Sebut saja namanya Jay. Seorang jurnalis. Tepatnya, kontributor sebuah media siber nasional. Kantor tempat Jay bekerja adalah salah satu raksasa media di Indonesia. Selain media siber, raksasa itu juga mengembangkan industri koran, majalah, televisi, dan radio. Semuanya berada dalam satu wadah tunggal, dengan satu pemilik.
Dari bisnis tersebut, si pemilik mampu meraih keuntungan finansial yang besar. Ia lalu memiliki hasrat lain dengan terjun ke dunia politik. Memiliki banyak uang, ditambah media yang menggurita, ia bahkan berkeinginan untuk menjadi pemimpin di nusantara.
Kembali ke Jay. Pemuda bertubuh kecil itu bertugas di Jawa Utara. Indonesia mini adalah nama lain provinsi tempat Jay bekerja. Tugas Jay adalah mencari berita yang bisa dibaca masyarakat secara nasional, tidak bersifat lokal semata. Sebagai kontributor, Jay dibayar untuk setiap berita yang dibuat dan ditayangkan. Aturan itu membuat Jay kerap kesal. Pernah, ia telah meliput lima peristiwa. Tetapi, tak satupun ditayangkan. Alhasil, Jay tak mendapatkan penghasilan hari itu.
Setiap bulan, penghasilan Jay dari pekerjaannya tak menentu. Kadang, ia hanya mendapat Rp300 ribu. Adakalanya, ia mampu menghasilkan Rp4 juta. Tetapi, itu hanya terjadi satu dua kali, sejak ia bekerja setahun lalu. Rata-rata, ia cuma mendapat penghasilan Rp700 ribu. Jumlah itu hanya setengah lebih sedikit dari upah minimum Provinsi Lampung.
Dari penghasilan itu, Jay harus pandai-pandai mengatur keuangan. Jay menghitung, jika setiap hari ia memakan nasi hanya dengan lauk telur, ia harus menghabiskan uang Rp7 ribu setiap makan. Apabila dalam sehari ia makan dua kali, maka dalam 30 hari, Jay bisa menghabiskan Rp420 ribu.
Kebutuhan penting lain yang dipikirkan Jay adalah transportasi. Sebagai kontributor, Jay tidak memiliki waktu libur yang jelas. Setiap hari, ia harus siaga melakukan liputan, apabila ada peristiwa mendadak yang terjadi. Untuk itu, Jay mengalokasikan uang bensin Rp10 ribu untuk setiap hari. Maka dalam satu bulan, Jay harus merogoh kocek Rp300 ribu. Dengan demikian, habislah penghasilan Jay setiap bulannya.
Jay sebenarnya bisa mendapatkan “penghasilan tambahan”. Ketika melakukan liputan, khususnya di instansi pemerintah ataupun swasta, narasumber yang Jay temui kerap memberi uang. Mereka beralasan, uang tersebut sebagai ungkapan terima kasih karena Jay telah melakukan liputan di instansi mereka. Atau, pengganti transportasi menuju instansi mereka.
Pemberian uang mayoritas terjadi hampir di seluruh instansi. Dibalik alasan yang dikemukakan sebelumnya, Jay sadar, pemberian uang bertujuan supaya berita yang ia tulis hanya mengandung informasi positif. Bahayanya, memberi uang telah menjadi tradisi yang mengurat akar di setiap instansi. Hal itu pun diwariskan dari pejabat lama ke pejabat baru. Akhirnya, sebuah pandangan pun terbentuk, “Ketika jurnalis datang, beri uang supaya mereka tidak menulis macam-macam (dalam arti negatif).”
Tetapi, Jay selalu menolak setiap diberi uang. Alasannya sederhana, ia seorang jurnalis. Sementara, jurnalis adalah sebuah profesi. Dan, setiap profesi memiliki kode etik. Dengan menjalankan kode etik, maka jurnalis tersebut telah menjadi seorang profesional. Jay tahu, kode etik jurnalis melarang jurnalis untuk menerima imbalan dalam bentuk apapun, apalagi uang.
Tetapi, itu bukan persoalan mudah. Ketika melakukan liputan, Jay tidak sendiri. Ia berbaur dan berteman dengan jurnalis lain, yang berasal dari banyak media. Sayangnya, mayoritas mereka tidak seperti Jay. Alhasil, Jay beberapa kali mendapat ejekan oleh teman-teman seprofesinya karena dianggap menolak “rezeki”. Jay dianggap sebagai orang aneh karena berbeda dengan teman-temannya.
Ada beragam tipe teman seprofesi Jay yang bertolak belakang dengan sifat Jay. Pertama, mereka yang hanya menerima pemberian narasumber karena menganggap hal itu tidak berkaitan dengan pemberitaan yang mereka buat. Tipe pertama itupun telah melahirkan jurnalis yang mengandalkan teknologi telepon, atau dikenal dengan istilah wartel (wartawan telepon). Mereka baru melakukan liputan tatkala ada konferensi pers, ekspose perkara, dan semacamnya. Di mana, narasumber bisa dipastikan akan memberikan sejumlah uang.
Tipe kedua adalah jurnalis yang tidak hanya cukup menerima pemberian narasumber. Mereka bahkan berani meminta sejumlah uang kepada narasumber. Caranya bermacam-macam, secara halus maupun terang-terangan. Tipe kedua itupun bisa berkembang menjadi jurnalis intimidasi. Hal itu biasanya dilakukan melalui kerja sama dengan beberapa pejabat. Secara teknis, si pejabat akan memberikan informasi dan data terkait penyimpangan instansi lain. Sementara, si jurnalis bertugas mengonfirmasi informasi tersebut kepada pejabat terkait. Memanfaatkan ketakutan narasumber, si jurnalis kemudian meminta “uang tutup mulut” supaya informasi tersebut tidak disebarkan melalui media massa. “Uang tutup mulut” kemudian dibagi bersama pejabat pemberi informasi.
Di daerah, tipe pertama biasanya banyak dilakukan oleh jurnalis yang telah bekerja di media mainstream. Karena, penghasilan yang mereka terima boleh dibilang telah cukup untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Walaupun, ada beberapa media mainsteram masih menggaji jurnalisnya di bawah standar upah layak.
Sementara, tipe kedua banyak dilakukan oleh jurnalis yang bekerja di media kecil. Sebab, penghasilan yang mereka terima minim. Bahkan, ada beberapa media kecil yang tidak menggaji jurnalisnya. Media itu meminta kepada jurnalisnya untuk mencari penghasilan dari liputan yang mereka lakukan.
Meskipun begitu, pemisahan perbedaan penghasilan dan tempat bekerja tersebut, tidak sepenuhnya berlaku. Ada beberapa jurnalis yang telah bekerja di media mainstream dengan penghasilan mencukupi, tetapi mereka tetap menjadi jurnalis intimidasi.
Cerita tentang Jay masih menjadi realitas kondisi jurnalisme saat ini di Indonesia. Media meraksasa dengan cara meliliputkan jurnalis melalui upah minim. Penghasilan yang didapatkan pemilik media tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan jurnalis. Kondisi tersebut belum menghitung konglomerasi media yang semakin menjadi-jadi di Indonesia. Di mana, jurnalis dipaksa bekerja untuk beberapa jenis media dengan penghasilan hanya dari satu jenis media induk.
Di sisi lain, tradisi suap masih menjadi pandangan banyak instansi terhadap jurnalis. Pejabat pemerintah maupun swasta berusaha terus mengalirkan dana kepada jurnalis, supaya penyimpangan yang mereka lakukan tidak terbongkar. Mereka pun tidak kehabisan akal manakala ada jurnalis yang menolak aliran dana mereka. Ketika hal itu terjadi, aliran dana kemudian dialihkan kepada media tempat jurnalis tersebut bekerja.
Bahayanya, jika aliran dana tersebut diterima media bersangkutan, manajerial redaksi mampu “berkuasa” menekan jurnalis agar hanya menuliskan berita positif pemberi aliran dana. Dalam sebuah diskusi, seorang pemimpin redaksi media lokal mainstream di Lampung pernah berkata, “Di daerah, 60 persen penghasilan media bergantung pada kue iklan dari pemerintah daerah. Jadi, ketika media harus bersinggungan dengan pemerintah, sebisa mungkin dibuat dengan bahasa yang halus. Atau, media tersebut bisa mati karena pemerintah daerah menghentikan iklan ke media tersebut.”
Secara horizontal, kode etik tidak sepenuhnya dijalankan oleh banyak jurnalis. Sebagian besar jurnalis telah paham dan mengerti kode etik yang mengatur kerja-kerja jurnalistik mereka. Tetapi, alasan ekonomi selalu menjadi pembenar untuk tidak menjalankan kode etik tersebut.
Persoalan-persoalan tersebut sepertinya dipahami Dewan Pers. Hal itu kemudian memunculkan pelaksanaan uji kompetensi bagi jurnalis. Harapannya, jurnalis mampu bekerja secara profesional berdasarkan kode etik. Pertanyaan yang muncul, sejauh mana uji kompetensi bisa merealisasikan hal tersebut? Sebab, meskipun tidak menjadi alasan utama, kesejahteraan jurnalis minimal diperlukan untuk mendukung profesionalisme jurnalis.
Secara tegas, Dewan Pers bersama organisasi pers yang ada untuk merumuskan dan mengusulkan perubahan Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Khususnya, pengaturan mengenai kewajiban perusahaan media supaya memiliki kemampuan modal untuk menggaji jurnalisnya dengan layak.
Setelah hal tersebut terealisasi, perusahaan media memiliki kewajiban untuk memberikan pendidikan dan pelatihan bagi calon jurnalis yang akan bekerja di media tersebut. Hal itu bisa dilakukan paling tidak selama dua sampai tiga bulan. Prioritas utama pendidikan dan pelatihan menyangkut kode etik jurnalis. Di akhir pendidikan dan pelatihan tersebut, perusahaan media dapat meminta Dewan Pers untuk melakukan uji kompetensi bagi calon jurnalis bersangkutan. Sehingga, hanya jurnalis kompeten yang akan dihasilkan.
Pelatihan dan pendidikan bagi calon jurnalis menjadi penting mengingat profesi jurnalis berbeda dengan profesi lain, yang didukung dengan latar belakang pendidikan tertentu. Di mana, hal itu tidak berlaku dalam profesi jurnalis. Hingga saat ini, setiap orang dari latar belakang pendidikan apapun masih dapat menjadi jurnalis.
Memang, pelaksanaan pendidikan dan pelatihan tidak memberi jaminan seorang jurnalis akan profesional dalam menjalankan kerja-kerja jurnalistik. Tetapi, hal itu setidaknya bisa meminimalisasi ketidakprofesionalan jurnalis. Sebab hampir di semua profesi, ketidakprofesionalan pasti ditemui. Tetapi, jumlahnya lebih minim dibandingkan mereka yang mematuhi kode etik profesi. Kecuali, profesi jurnalis.
Di akhir tulisan, mari kembali ke Jay. Di penghujung malam, Jay merenungkan kehidupannya. Hingga saat ini, ia mampu memenuhi kebutuhan hidupnya dengan profesi sebagai jurnalis. Beberapa pekerjaan lain pun ia lakukan untuk menambah sedikit penghasilannya. Semua masih bisa tercukupi karena ia masih hidup membujang. Bagaimana kalau ia nanti menikah?
[1] Artikel ini merupakan tugas pra-uji kompetensi jurnalis di Bandar Lampung pada 22-23 Februari 2014 silam, yang diselenggarakan AJI Indonesia. Bahan tulisan merupakan cerita seorang teman jurnalis pada suatu malam medio 2013.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H