Apa yang dinanti Kakek dan Nenek "Kereta Kencana" terjawab di fragmen berikutnya: "Nyanyian Angsa". Para pemain bertopeng setengah wajah itu sebagiannya berubah menjadi set. Dua di antara mereka menjadi Vasili dan Nikita Ivanitch. Drama karya Anton Chekov ini mengisahkan seorang aktor tua yang sepenuhnya membaktikan diri kepada panggung, yang kaya akan pengalaman pentas, namun perlahan tapi pasti ditinggalkan penonton di usia senjanya. Decak kagum dan tepuk tangan tak semeriah dulu. Vasili mati dalam sepi. Persis seniman teater di masa pandemi. Kisah kesepian.
Untuk beralih dari satu fragmen ke fragmen lain, sutaradara membuat adegan jembatan. Atau transisi. Alih-alih menikmati perjalanan di tengah jembatan yang khas, adegan-adegan transisi yang dihadirkan cenderung tergesa-gesa. Seperti wajib pendek dan cepat, tapi harus cair (dan menjadikan cari).
Transisi yang take off dan landing-nya paling nyaman adalah perpindahan dari "Nyanyian Angsa" ke "Bencana". Itu pun jika adegan tersebut dimaksudkan transisi. Durasinya paling panjang di antara adegan transisi yang lain. Di sana, semua pemain membuka topengnya dan menjadi "diri sendiri". Selayaknya aktor yang rehat latihan, mereka minum, merokok, dan bercanda, sambil sesekali menertawakan nasib mereka sendiri sebagai "anak panggung".
Satu dua dialog berisi kritik kepada penonton teater yang kadang terlalu bersemangat mengomentari pertunjukan sebelum tuntas mengunyahnya. Juga kritik pada kondisi teater sendiri. "Atap bocor? Tambal dengan puisi," katanya. Berdempetan dengan dialog tentang habisnya beras di sekretariat mereka, menambal atap bocor dengan puisi bikin penonton---yang sebagian besarnya penggiat teater---nangis dengan tawa. Geblug.
Pada adegan ini, penonton dengan daya tangkap kelas receh macam saya sedikit demi sedikit ngeh. Oh, fragmen-fragmen yang tadi mereka mainkan itu adalah bagian dari latihan mereka sebagai aktor. Jadi, ada drama dalam drama. Lima aktor berlatih drama "Menunggu Godot", "Kereta Kencana", dan "Nyanyian Angsa" dalam drama "Bencana". Sederhananya, itulah cerita "Geblug".
Sayangnya, meski aktor-aktor itu berakting dan bernyanyi dengan total, sutradara tidak menghendaki mereka berada di panggung. Ketika para aktor itu asik ngobrol, aktor utama (Ikhsan Kumis) datang. Lalu sutradara (Kiki "Kido" Pauji). Mereka mempresentasikan hasil eksplorasi, menyanyikan lagu prihal bencana alam dan bencana lainnya.
"Ini kontekstual," kata asisten sutradara (Wawam Nur). Tapi sang sutradara bertopi  copet abu itu tak terima. Dengan ringan ia menyuruh asistennya untuk tidak lagi memainkan mereka di atas pentas. Di panggung tinggal sutradara, asisten, dan aktor utama.
Dalam banyak tradisi kelompok teater di dunia, termasuk di Indonesia, sutradara adalah sentral dari segalanya. Kata-katanya seakan sabda tak terbantahkan. Keinginan dan cita rasa estetiknya adalah jalan kebenaran tak terinterupsi. Aktor kadang kala tak ubahnya bak boneka dalam arti sesungguhnya. Sutradara adalah dewa tanpa cela. Â
Sutradara macam inilah yang digambarkan dalam "Bencana"nya Beckett. Juga dalam "Geblug". Sutradara maniak estetika yang sering kali sebelas dua belas dengan "...penyair-penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian," meminjam "Sajak Sebatang Lisong"nya Rendra.