Indonesia ini memang "Republik Binatang Tikus". Tikus berkeliaran di sepanjang got hingga sudut ruangan gedung bertingkat. Binatang rakus ini juga merajalela di rumah pak er-te hingga pojok-pojok istana pak presiden. Tikus selokan juga mencari mangsa di pintu gerbang udara republik, yakni bandara. Tak peduli bandara internasional Soekarno-Hatta, Cengkareng, gerbang kebanggaan Republik Binatang Tikus.
Sabtu, 30 April kemarin, saya kembali ke Balai Besar Karantina Pertanian Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Sesuai petunjuk seorang ibu petugas dua jumat sebelumnya, saya --warga resmi Indonesia Raya-- berharap dapat menerbangkan empat ekor anak ayam pelung ke Makassar cukup berbekal surat rekomendasi Dinas Pertanian dan Perikanan Depok.
Prediksi meleset. Seorang petugas pria berbusana olahraga yang tentu tanpa papan nama, menyambut dengan senyum ramah. saya dan dua warga republik yang berencana mengirim ayam jago ke Medan membalas senyum di petugas balai karantina.
Suasana sejuk sontak melayang tatkala petugas mulai pidato tentang peraturan pengiriman ayam, yang sedikit berbeda dengan ibu petugas dua jumat lalu. Menurut si bapak, untuk mengeluarkan ayam melalui bandara juga membutuhkan surat izin dari dinas pertanian provinsi/kota/kabupaten tujuan pengiriman. Dia juga mempersoalkan surat rekomendasi Kepala Dinas Pertanian dan Perikanan Depok yang saya bawa karena tak disertai hasil tes laboratorium flu burung. Lha, tes laboratoium yang tak mungkin diperoleh warga Depok sebab kota satu ini belum memiliki fasilitas pengujian flu burung.
Apa mau dikata. Kami menyerahkan nasib ke aparat pemerintah itu. Dia berseru, ayam perlu diperiksa di laboratorium karantina untuk mengetahui statusnya soal flu burung. Biayanya 50 ribu rupiah per ekor. Setuju saja. Sayapun membawa si pelung ke ruang pemeriksaan.
Selesai dengan bapak berpakaian olahraga, saya berhadapan dengan petugas laki-laki setengah baya berseragam balai. Ya, dia jelas petugas karantina sesuai lambang-lambang yang menempel pada seragam coklat mudanya. Tapi, aduh, namanya siapa ya? Seragamnya tanpa papan nama. Ini agak aneh.
Walaupun berseragam, dia berbeda dengan bapak sebelumnya. Dia lebih lembut dan tidak berbicara lantang tentang perlunya penegakan hukum. "Nanti kita bantu," ujarnya seraya meletakkan kotak di pelung di atas papan pembatas front office. "Berapa biayanya, Pak?" Si Bapak mengatakan, cukup 20 ribu rupiah per ekor. Kok berbeda ya?
Saya enggan mempertanyakan aturan yang tiba-tiba berubah tersebut. Toh, yang satu ini lebih murah. Saya setuju. Dan, lagi-lagi ayam dibawa ke ruang pemeriksaan. Di sana ibu drh FZ menyaksikan saya membuka kotak ayam lalu mempersilakan menutupnya kembali. Pemeriksaan laboratorium flu burung selesai. Ringkas sekali.
Sertifikat kesehatan hewanpun diserahkan di ruang depan oleh si bapak. Saya menyerahkan satu lembar 50 ribu rupiah karena sang petugas tak menyebut angka pasti biaya pemeriksaan meski awalnya dia menyodorkan angka 20 ribu rupiah per ekor. Tidak ada kuintansi. Cukup salam tempel dan sayapun melenggang pergi.
Nah, tidak ada kata lain yang cocok selain "korupsi" alias "pungli" atas peristiwa tersebut. Untuk memenuhi permintaan ayah di Makassar yang hendak menyalurkan hobi memelihara ayam pelung, saya melalui prosedur "ketat" tapi ujung-ujungnya "pungli" --"birokrasi republik binatang tikus".
Tapi, sudahkah. Empat ekor anak ayam peluang akhirnya terbang ke Makassar memakai pesawat Lion Air. Petang, saya mendapat kabar dari adik yang menjembut si pelung di bandara Sultan Hasanuddin, paket sudah di tangan setelah diharuskan oleh petugas karantina pertanian setempat membayar 100 ribu rupiah. Juga tanpa tanda terima. Negeri ini memang "Republik Binatang Tikus"!*
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H