Hari Gizi Nasional diperingati setiap tanggal 25 Januari. Peringatan ini sebagai bentuk upaya mengkampanyekan kesadaran gizi di tengah masyakarat. Topik nutrisi 1.000 hari pertama anak menjadi topik penting yang akan dibahas karena bisa mencegah stunting atau gagal tumbuh pada anak.
Indonesia saat ini mempunyai masalah triple burden, yaitu stunting dan wasting, obesitas dan kekurangan zat gizi mikro seperti anemia. Terdapat 3 diantara 10 balita stunting, 1 diantara 10 balita wasting, 1 diantara 10 balita obesitas dan 1 diantara 2 ibu hamil anemia serta 3 diantara 10 remaja anemia (Riskesdas 2013 -- 2018).
Dari beberapa masalah di atas, stunting menjadi isu yang paling ramai diperbincangkan dan diberitakan pada berbagai kesempatan. Secara tidak langsung, masalah stunting memang menyangkut harga diri bangsa. Bagaimana tidak, ditengah upaya menuju negara maju, data yang dipublikasikan Unicef (United Nations Children's Fund) 2017 menempatkan Indonesia sebagai negara peringkat kedua se-ASEAN dengan prevalensi stunting tertinggi, yakni 36,4%.
Tak heran jika pada saat periode Pilpres 2019 lalu, masalah stunting menjadi sorotan kedua Paslon. Kemudian dalam pidato yang disampaikan oleh Presiden terpilih Joko Widodo, disebutkan bahwa titik dimulainya pembangunan SDM dimulai dari usaha untuk menjamin kesehatan ibu hamil, kesehatan bayi, balita, dan anak usia sekolah.Â
Tidak lupa, Presiden menekankan upaya penanganan stunting dan upaya untuk mengatasi kematian ibu dan bayi. Agenda prioritas yang disusun pemerintah ini tentu sejalan dengan upaya untuk mencapai berbagai tujuan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB).
Itulah mengapa Presiden Joko Widodo saat mengumumkan dr. Terawan sebagai Menteri Kesehatan, secara tegas menyebut masalah stunting akan menjadi salah satu prioritas utama yang harus diselesaikan. Tentu ini bukan tantangan mudah bagi Menkes yang baru, tapi juga bukan hal yang tak mungkin diselesaikan.
Menurut Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan, Stunting atau kerdil adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umurnya. World Health Organization (WHO) menjelaskan, kondisi gagal tumbuh ini terjadi akibat kurangnya asupan gizi dalam waktu lama serta terjadinya infeksi berulang. Kedua faktor penyebab ini dapat dipengaruhi oleh pola asuh yang tidak memadai terutama dalam 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK).Â
Periode 1.000 HPK yang meliputi 270 hari selama kehamilan dan 730 hari pertama setelah bayi dilahirkan merupakan periode yang menentukan kualitas kehidupan. Apabila mengalami masalah gizi pada periode tersebut, anak akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal.
Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Kesehatan telah melakukan Integrasi Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2019 dan SSGBI 2019 untuk mengetahui prevalensi balita stunting. Pada tahun 2019 diketahui prevalensi balita stunting Indonesia sebesar 27,7% atau dengan kata lain 28 dari 100 balita menderita stunting, lumayan turun dari angka 30,8% pada Riskesdas 2018. Sedangkan WHO menetapkan batas toleransi stunting maksimal 20% dari jumlah keseluruhan balita. Dengan demikian, Indonesia masih jauh di bawah standar WHO.
Ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama terjadinya stunting pada anak. Pertama dan yang paling utama adalah kurangnya asupan nutrisi dari makanan yang dikonsumsi oleh si anak sejak dalam kandungan. Kedua, pola asuh orang tua yang tidak memberikan ASI eksklusif selama 6 bulan pertama.Â
Ketiga, kurangnya kesadaran akan kebersihan dan pola hidup sehat. Ketiga faktor di atas diyakini menjadi penyebab tingginya angka stunting di Indonesia. Hal ini didukung oleh beberapa fakta bahwa 1 dari 3 ibu hamil di Indonesia mengalami anemia. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya asupan gizi dan kurangnya suplemen zat besi.
Kesadaran untuk memberikan ASI eksklusif di Indonesia masih perlu untuk ditingkatkan. Hasil Susenas menunjukkan pada tahun 2019, hanya 67 dari 100 anak usia 0-5 bulan yang diberikan ASI eksklusif, padahal dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 33 Tahun 2012 tentang Pemberian Air Susu Ibu Eksklusif disebutkan bahwa setiap ibu yang melahirkan harus memberikan ASI eksklusif kepada bayi yang dilahirkannya.Â
Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan (2014) menyebutkan bahwa ASI eksklusif dianjurkan pada beberapa bulan pertama kehidupan karena ASI tidak terkontaminasi dan mengandung banyak gizi yang diperlukan anak pada umur tersebut.
Pada tahun 2019, hanya 55 dari 100 anak usia 12-23 bulan yang telah menerima imunisasi dasar lengkap. Hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah mengingat dampak imunisasi terhadap status kesehatan masyarakat tidak terbantahkan. World Health Organization (2019) menyebutkan beberapa alasan dibalik pentingnya pemberian vaksin yang digunakan dalam program imunisasi, yaitu vaksin dapat menjaga kesehatan, menghemat biaya perawatan dan pengobatan, bahkan dapat menyelamatkan jiwa.
Berbeda dengan pemberian ASI eksklusif dan imunisasi dasar lengkap, baik persentase perempuan pernah kawin usia 15-49 tahun yang melahirkan anak lahir hidup dalam 2 (dua) tahun terakhir dan anak yang terakhir dilahirkan di fasilitas kesehatan maupun yang ditolong oleh tenaga kesehatan sudah tinggi, yaitu masing-masing sebesar 85,94 persen dan 94,71 persen.Â
Dengan melakukan persalinan di fasilitas kesehatan, komplikasi ataupun masalah yang terjadi baik sebelum, saat, maupun pasca persalinan dapat segera ditangani.Â
Keberadaan tenaga kesehatan dan ketersediaan fasilitas pendukung seperti alat-alat kesehatan di fasilitas kesehatan tersebut memegang peranan penting bagi keselamatan ibu dan bayinya.
Penyebab tak langsung ialah kondisi lingkungan. Misalnya, kekurangan akses air bersih, sanitasi yang buruk, lingkungan kumuh dan kotor, terisolir karena tak ada akses yang bagus untuk menghubungkan dengan wilayah luar, dan seterusnya. Persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap layanan sumber air minum layak sudah cukup tinggi, yaitu sebesar 89,27 persen, begitu pula dengan yang memiliki akses terhadap layanan sanitasi layak (77,39 persen).
Stunting memang disebabkan oleh faktor multi dimensi. Intervensi yang paling menentukan untuk dapat mengurangi pravalensi stunting, perlu dilakukan pada 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) dari anak balita. Pencegahan stunting dapat dilakukan antara lain dengan cara pemenuhan kebutuhan zat gizi bagi ibu hamil.
Selain itu solusi lainnya adalah dengan memberikan ASI eksklusif sampai umur 6 bulan dan setelah umur 6 bulan diberi makanan pendamping ASI (MP-ASI) yang cukup jumlah dan kualitasnya, memantau pertumbuhan balita di posyandu, dan meningkatkan akses terhadap air bersih dan fasilitas sanitasi, serta menjaga kebersihan lingkungan.
Stunting bukan sekadar persoalan keluarga inti yang kurang gizi, namun bagaimana peran serta masyarakat menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia. Semua pihak perlu bergandeng tangan mengurai masalah ini.
UUD 1945 Pasal 28 B ayat (2) menyatakan bahwa "Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi." Oleh karena itu, sudah menjadi tanggung jawab kita bersama, baik pemerintah maupun masyarakat untuk mencegah dan mengatasi permasalahan stunting Indonesia, sebagai implementasi dari amanat UUD 1945 tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H