dan berlebihan oleh aparat birokrasi. Mindsetbirokrat lebih menitikberatkan loyalitas kepada pimpinan organisasi dari pada masyarakat dan negara sehingga orientasi loyalitas birokrasi lebih berfungsi untuk menyenangkan atasan atau dengan kata lain asal bapak senang (ABS) . Pelbagai macam upaya dilakukan aparat birokrasi demi menyeangkan atasan termasuk diantaranya merelakan anggaran kegiatan dipangkas habis oleh atasan. Perilaku seperti ini merusak fungsi organisasi serta menyuburkan budaya paternalistik dalam birokrasi yang menyulitkan bawahan melakukan tindakan karena terkonsentrasinya keputusan pada pucuk pimpinan.  Mindsetcolonial di atas seharusnya diubah melalui kemapanan integritas, kompentensi dan enkulturasi ABJ (asal bapak jujur). Jadi selama pimpinan organisasi jujur untuk kepentingan masyarakat, selama itu pula loyalitas selalu ada.  

Pertanyaannya kemudian, apakah rasionalisasi akan menjadi instrumen mengobati patologi birokrasi ? atau justru akan menambah penyakit birokrasi ? jika rasionalisasi bertujuan untuk efisiensi anggaran dan tidak untuk mengobati penyakit kronis birokrasi seperti di atas, bisa jadi rasionalisasi menjadi pasar korupsi oleh birokrat pemburu rente dengan memanfaatkan anggaran pegawai yang telah dirumahkan.  Semoga saja tidak demikian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun