British Invasion dan Hallyu Korean Wave, tentu memiliki nilai positif dan negatif yang mempengaruhi berbagai aspek kehidupan remaja. Produk-produk budaya yang dibawa oleh kedua fenomena ini memiliki pengaruh yang signifikan terhadap fashion style, gaya hidup, bahkan kondisi psikis remaja. British Invasion, yang merujuk pada gelombang band-band Inggris yang mendominasi industri musik global pada era 1960-an, memperkenalkan gaya nyentrik yang menjadi tren di kalangan remaja.Â
Band-band seperti The Beatles, The Rolling Stones, dan The Who membawa mode seperti jaket jeans, celana robek-robek, rambut gondrong, dan perilaku 'liar' yang dianggap keren oleh para penggemar. Gaya hidup yang ditampilkan oleh band-band ini menjadi aspirasi bagi remaja, sehingga ketika diadakan konser musik, banyak dari mereka yang tampil dengan gaya serupa, menunjukkan identitas mereka dengan fenomena budaya British Invasion tersebut.
Pengaruh ini tidak hanya terbatas pada penampilan fisik, tetapi juga mempengaruhi perilaku dan sikap remaja. Kecenderungan untuk mengikuti gaya hidup bebas dan ekspresif dari band-band Inggris ini sering kali diterjemahkan ke dalam perilaku sehari-hari, menciptakan sikap yang lebih berani dan terbuka terhadap eksperimen dalam berbagai aspek kehidupan. Namun, di sisi lain, perilaku ini kadang-kadang bisa berujung pada tindakan yang tidak sesuai norma, seperti penyalahgunaan alkohol dan perilaku pemberontakan terhadap otoritas.
Di lain pihak, fenomena Hallyu Korean Wave yang lebih kontemporer, telah membawa pengaruh yang tidak kalah besar. Gelombang ini, yang meliputi musik, drama, film, dan budaya pop Korea, telah berhasil menyedot perhatian remaja di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Idola-idola K-Pop seperti BTS, EXO, Seventeen, NCT, BlackPink, dan lainnya memiliki basis penggemar yang sangat besar dan fanatik. Kefanatikan ini sering kali menimbulkan rasa keterikatan emosional yang sangat mendalam, terutama di kalangan remaja perempuan. Mereka tidak hanya mengagumi penampilan dan talenta idola mereka, tetapi juga merasa memiliki ikatan pribadi dengan mereka.
Rasa kefanatikan yang mendalam ini juga membawa dampak pada perilaku konsumtif remaja. Mereka sering kali menghabiskan uang untuk membeli merchandise seperti poster, album, kartu bergambar idola, dan berbagai pernak-pernik lainnya. Aktivitas ini, meskipun dapat dilihat sebagai bentuk dukungan dan apresiasi terhadap idola, sering kali juga memicu perilaku konsumtif yang berlebihan. Lebih jauh lagi, persaingan antara fanbase satu dengan fanbase lainnya kadang-kadang berujung pada perseteruan yang bisa berlanjut hingga perkelahian fisik. Hal ini disebabkan oleh perbedaan idola dan pandangan masing-masing kelompok penggemar, yang sering kali sulit untuk diperdamaikan.
Selain itu, pengaruh K-Pop juga mencakup aspek penampilan dan gaya hidup. Banyak remaja laki-laki yang mengikuti tren dari idola-idola K-Pop yang sering kali tampil dengan gaya yang lebih flamboyan dan gemulai. Mereka menggunakan makeup, maskara, dan produk kecantikan lainnya untuk meniru penampilan idola mereka. Tren ini, meskipun dapat dilihat sebagai bentuk ekspresi diri dan kebebasan berpenampilan, sering kali bertentangan dengan stereotip tradisional tentang maskulinitas, sehingga menimbulkan perdebatan di kalangan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H