Mohon tunggu...
Ridwanchoiro
Ridwanchoiro Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - hanya seorang pelajar

hobi nonton film, nulis, baca, dll

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Kyai Muhammad Ridlwan dari Genuk Semarang: Kyai yang Memanusiakan Manusia

10 Januari 2025   10:11 Diperbarui: 10 Januari 2025   10:11 137
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Kyai Muhammad Ridlwan dari Genuk Semarang: Kyai yang Memanusiakan Manusia

 

KH. Moh. Ridlwan lahir di Desa Bulusari Kecamatan Sayung Demak 1 Januari 1932 M. Beliau lahir dari keluarga kurang mampu yang berprofesi sebagai petani. Ayah beliau bernama Abdul Ghoni dan ibu beliau bernama Syawilah. KH. Moh. Ridlwan merupakan anak pertama dari enam bersaudara.

Sejak kecil beliau merupakan anak yang cinta ilmu. Tanpa mengenal lelah beliau belajar dengan giat di SR (Sekolah Rakyat) Desa Prampelan, sedangkan di sore hari beliau menimba ilmu lagi di Madrasah Diniyyah di Desa Ngaluran yang berjarak 3 KM karena di desanya sendiri belum ada Madrasah Diniyyah. Dengan modal cengkir (kencenge piker), dengan keterbatasan akhirnya beliau lulus SR.

Selepas dari SR sebenarnya ayahnya melarang melanjutkan sekolah, namun karena tekad yang kuat, beliau akhirnya diberi izin untuk melanjutkan belajar, namun tanpa biaya dari orang tua karena memiliki keterbatasan ekonomi. Ketika beliau mendengar berita tentang adanya pesantren besar di Suburan Mranggen bernama Pondok Pesantren Futuhiyyah dengan pengasuh simbah KH. Muslih bin KH. Abdurrahman, sebagai ulama besar, ahli thoriqoh, dan terkenal sebagai wali pada zamannya beliau pun meninggalkan rumah untuk belajar di pesantren tersebut.

Tanpa uang sepeserpun, beliau menuju pesantren dan memberanikan diri sowan kepada simbah KH. Muslih bin KH. Abdurrahman untuk meminta ijin ikut mengaji dan tinggal di pondok sekalipun harus bekerja apa saja. Melihat tekad yang kuat tersebut beliau dijadikan abdi dalem (santri yang tinggal di pondok untuk membantu kyai). Selain belajar beliau juga ditugasi KH. Muslih untuk merawat putranya bernama KH. Lutfil Hakim dan KH. Hanif Muslih yang pada waktu itu masih kecil.

Beliau mengaji dan menjadi abdi dalem KH. Muslih Mranggen selama puluhan tahun. Mengaji di pondok sekaligus menjadi abdi dalem tidaklah mudah, karena harus membagi waktu antara mengaji dan mengabdi. Namun karena tekad dan tekun beliau bisa sukses dalam mengaji sekaligus berhidzmah tersebut. Ketekunan beliau dalam mengaji dapat ditemukan dari kitab kuning beliau yang lengkap maknanya. Menurut pengakuan beliau saat masih hidup, bahwa beliau selalu menyediakan waktu untuk menambal makna yang tertinggal. Bahkan dari kitab I'anatuth Tholibin syarakh kitab Fathul Mu'in, ditemukan beberapa kurasy (lembar) kelihatan sebagai tulisan tangan sendiri karena mengganti tulisan halaman yang hilang.

Sewaktu menjadi santri akhir, ada seorang mudin (tokoh agama Islam) dari Desa Karangroto Genuk Semarang bernama KH. Sholeh bin KH. Abdurrahman bin KH. Zainuddin yang sowan kepada KH. Muslih Mranggen. Sebagai mudin, KH. Sholeh merasa membutuhkan seorang kader agama sebagai penerus dakwah agama Islam. KH. Sholeh meminta dicarikan kader untuk dinikahkan dengan putri satu-satunya yang pintar mengaji dan patuh kepada kedua orang tuanya, yaitu Musyarofah.

KH. Sholeh telah berjuang mati-matian untuk mencari calon menantu demi melanjutkan perjuangannya menegakkan dakwah agama Islam, namun tidak ada yang memenuhi kriteria beliau. Bahkan untuk memenuhi harapan itu, putrinya itu telah dinikahkan berkali-kali (nikah-cerai) guna mendapatkan menantu yang pintar mengaji agar bisa membantu dakwah tersebut.

Atas permintaan KH. Sholeh, KH. Muslih lalu mengusulkan untuk mengambil beliau sebagai menantu. Ketika beliau diberitahu oleh KH. Muslih akan dijodohkan dengan Nyai Musyaroffah putri KH. Sholeh, beliau menyatakan bersedia dengan syarat meminta kepada calon mertua agar beliau diperkenankan menambah waktu satu tahun untuk menyelesaikan khidmah.

Perjuangan KH. Ridlwan Menyebarkan Dahwah Islam dan Mendirikan Pesantren

Setelah akad nikah pada tahun 1954 beliau kembali ke Mranggen untuk meneruskan khidzmahnya di pondok. Di waktu awal menikah,Nyai Musyarofah sering berkunjung ke pondok KH. Muslih untuk memberikan bekal kepada suaminya, sehingga ia akrab dengan Mbah Nyai Marfu'ah istri KH. Muslih. Setelah khidzmahnya selesai beliau pulang ke Desa Karangroto Genuk Semarang untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama istri tercinta, sekaligus berjuang melanjutkan dakwah Islam di masyarakat sekitar. Beliau juga mulai mengajar di masjid dan mulai menyelenggarakan pesantren. Santrinya adalah masyarakat sekitar dan beberapa santri dari Mranggen.

Para santri diajari mangaji kitab kuning seperti nahwu, fiqih, tauhid dan lain-lain di masjid atau di asrama pondok. Asrama pondok beliau bangun bersama para santri. Para santri juga diajak untuk bertani padi, jagung, palawija dan buah-buahan untuk mencukupi kebutuhan di sawah sewaan. Meskipun mertua beliau di kenal kaya, tetapi beliau tetap hidup sederhana dan menyewa lahan sendiri untuk bertani bersama santri. Pondok pesantren pun berkembang pesat dan santri-santri datang dari berbagai daerah.

KH. Moh. Ridlwan mendirikan madrasah wajib belajar yang waktu itu bisa melayani tiga kecamatan. Sekarang sudah berkembang menjadi RA, MI, MTs, MA Hidayatus Syubban, dan SMK Hisbabuana di bawah Yayasan Hidayatus Syubban yang saat ini berlokasi di Desa Karangroto Kecamatan Genuk Kota Semarang. Selain membangun Pesantren dan Madrasah beliau juga sempat menjadi PNS (Pegawai Negeri Sipil) sebagai Guru Agama Islam, beliau juga aktif sebagai penasehat pemerintah di desa dan sering menjadi tempat konsultasi masyarakat dalam berbagai urusan, seperti tanggal pernikahan, doa untuk membantu memudahkan persalinan, dan lain sebagainya.

Setelah umurnya mendekati usia pensiun, pada tahun 1992 beliau kembali mengaktifkan kembali pesantren yang telah lama vakum dengan diberi nama Pondok Pesantren As-Sholihiyah, kemudian juga di kembangkan Pondok Pesantren Hidayatus Syubban di bawah Yayasan yang sama. KH. Moh. Ridlwan wafat di Karangroto pada tanggal 5 Juli 1995, saat wafat beliau meniggalkan 12 anak, 5 laki-laki dan 7 perempuan. Beliau sukses mendidik putra putrinya dengan motto atau semboyan "Dunia sementara, Akherat selamanya" yang mengajarkan untuk mementingkan akhirat dari pada dunia.

Pada masa awal merintis pondok pesantren, Beliau mendapat sebuah cobaan, terjadi kecemburuan terhadap dakwah beliau oleh masyarakat yang anti ajaran pesantren dan dakwah Islam. Sekelompok orang itu mencari cara untuk bisa mengusir dan menutup pesantren beliau. Karena fitnah yang bertubi-tubi bahkan ada yang melakukan ancaman fisik, akhirnya beliau pun mengalah, mengambil langkah untuk mengungsi sejenak ke daerah Mranggen Demak. Beliau menjalankan fungsi pesantren dari luar,  meninggalkan anak, istri dan santri. Namun secara sembunyi-sembunyi, beliau pulang ke pesantren pada malam hari untuk mengajar mengaji lalu kembali ke Mranggen sebelum pagi hari. Setelah suasana mulai mereda, beliau kembali lagi ke pesantren.

 KH. Ridlwan dan Jasanya dalam Menyelamatkan Para Tertuduh Anggota PKI

Tahun 1965 para santri dipulangkan ke daerah dan rumahnya masing-masing untuk menjaga situasi masyarakat yang masih rawan, bahkan Kecamatan Genuk sendiri saat itu merupakan basis utama PKI. Dikisahkan beliau memiliki jasa yang besar ketika peristiwa PKI, beliau menyelamatkan tiga kampung, yaitu Nangeng, Tambi, dan Jroto dalam satu malam. Kala itu sedang marak pasukan TNI menyisir ke rumah-rumah memburu orang-orang PKI. Beliau pada malam hari berjalan kaki pergi ke rumah-rumah di kampung tersebut lalu membagikan kartu NU kepada warga yang tidak bersalah agar tidak menjadi korban salah tangkap.

 Jadi ketika ada pasukan TNI datang, warga yang menerima kartu NU tersebut tinggal menunjukannya sehingga tidak ditangkap. Hal itu pun membuat orang-orang yang tidak suka, menfitnah beliau dengan tuduhan menjual kartu NU, sehingga membuat KH. Moh. Ridlwan sempat dipenjara tanpa peradilan atau sidang di bulan Ramadhan. Menurut cerita Mbah Nyai Musyarofah waktu masih hidup, KH. Moh. Ridlwan dipenjara selama dua minggu lalu setelah itu beliau dibebaskan begitu saja menjelang lebaran.

Kondisi keamanan kembali normal, warga yang diselamatkan merasa sangat berhutang budi, mereka berpesan kepada keluarga dan keturunannya, bahwa selagi lembaga pendidikan yang didirikan KH. Moh. Ridlwan masih ada maka semua keturunan mereka disuruh belajar di sana sebagai rasa terima kasih, karena telah mendapat pertolongan dari beliau.

KH.Moh Ridlwan adalah pribadi yang sangat ramah, pemaaf dan pemurah. Anak-anak kecil mengenal beliau karena sering memberikan permen dan uang jajan. Saat lebaran, beliau membelikan sarung dan mukena kepada orang-orang yang rajin ke masjid, para muadzin, dan bilal. Beliau banyak membiayai pendidikan warga yang tidak mampu, mengobatkan orang-orang yang sakit, walau pun dahulu menyakiti dan menggangu dakwah beliau. Diceritakan, bahwa beliau pernah memboncengkan sendiri dengan naik sepeda motor untuk mengobatkan orangtua yang sakit ke dokter, padahal orang tersebut yang menfitnah dan menganiaya beliau saat masih muda.

Beberapa petuah yang sering diajarkan diantaranya: "Wong iku iso sugih. Ora bakal mlarat.  Menawa yakin karo kemurahan lan kasih sayang Alloh SWT" (Manusia itu akan Kaya dan tidak akan miskin, jika yakin dengan kemurahan dan kasih sayang Allah SWT). "Dadio wong sing taqwa lan ojo seneng goroh gen mulyo uripmu" (Jadilah orang yang takwa dan jangan suka berbohong biar hidupmu mulia). "ojo wedi karo sopo-sopo wedio karo Gusti Alloh wae mergo Gusti Alloh SWT. sing duwe segalane" (Jangan takut dengan siapapun. Takutlah hanya kepada Allah karena Allah yang memiliki segalanya).

Biodata Penulis

Muhammad Ridlwan Choirobi lahir di Pati pada 8 Januari 2008, yang sekarang sedang nyantri di Pondok Pesantren At- Taroqqy Sedan, Rembang. Ia duduk di bangku Madrasah Kelas 1 Aliyah di Madrasah Tuhfatus Shibyan Sedan, Rembang.

Sapa penulis di:

Facebook: Ridlwan Choirobi

Instagram: ridlwan_ch01

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun