Catatan Lepas Dari Tragedi Tenggelamnya KMP Windu Karsa
Fenomena Jebakan Maut dan Penumpang Gelap di Atas Kapal
Oleh Ridwan Demmatadju
Sesungguhnya di balik sebuah peristiwa yang memilukan hati dan kita tak kuasa menahan air mata menetes, melihat mereka yang mengalaminya. Seperti yang dialami sejumlah penumpang kapal bernama KMP Windu Karsa milik PT Bukaka Lintas Tama (Kalla Group) yang tenggelam di Teluk Bone, sekitar Pulau Lambasina, Kecamatan Wolo, Kabupaten Kolaka, Sulawesi Tenggara pada Sabtu (27/08). Akan menjadi peristiwa yang meninggalkan pesan yang besar bagi kita yang masih diberi kesempatan untuk menjalani kehidupan ini sebagai manusia di dunia yang sementara ini . Bahwa takdir kemat ian itu selalu dekat dengan kita. Maka dari itu sebagai manusia kita sebaiknya bersikap ramah pada kematian itu sendiri dan tak perlu takut karena peristiwa datangnya malaikat pencabut nyawa pada diri manusia itu sudah merupakan alur yang harus dilalui oleh segala mahluk ciptaan-Nya. Kecuali kiat ingin menjadi batu yang tak perlu berhadapan kematian ?
Dari tragediini, cukup banyak pertanyaan yang bisa muncul di tengah suasana duka yang dalam dari sanak keluarga yang ditinggal pergi untuk selamanya, tak akan kembali dan yang tersisa hanya lembarankenangan. Mengapa harus berujung pada pusaran air laut begitu dingin dan terkubur bersama bangkai kapal yang karam ? Pertanyaan ini jawabnya hanya satu kata saja, ini sudah kehendak-Nya ! Habis perkara. Tetapi pertanyaan ini akan menjadi titik balik kesadaran kita sebagai manusia yang selalu berharap masih dipanjangkan umur, dimudahkan segala urusan, diberikan limpahan harta, dan jabatan. Tetapi kita tak pernah menyadari bahwa segala yang kita miliki berupa harta dan tahta itu tak melekat selama-lamanya.Melainkan akan ditinggalkan atau dia meninggalkan kita dengan caranya sendiri. Bisa lewat air, api dan juga kembali menjadi tanah. Kali ini dia kembali pergi dengan caranya sendiri di pusaran air laut.
Bukankah tragedi ini sudah berulang dua kali di Teluk Bone ? Dan masih lekat diingatan kita ketika KMP Rahmat Buhari yang juga tenggelam dan meninggalkan duka mendalam bagi masyarakat Kolaka. Kali ini KMP Windu Karsa yang mengalami tragedi kemanusiaan di bulan akhir bulan suci bagi ummat Islam. Bulan yang penuh kemuliaan dan pengampunan bagi ummat-Nya yang beriman. Kita hanya bisa berdoa kepada-Nya agar kiranya segala amal ibadahnya diterima. Namun dariperistiwa berselimut duka di atas KMP Windu Karsa ini, semestinya dijadikan pelajaran yang sangat berharga bagi pihak yang berurusan dengan transportasi darat,laut dan udara untuk memastikan keselamatan penumpang. Dari pengalaman penulis yang pernah menggunakan moda transportasi penyeberangan fery lintas Kolaka-BajoE tak dapat disangkal bahwa begitu banyak praktik kejahatan terhadap penumpang yang bisa dijumpai mulai dari ketika kita memasuki pelabuhan hingga di atas kapal yang diduga dilakukan secara sistemik. Bahwa ada penumpang tidak terdaftar di manifest kapal itu sudah bukan lagi rahasia dan kelebihan muatan (over capacity)? Sehingga ketika terjadi peristiwa kapal tenggelam penumpang maka kita selalu menyederhanakan argumentasinya menjadi human error saja atau mencari kambing hitam. Padahal kejadian yang merenggut korban di atas kapal itu adalah kesalahan yang disengaja oleh sebuah sistem yang dijadikan regulasi dari kebijakan pemerintah di bidang transportasi darat, udara dan laut. Meski pernyataan ini rasanya sulit diterima, tetapi dari fakta obyektifnya sudah demikian adanya nyaris di semua pelabuhan penyeberangan di Indonesia. Lagi-lagi, bagi kita terasa tidak sempurna tanpa ada tragedi atau musibah yang fatal bagi kemanusiaan dalam urusan keselamatan penumpang, karena dengan demikian, kita baru menemukan titik kesalahan mengurus keselamatan penumpang dan kembali melakukan perbaikan sistem.
Artinya sebagai calon penumpang perlu menyadari adanya praktik seperti ini untuk bisa selamat dari jebakan maut di atas kapal. Kemudian dugaan over capacity atau kelebihan penumpang sehingga KMP Windu Karsa tenggelam yang dilontarkan Menteri Perhubungan Fredy Numberi di berbagai media baik online maupun cetak nasional, memang sulit dihindari bagi mereka yang tak memiliki persiapan untuk menjadi penumpang, dan perusahaan pelayaran untuk mencari keuntungan dari “penumpang gelap” yang bekerja tidak sendirian ? Ironisnya lagi ketika terjadi musibah seperti ini yang dianggap bertanggung jawab selalu berujung pada nakhoda kapal yang dianggap melalaikan tugasnya sebagai penanggungjawab. Padahal titik awal dari kesalahan itu sudah sangat jelas sudah dimulai dari darat ketika penumpang masuk ke palabuhan hingga kapal berlayar.
Ibarat nasi sudah jadi bubur, tragedi kemanusian yang menimpa sejumlah penumpang KMP Windu Karsa ini, sebaiknya menjadi bahan untuk menata ulang regulasi dan aturan terhadap keselamatan penumpang. Jika kita tak ingin mengulang peristiwa yang kelam di Teluk Bone. Semoga.
Penulis adalah citizen journalist, tinggal di Kolaka, Sulawesi Tenggara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H