Mohon tunggu...
Ridwan Hardiansyah
Ridwan Hardiansyah Mohon Tunggu... karyawan swasta -

penikmat huruf dan angka serta tanda-tanda yang menyertainya.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kehadiran Punk di Bandar Lampung (3 - Kumpulan Naskah Sedikit Cerita Punk dari Bandar Lampung)

7 Juli 2012   16:45 Diperbarui: 25 Juni 2015   03:12 1457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Punk mulai hadir di Bandar Lampung sekitar tahun 1996. Sebelum tahun tersebut, punk telah menyebar di beberapa kota besar di Indonesia antara lain Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta sejak 1980.[1] Profane Existence, sebuah zine asal Amerika, menulis bahwa Indonesia dan Bulgaria merupakan negara dengan perkembangan punk yang menempati peringkat teratas di muka bumi.

Dari Bandung ke Bandar Lampung

Not for Eat merupakan sebuah band beraliran underground yang lahir dan besar di Bandung. Personel band ini berisi enam mahasiswa asal Bandar Lampung yang memilih kuliah di luar kota. Karena memiliki latar belakang asal daerah dan kesukaan bermusik yang sama, para mahasiswa ini sepakat membentuk sebuah band. Seluruh personel band Not for Eat merupakan alumni dari sekolah menengah atas (SMA) Negeri 3 Bandar Lampung.

Salah seorang personel band Not for Eat dikenal dengan nama panggilan Sensen. Dia merupakan seorang keturunan Tionghoa yang dibesarkan di Bandar Lampung. Jika pulang ke Bandar Lampung, Sensen sering singgah di rumah Dedi di daerah Kaliawi, Tanjungkarang Pusat. Dedi merupakan personel lain dari Not for Eat yang juga kuliah di Bandung. Selain Sensen, beberapa teman Sensen dan Dedi pun kerap kali datang ke rumah Dedi.

Di lain pihak, adik Dedi yang dikenal dengan nama panggilan Bo juga sering dikunjungi teman-temannya. Rumah Bo yang tak lain juga rumah Dedi tidak pernah sepi oleh teman-temannya, yang saat itu masih berusia sekitar 14-16 tahun. Interaksi antara Sensen dan Dedi dengan Bo dan teman-temannya kemudian terjadi selama mereka bertemu ketika berkumpul. Saat itulah, Sensen dan Dedi mengenalkan punk kepada Bo dan teman-temannya. Walaupun Not for Eat merupakan band yang murni beraliran underground, tetapi Sensen terlihat lebih condong menjadi seorang punkers.

Kepulangan Sensen dan Dedi ke Bandar Lampung biasanya tidak lama, hanya sekitar seminggu atau dua minggu. Frekuensinya pun tidak sering, hanya ketika liburan semester tiba. Tetapi, keduanya selalu memanfaatkan kunjungan mereka ke Bandar Lampung untuk berbagi berbagai hal mengenai punk terutama lewat musik. Sensen dan Dedi selalu membawa bermacam kaset punk, baik musik lokal maupun luar negeri, dan membagikannya kepada Bo dan teman-temannya di Bandar Lampung. Tidak hanya satu atau dua kaset, keduanya sering membawa satu kardus penuh berisi kaset beraliran punk. Suplai kaset punk yang terus menerus dari Sensen dan Dedi ternyata disukai Bo dan teman-temannya. Kepulangan Sensen dan Dedi pada akhirnya menjadi waktu yang dinanti karena keduanya biasa membagikan kaset musik punk. Sebab pada saat itu, peredaran kaset punk di Bandar Lampung masih langka atau bisa dibilang tidak ada.

Tidak hanya musik, Bo dan teman-temannya juga meniru penampilan Sensen dan Dedi. Penampilan Sensen yang berpostur tubuh kecil selalu tidak pernah rapi dengan rambut mohawk berwarna merah dan aksesori di beberapa bagian tubuhnya. Bo dan teman-temannya mulai membuat sendiri aksesori yang dipakai Sensen dan Dedi, seperti gelang, anting, ikat pinggang, dan sebagainya. Mereka memilih untuk membuat sendiri karena harga barang-barang tersebut masih sangat mahal saat itu.

Identitas Diri melalui penampilan

Aksesori yang dibuat Bo dan teman-temannya kemudian digunakan dan dijadikan fesyen mereka sehari-hari. Mereka mulai meniru penampilan Sensen atau punkers di Bandung pada umumnya. Mulai dari rambut mohawk sampai celana street[2] dan boot Doc Marten.

Penampilan mereka pun mulai tampak berbeda dengan orang kebanyakan. Penampilan sebagai punkers menjadi identitas untuk menunjukkan kepada masyarakat umum bahwa mereka ada.

Aksesori yang mereka buat bermacam-macam. Setiap aksesori memiliki maknanya masing-masing. Punkers pun memakai aksesori yang berbeda-beda satu sama lain. Tetapi, tak jarang pula punkers yang tampil tanpa aksesori. Hanya memakai kaos dan celana jeans biasa. Identitas punkers tersebut biasanya dapat dilihat pada kaos yang digunakan.

Jumlah aksesori yang dipakai juga beragam. Ada yang hanya menggunakan satu aksesori. Adapula yang menggunakan sampai belasan aksesori. Sebagian besar aksesori yang sering dipakai adalah spike.

Penampilanatau fesyen yang dikenakan punkers memiliki simbol-simbol pemaknaan[3]. Secara umum, fesyen yang dikenakan punkers berusaha menjungkirbalikkan nilai-nilai dominan yang ada. Masyarakat memiliki pandangan umum mengenai fesyen yang baik dan buruk. Serta, fesyen yang sedang ngetrend saat ini dan tidak. Masyarakat melabelkan itu semua dan menganggap buruk semua bentuk fesyen yang tidak sesuai dengan pandangan mereka. Punkers menjungkirbalikkan nilai-nilai itu melalui fesyen yang disengaja untuk tidak sesuai dengan pandangan masyarakat. Biasanya pakaian yang digunakan punkers dibuat atau dimodifikasi sendiri oleh mereka.[4]

Musik sebagai Ekspresi

Kaset-kaset yang selalu disuplai Sensen dan Dedi lambat laun memengaruhi Bo dan teman-teman. Mereka mendengarkan, menyukai, dan akhirnya berinisiatif untuk bermain musik. Band-band punk pun mulai terlahir di Bandar Lampung.

Awal 1997, band punk pertama di Bandar Lampung berdiri. Dengan lima orang personel, band ini diberi nama Pestol-pestolan. Beberapa bulan kemudian, sebuah band kembali berdiri. Band yang diberi nama Travel 44.000 ini berisi empat orang anak yang masih berusia belasan tahun. Setelah Travel 44.000, lahir band punk selanjutnya, yaitu Revolution.

Pada tahun-tahun selanjutnya, banyak band punk yang mulai bermunculan. Hingga 2008, tercatat lebih dari sepuluh band punk yang ada di Bandar Lampung. Beberapa di antaranya adalah Urban Discipline, Oi Moron, Poison Riot, Party Boot, Botol Chaos, Bad Idol, Patriot Pecundang, Konfrontasi, Illegal Kontrol, serta Minuman Keras.

Band-band yang ada pun tidak hanya didominasi oleh laki-laki. Ibu Pertiwi merupakan sebuah band beraliran punk yang seluruh personelnya merupakan kaum hawa.

Band-band ini memainkan lagu-lagu punk yang berisi pesan, anjuran, protes, maupun kecaman terhadap realitas kehidupan sosial. Dengan lirik, band-band ini terus memprotes realitas sosial saat ini yang masih dianggap timpang antara minoritas pemilik modal yang sangat kaya dibandingkan mayoritas masyarakat yang miskin.

Selain memainkan lagu-lagu milik band punk lain yang telah menciptakan lagu sendiri, band-band punk di Bandar Lampung pun kerap memainkan lagu milik mereka sendiri. Beberapa di antara mereka bahkan telah memiliki album yang mereka buat sendiri secara independen.

Kalaupun lagu yang mereka buat tidak cukup banyak untuk dibuat sebuah album, biasanya beberapa band-band punk memilih untuk membuat sebuah album kompilasi bersama. Album yang dibuat dibiayai sendiri secara kolektif oleh mereka yang terlibat didalamnya. Penyebaran album pun biasanya dari tangan ke tangan. Semuanya dilakukan secara independen. Begitu pula ketika punkers menggelar pertunjukan musik atau gigs.

Di dalam gigs, band-band punk di Bandar Lampung mengekspresikan musik mereka secara langsung. Di Bandar Lampung, tercatat beberapa gigs pernah diadakan hingga 2008, antara lain Lampung Berisik di Pasar Seni Enggal (2001), Total Underground Lampung di Pasar Seni Enggal (2002), Boot Party di Pasar Seni Enggal (2004), Indonesia Menangis di Pasar Seni Enggal (2005), Tanjung Karang Bergoyang di A2L Jalan Pelita (2006), Lampung DIY Tour di Pasar Seni Enggal (2006).

Eksistensi band-band punk di Bandar Lampung tetap bertahan hingga kini. Walaupun beberapa di antara band-band tersebut telah ada yang membubarkan diri seperti Pestol-pestolan. Ibarat peribahasa mati satu tumbuh seribu, band-band punk yang telah bubar pun cepat tergantikan dengan band-band punk yang mulai berdiri.

Eksistensi dalam Tempat Ramai

Setelah tahun 1996, sedikit demi sedikit, punkers di Bandar Lampung mulai menunjukkan eksistensinya. Mereka mulai berkumpul di tengah kota. Pertengahan tahun 1997, punkers mulai membentuk scene di depan bioskop Kim Jaya[5].

Scene di Kim Jaya berawal dari seorang punker yang bekerja sebagai penjual martabak. Punker tersebut merupakan seorang pelajar salah satu sekolah teknik menengah (STM) di Bandar Lampung. Ia berasal dari Jakarta. Di Bandar Lampung, punker tersebut memilih tinggal dan bekerja bersama seorang Tionghoa yang memiliki usaha menjual martabak.

Di atas trotoar di depan bioskop Kim Jaya, usaha martabak itu dilakukan. Sedikit demi sedikit, segelintir punkers yang merupakan teman dari punker penjual martabak mulai berkumpul di depan bioskop Kim Jaya. Punkers yang berkumpul saat itu rata-rata masih berusia belasan tahun. Dimana, sebagian besar merupakan pelajar sekolah menengah atas (SMA), walaupun adapula yang masih berstatus pelajar sekolah menengah pertama (SMP) maupun mereka yang telah tamat SMA. Serta, mereka yang memutuskan untuk tidak melanjutkan mengenyam pendidikan formal. Punkers biasa berkumpul setelah Isya atau sekitar pukul tujuh malam sampai pagi menjelang.

Semakin lama, jumlah punkers yang berkumpul di depan bioskop Kim Jaya semakin ramai. Jumlah mereka bisa mencapai puluhan orang. Mereka selalu datang setiap malam. Bahkan, ada sekitar lima sampai sepuluh punkers yang setiap hari berdiam di sana. Walaupun, sebagian besar punkers hanya datang beberapa hari sekali karena harus bersekolah.Biasanya, jumlah terbanyak dapat ditemui pada Sabtu malam atau malam Minggu.

Tahun 1998, scene di depan bioskop Kim Jaya berpindah ke Lapangan Saburai tepatnya di lantai merah. Tidak berbeda dengan di depan bioskop Kim Jaya, di Lapangan Saburai, jumlah punkers yang berkumpul semakin ramai. Aktivitas berkumpul pun dilakukan setiap hari, baik siang maupun malam.

Scene akhirnya berpindah lagi pada tahun 2000. Punkers memilih Plaza Artomoro[6] sebagai tempat berkumpul. Ada dua lokasi yang mereka tempati saat itu, yaitu pelataran depan sebelah kiri dekat pintu keluar parkir dan lantai tiga tepatnya di depan bioskop 21.

Di Plaza Artomoro, jumlah punkers yang berkumpul semakin banyak lagi dibandingkan dengan scene di depan bioskop Kim Jaya maupun Lapangan Saburai. Hampir setiap hari plaza tersebut dipenuhi punkers.

Karena pertengkaran dengan remaja yang berdomisili di sekitar Plaza Artomoro, punkers kembali harus pindah scene. Punkers memilih menempati kembali scene di Lapangan Saburai. Scene di Lapangan Saburai pun terus berlanjut hingga saat ini.

Selain beberapa scene yang disebutkan di atas, ada beberapa scene lain yang hadir di Bandar Lampung. Walaupun tidak berada di pusat keramaian, tetapi scene ini cukup ramai didatangi punkers untuk berkumpul. Beberapa dari scene ini merupakan tempat tinggal seorang atau beberapa punkers yang dijadikan tempat berkumpul. Scene tersebut antara lain di daerah Kaliawi, Way Halim, Teluk Betung, Enggal, Bakti, Jalan Pelita, Sukarame, dan Kampung Baru.

Kunjungan ke Daerah Lain

Pada awal kehadirannya, punkers di Bandar Lampung tidak memiliki banyak kegiatan. Hal yang dilakukan punkers hanya berkumpul dan mengobrol. Punkers hanya mengerti punk sebatas fesyen dan musik. Itupun terbatas pada pengetahuan yang didapat dari Sensen dan Dedi. Punkers belum mengerti ideologi maupun kebudayaan punk. Mereka berpakaian maupun mendengarkan musik tanpa mengerti makna dari dua hal tersebut.

Tahun 1998, untuk pertama kalinya sejak mengenal punk, punkers melakukan perjalanan ke Bandung. Istilah perjalanan ke kota lain yang dilakukan punkers lazim disebut travelling. Travelling bisa berupa kunjungan ke sebuah gigs atau sekadar bersilaturahmi dengan punkers di kota lain. Travelling dilakukan untuk membangun solidaritas sesama punkers yang ada di kota lain.

Biasanya, punkers melakukan travelling secara beramai-ramai. Mereka pun selalu mencari cara termurah untuk mencapai tempat tujuan. Hal ini karena punkers tidak pernah membawa uang banyak ketika melakukan travelling, bahkan adapula yang tidak membawa uang. Kalaupun dalam perjalanan mereka kekurangan ongkos atau di antara mereka sudah tidak ada lagi yang memiliki uang, punkers mengamen terlebih dahulu untuk mencari uang. Setelah terkumpul, mereka baru melanjutkan kembali perjalanan.

Untuk mencapai tempat tujuan, hal yang paling sering punkers lakukan adalah menumpang kendaraan baik bus, truk, mobil dengan bak terbuka, kereta api, maupun kapal ferry. Kalaupun harus membayar, punkers mencari kendaraan umum dengan ongkos yang murah. Terkadang, punkers juga memilih berjalan kaki daripada menggunakan kendaraan. Hal ini mereka lakukan baik ketika berangkat travelling maupun saat pulang kembali ke tempat asal.

Di Bandung, punkers dari Bandar Lampung bertemu dengan punkers setempat yang merupakan, secara tidak langsung, menjadi asal muasal hadirnya punk di BandarLampung. Mereka kemudian saling bertukar segala hal tentang punk termasuk ideologi dan kebudayaan. Punkers dari Bandar Lampung belajar banyak hal seperti keaktifan melakukan kegiatan, etika Do It Yourself, makna dari pakaian, membuat kompilasi album punk, dan sebagainya.

Selepas dari Bandung, punkers mulai merealisasikan pola pikir yang mereka dapatkan di Bandar Lampung. Kegiatan mereka tidak hanya berkumpul dan mengobrol. Beragam kegiatan mulai mewarnai perjalanan punk di Bandar Lampung.

Aktivitas untuk berkreasi

Ketika berkumpul dalam sebuah scene, punkers mulai melakukan beragam aktivitas, walaupun masih didominasi kegiatan mengobrol. Mengobrol sendiri merupakan aktivitas yang dianggap penting. Karena dengan mengobrol, terjadi pertukaran pengetahuan dari seorang punker ke punkers yang lain. Sehingga, wawasan punkers dapat bertambah melalui aktivitas ini.

Wacana yang mereka angkat ketika mengobrol pun bermacam-macam. Mulai dari membicarakan scene di dalam maupun scene lain di luar Bandar Lampung, musik punk lokal maupun luar negeri, cara membuat atau mendapatkan aksesori, perseteruan politik, masalah ekonomi, sampai kepada problematika kehidupan sosial yang terjadi.

Aktivitas lain adalah membuat jadwal untuk mengadakan gigs. Gigs dapat menjadi sarana penyatu punkers. Dimana, punkers yang datang pada sebuah gigs tidak hanya dari scene lokal, banyak pula punkers yang datang dari luar kota maupun luar Provinsi Lampung. Sehingga, untuk membuat sebuah gigs diperlukan kerja keras dan keahlian mengolah acara dari para penyelenggaranya.

Bertukar barang juga menjadi aktivitas punkers ketika berkumpul. Barang tersebut dapat berupa kaset, zine, atau aksesori seperti spike, emblem, ring, dan lain-lain. Tidak hanya bertukar, punkers pun membuat barang. Aksesori yang berharga mahal biasanya mereka buat sendiri. Menyablon kaos maupun emblem sesuai dengan kehendak mereka. Atau, membuat pin bergambar band punk maupun berisi tulisan-tulisan bermuatan politis.

Punkers di Bandar Lampung juga sering membuat zine. Media ini biasanya dibuat secara individu seperti ‘Nyenyak’, ‘Born to Die’, ‘Bullshit’, dan ‘Nerdkore’. Maupun yang dibuat lebih dari satu orang seperti ‘Nice Dream’. Selain zine, adapula newsletter seperti ‘Mandiri atau Mati’.

Membuat kompilasi kaset juga menjadi aktivitas dalam sebuah scene. Hal ini, selain sebagai ekspresi dalam bermusik, juga merupakan sarana untuk mempererat hubungan sesama punkers.

[]

Kumpulan naskah Sedikit Cerita Punk dari Bandar Lampung:

Punk, Satu Babak di Saburai (1)

Cerita Punk di Dunia (2)

Do It Yourself (4)

Prinsip Punkers (5)

Mohawk Sampai Boot (6)

[1]Djoko Moernantyo, Scene Indie Pergerakan Melawan Arus, http://www.kabarindonesia.com/berita.php?pil=20&dn=2007030918171815, diakses tanggal 5 September 2007.

[2]Celana street saat ini lazim dikenal dengan sebutan celana pensil.

[3]Umberto Eco (1973) menulis, “Aku bicara lewat busanaku. Bukan hanya objek komunikasi yang diniatkan secara sambil lalu melainkan setiap objek, dapat dipandang sebagai tanda”. Sebagai contoh, busana konvensional yang dipakai orang di jalanan dipilih dalam keterbatasan keuangan, selera, preferensi, dan seterusnya, pilihan-pilihan ini sudah tentu bermakna. Lihat Dick Hebdigde, Asal Usul dan Ideologi Subkultur Punk (terj), Buku Baik, Yogyakarta, 1999, hal 202.

Sebelum Eco, Mary Douglas dalam bukunya Purity and Danger (1966) mengatakan, “Sebagaimana segala sesuatu melambangkan tubuh, demikian tubuh juga adalah simbol bagi segala sesuatu”. Tubuh terus menerus dibongkar, ditata ulang, deksplorasi, dikonstruksi dan direkonstruksi untuk mencapai efek gaya tertentu dan menciptakan identitas tertentu. Lihat Luna Lazuardi, Studi Tubuh, http://www.kunci.or.id/teks/01tubuh.htm, diakses tanggal 11 Maret 2008.

[4]Hasil wawancara dengan personel band punk Zudas Krust Esa. Esa mengatakan, fesyen mewakili beberapa sisi dari punk tetapi tidak keseluruhan. Punkers tidak ingin terseret dalam budaya berpakaian dominan yang serba seragam. Selain serba seragam, karena dibuat secara massal, budaya pakaian dominan menjadikan masyarakat pasif dan konsumtif. Masyarakat selalu diajak berpakaian sesuai dengan mode yang sedang popular pada saat tersebut. Disadari atau tidak, dengan berperilaku demikian, masyarakat telah terjajah kapitalis.

[5]Bioskop Kim Jaya saat ini telah tidak ada dan berganti menjadi pusat pertokoan. Letak bioskop Kim Jaya saat itu berada di Jalan Raden Intan No 99, Kecamatan Tanjungkarang Pusat, tepat di sebelah halte. Tak jauh dari apotek Enggal yang berada di seberangnya.

[6] Plaza Artomoro terletak di sebelah kiri Jalan Kartini, Kecamatan Tanjungkarang Pusat. Saat ini, gedung tersebut telah berganti menjadi pusat perbelanjaan Central Plaza.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun