Mohon tunggu...
Ridwan Azhari Akbar
Ridwan Azhari Akbar Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional UIN Jakarta

Undergraduate Student in International Relations of Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta class of 2021. I am a quick learner and a dedicated student. I have a keen interest in researching in The Indo-Pacific region, as well as Islamic politics. Starting from my third semester, I have been saving credits to take courses in Islam in Southeast Asia, which explores the dynamics of Islam in the region. In my fourth semester, I plan to allocate credits for courses in The Indo-Pacific region, specifically focusing on its dynamics and position in the global political arena. Not detached from that region, I am also interested in contemporary issues such as climate change, International political economy, international migration, ASEAN politics and security, and the Oceania Study, which have become important topics in the study of international relations since the Cold War. My learning motto revolves around knowledge, righteousness, and integrity, which aligns with my university's mission to produce academically proficient individuals capable of competing in the global era while integrating knowledge.

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Ancaman Konflik di Laut China Selatan terhadap Kedaulatan Indonesia melalui Second Track Diplomacy

28 Mei 2024   15:58 Diperbarui: 28 Mei 2024   16:05 143
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

PENDAHULUAN

Posisi Laut Natuta Utara dapat dikatakan sebagai laut semi-tertutup yang di kelilingi oleh lebih dari dua negara, dan terhubung dengan laut atau samudera lain melalui selat yang sempit. Sebagaimana United Nations Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982 yang mengatur laut semi-tertutup pada Pasal 122 (Nations). Menurut Hasjim Djalal pakar hukum laut internasional, dalam jurnal Indonesia and the South China Sea Initiative tahun 2010 berargumen bahwa dasar untuk menangani konflik Laut China Selatan (LCS) sebagai laut semi-tertutup yang bersengketa sampai ke teritori Laut Natuna Utara adalah Pasal 123, UNCLOS yang menyerukan negara-negara yang berbatasan dengan laut tertutup atau semi-tertutup untuk;

  • mengkoordinasikan pengelolaan, konservasi, eksplorasi, dan eksploitasi sumber daya hayati laut.
  • mengkoordinasikan implementasi hak dan kewajiban mereka terkait perlindungan dan pelestarian lingkungan laut.
  • mengkoordinasikan kebijakan penelitian ilmiah dan melaksanakan program penelitian ilmiah bersama jika dipandang perlu di wilayah tersebut.
  • mengundang, jika perlu, negara lain atau organisasi internasional yang tertarik untuk bekerjasama dengan mereka dalam menjalankan ketentuan pasal ini.

Lalu Hasjim Djalal juga berpendapat bahwa dalam sengketa LCS Indonesia berperan tidak ingin melihat pengulangan konflik,terutama mengingat adanya kepentingan-kepentingan yang bertentangan dan juga telah terjadi bentrokan angkatan laut di Laut Cina Selatan pada masa lalu. Upaya mengelola potensi konflik didorong oleh keyakinan bahwa kerja sama lebih baik dari pada konfrontasi, dan membicarakan kerja sama lebih baik dari pada mempersiapkan pertempuran (Djalal, 2010).

Antara China dan Indonesia telah meratifikasi UNCLOS 1982 sebagai hukum laut internasional yang legally binding atau memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Indonesia meratifikasi pada tahun 1986, Sementara China meratifikasi pada tahun 1996 (Nations, 2023).

Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, merasakan bahwa sektor maritim adalah hal yang sangat vital, perekonomian Indonesia selama beberapa dekade terakhir ditunjang dari sektor maritim yang merupakan sumber perdagangan dan mata pencaharian bagi negara dan rakyatnya. Deklarasi Djuanda tahun 1957 menegaskan laut adalah kedaulatan dengan menyebutnya sebagai tanah air. Namun demikian, menjadi negara dengan jumlah belasan ribu pulau membuat Indonesia sangat rentan terhadap penangkapan ikan ilegal, dan sengketa perbatasan. Indonesia tetap menegaskan bahwa dirinya bukan bagian dari sengketa LCS, dan menjaga jarak dari negara-negara pemohon aktif di International Court of Justice (Mahkamah Internasional) seperti Taiwan, Vietnam, Filipina, Brunei, dan Malaysia (Kipgen, 2021). Meskipun China sudah meratifikasi rezim internasional ini, China mengklain bahwa kedaulatannya atas 9 garis putus-putus di LCS adalah 100% sah miliknya dan tidak dapat disangkal. Meski demikian, sikap Indonesia atas klaim teritorial LCS, tidak memposisikan sebagai negara pemohon dalam sengketa LCS, bahkan Indonesia menawarkan diri untuk menjadi pihak penengah yang jujur dalam sengketa ini (Patrik Kristhope Meyer, 2019).

RESPONS INDONESIA PADA SENGETA LCS

Indonesia bukan negara pemohon di ICJ dalam sengketa LCS, tetapi klaim China atas sembilan garis putus-putus tumpang tindih dengan sebagian ZEE Indonesia di sekitar Kepulauan Natuna. Sebagai negara bukan pemohon, Indonesia berpandangan bahwa negara ini dapat berperan sebagai pihak mediator, pandangan yang mulai diadvokasikan pada 1990 dengan menyelenggarakan serangkaian lokakarya informal yang bertujuan untuk meningkatkan kerja sama dan saling percaya di antara pihak-pihak yang berkepentingan. Keterlibatan Indonesia di second track diplomacy berkontribusi pada first track diplomacy yang telah menyebabkan penandatanganan Declaration on the Conduct of Parties in the South China Sea (DOC)pada 2002 oleh China dan ASEAN yang akhirnya mengarah pada kesepakatan mengenai draft tunggal Code of Conduct (COC) di antara negara-negara pihak pengklaim pada tahun 2018 (Kipgen, 2021, p. 117).


PERAN INDONESIA DALAM DIPLOMASI SENGKETA LCS

Presiden ke-20 Konferensi Negara-Negara pihak Hukum Laut Arif Havas Oegroseno, mengatakan bahwa peran Indonesia dalam sengketa LCS berakar pada Pasal 16 Treaty of Amity and Cooperation (TAC) ASEAN yang menyatakan bahwa"Hal ini tidak menghalangi para pihak tinggi kontrakan lainnya yang bukan pihak dalam sengketa untuk menawarkan segala bantuan yang mungkin dalam menyelesaikan sengketa tersebut, para pihak dalam sengketa seharusnya bersikap terbuka terhadap tawaran bantuan tersebut."  Sejak 1990, Indonesia telah memainkan peran secara aktif berpartisipasi dalam second track diplomacy untuk mengelola sengketa, mengurangi ketegangan, dan menciptakan serta meningkatkan suasana kepercayaan melalui hukum internasional, terutama melalui Pasal 122 dan 123 UNCLOS 1982 tentang kerja sama laut tertutup dan semi-tertutup. Oegroseno mengatakan bahwa UNCLOS mungkin telah memberikan dimensi baru pada klaim-klaim yang tumpang tindih, tetapi hal itu tidak dapat menyelesaikan sengketa. Ia menyarankan bahwa TAC adalah satu-satunya jalan bagi semua negara pemohon untuk menyelesaikan sengketa secara damai (Kipgen, 2021, pp. 122-123).

Meskipun TAC terkesan sebagai wadah yang baik bagi ASEAN dan China untuk menyelesaikan sengketa LCS, hal itu tidak realistis dan bermasalah. Sebagai contoh, China mengakses TAC pada 2006 tetapi ASEAN belum menggunakan TAC untuk meminta pertanggungjawaban China atas kewajibannya di LCS terkait mekanisme penyelesaian sengketa. Gagasan second track diplomacy melalui Lokakarya untuk mengelola konflik politik di LCS pada 1990 yang diprakarsai oleh Duta Besar dan akademisi Indonesia Hasjim Djalal, sebagian bertujuan untuk membangun langkah-langkah peningkatan kepercayaan menuju first track diplomacy, di mana para pemimpin politik akan secara langsung menangani sengketa (Kipgen, 2021, p. 123).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun