Mohon tunggu...
Ridwan Hasyimi
Ridwan Hasyimi Mohon Tunggu... Seniman - Pekerja Seni

Berteater, nari, dan nulis.

Selanjutnya

Tutup

Seni

Membaca Teks, Tekstur, dan Konteks Amara Rababu

8 Desember 2022   11:42 Diperbarui: 8 Desember 2022   11:59 784
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Karena tidak semua peristiwa sejarah berlangsung dramatis, kesadaran kuat bahwa historiografi dan drama adalah dua hal yang berbeda bisa menjadi ruang negosiasi. Hal ini berlaku bagi kreator maupun apresiator agar komunikasi kesenian bisa terjalin di frekuensi yang sama.

Beruntung, beberapa aktor sebagai ujung tombak komunikasi lakon tampil prima. Wit Jabo Widianto memberi takaran yang cukup dan sesuai sebagai Sempak Waja. Dialek (lentong) pilihanya unik sehingga ddngeun di pendengaran penonton. Ia menang dengan tenang tanpa kehilangan marah dan sedih sebagaimana manusia lain.

Sementara, Kiki Kido Pauji (Amara/Mandiminyak) masih asik dengan gaya favotirnya: grand style. Pilihan ini cocok dengan lakon babad macam Amara Rababu, kendati bukan satu-satunya pilihan gaya akting. Sayangnya, ia dan teman mainnya, Ami Iteung (Rababu), seperti berada di frekuensi yang berbeda.   

Kecuali tiga tokoh utama itu, Kisem, Teguh, Komeng, Ahong, Saepul, Pongkir, Ucha, dan Qeis, bermain cukup baik walau beberapa di antaranya ada yang berlebihan dan ada juga yang kurang berdarah.

Dokpri
Dokpri

Teks ke Konteks

Galuh adalah sebuah kerajaan. Padanannya hari ini adalah negara. Dalam konteks ini, Mandiminyaklah yang paling mendekati sebagai representasi politisi. Ia calon raja, calon presiden walau rambutnya tidak putih dan tak ada kerutan di dahinya.

Sementara, Sempak Waja, walau saya tidak menemukan padanan pas fungsi dan jabatannya di dunia moderen, tetapi sikapnya adalah sikap negarawan sejati.

Tiga kali ia kecewa kepada adiknya. Pertama, karena selingkuh dengan istrinya. Kedua,  karena tak langsung mengaku dan malah habis-habisan bersilat tidah, persis politisi. Ketiga, ia kecewa sebab manusia macam ini---yang tidak jujur, gemar berbohong, tak punya wibawa, tukang rucah---yang akan menjadi pemimpin. Kekecewaannya yang ketiga yang paling berat sebab tidak hanya menyangkut dirinya, melainkan negara.

Namun, karena Mandiminyak akhirnya meminta maaf dan mengaku salah, Sempak Waja justru turut memuluskan jalannya ke singgasana. Andai sang kakak menuruti nafsu amarah, boleh jadi Mandiminyak akan dicatat sebagai putra mahkota yang mati dibunuh kakak sendiri.  Atau dicopot karena tertangkap basah berlaku asusila. Tapi, semua itu tidak terjadi. Sempak Waja---anak tertua yang seharusnya menjadi raja---dengan bijak dan rendah hati memaafkan keduanya bahkan sebelum mereka  minta maaf, demi wibawa dan keberlangsungan negara.

Kendati begitu, di kemudian hari, sejarah mencatat terjadi perang saudara hebat antara keturunan Mandiminyak dan keturunan Sempak Waja. Peristiwa ini menjadi catatan kelam yang lain dari Kerjaan Galuh, catatan kelam yang bermula dari gagalnya calon penguasa menguasai dirinya sendiri.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun