Isu pelemahan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kembali hangat dibicarakan akhir-akhir ini. Presiden Jokowi dianggap tokoh yang paling berpengaruh dalam pelemahan KPK. Hal ini, disebabkan oleh UU KPK yang disahkan tahun 2019 lalu.
Pada 5 September 2019, DPR melaksanakan rapat paripurna dan mengesahkan revisi Undang-undang KPK mejadi RUU. Tak berselang lama, sore harinya KPK langsung menggelar jumpa pers untuk menolak RUU tersebut dan menyurati Presiden Jokowi karena dinilai RUU ini berisiko melemahkan KPK.
"Mohon Presiden tidak mengirimkan Surpres," kata ketua KPK saat itu, Agus Rahardjo, seperti dikutip dari cnnindonesia.com.Â
Surat dari KPK bertepuk sebelah tangan. Pada 11 September 2019, Presiden Jokowi menerima daftar inventarisasi masalah (DIM) dari draf revisi UU KPK. Jokowi kemudian mengundang sejumlah pakar untuk mengkaji draf tersebut. Mensesneg Pratikno menyebut bahwa Presiden Jokowi telah mengirim surat presiden (Surpres) kepada DPR. Dengan terbitnya Surpres ini, Jokowi telah merestui pembahasan revisi UU KPK.
Meskipun rencana ini dikecam berbagai pihak, DPR dan pemerintah tidak menggubrisnya. Pembahasan RUU KPK dikebut. Tanggal 17 September 2019, DPR melalui rapat paripurna akhirnya mengesahkan RUU KPK. Pengesahan ini tidak lantas membuat UU KPK resmi berlaku, masih ada satu tangan kunci dalam mengundangkan UU KPK, yaitu Presiden Jokowi.
Setelah UU KPK disahkan DPR, Jokowi seakan menghilang. UU tersebut seharusnya diserahkan kepada presiden untuk ditandatangani. Namun, hingga beberapa hari, tak kunjung ada kabar apakah presiden telah menandatangani atau belum. Undang-undang ini berada di ketidakjelasan nasib. Demonstrasi besar pun terjadi di pelbagai wilayah. Mahasiswa menuntut presiden untuk menolak undang-undang tersebut.
Ada sebuah fakta menarik. Berdasarkan UU No. 12 Tahun 2011 Pasal 73 ayat 1 dan 2, sebuah undang-undang tetap resmi berlaku mulai 30 hari setelah disahkan DPR walaupun tanpa tanda tangan presiden. Hal ini, mungkin membuat seakan DPR lebih berkuasa. Namun, tetap presiden yang pegang kendali. Lagi-lagi Jokowi lah yang menjadi kunci, UU KPK bisa saja tidak berlaku apabila presiden menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
Aksi demo terus terjadi, menanyakan sikap Jokowi terhadap undang-undang ini. Mereka berharap presiden bisa mengeluarkan perppu atas UU KPK. Namun, hingga 30 hari berlalu, pada 17 Oktober 2019, UU KPK resmi berlaku dengan nama UU No.19 Tahun 2019. Jokowi dikabarkan tidak menandatangani undang-undang tersebut.
"Iya (tidak ditandatangani Jokowi)" kata Kepala Bagian Humas dan Kerja Sama Dirjen Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, Tri Wahyuningsih, kepada cnnindonesia.com (18/10/2019).
Pertanyaan pun mencuat, apakah Jokowi menolaknya? Spekulasi bermunculan, ada kemungkinan beberapa poin hasil revisi tidak sesuai dengan keinginan presiden. Dugaan lainnya, Jokowi tidak ingin dibenturkan dengan aksi demonstrasi. Jika Presiden Jokowi keukeuh menandatangani undang-undang tersebut, maka tidak menutup kemungkinan aksi demo semakin tajam ke arah Jokowi. Bisa saja apa yang dilakukan Jokowi dengan tidak menandatangani UU KPK ini untuk 'cari aman'.
Lantas mengapa presiden tidak menerbitkan perppu saja? Inilah yang menjadi pertanyaan, sebenarnya bagaimana sih sikap Jokowi terhadap UU ini? Malu-malu tapi mau?