Sabtu pagi, rumah saya kedatangan tamu. Orang tua dari seorang kawan saat duduk di bangku sekolah dasar, saya sambut dengan ramah. Berceritalah mereka tentang anaknya, bekerja di BUMN sudah tiga tahun, kemarin baru bertemu dengan Presiden Joko Widodo. Dengan nada bangga, sedikit agak meninggi. Saya berulang kali mengucap syukur mendengarnya. Kemudian saya lihat wajah ibu saya yang duduk di samping. Ada pertanyaan dalam hati, “Apa mamah masih bangga punya anak yang bukan pegawai perusahaan besar atau BUMN?” karena biasanya orang tua bangga jika anaknya bekerja di perusahaan besar.
Sepulang mereka, saya benar-benar nanya. Ibu tertawa, katanya setiap orang memiliki jalannya masing-masing, “Yang penting kamu senang jalaninnya, dan bermanfaat buat orang lain,” katanya. “Bukannya kata kamu dulu, kamu lebih milih membesarkan sesuatu, daripada besar karena sesuatu,” tambahnya lagi. Saya mengangguk pelan.
Teringat lagi apa yang ditulis Tere Liye pada bukunya, Rindu (2014),
“Kita tidak perlu menggapai seluruh catatan hebat menurut versi manusia sedunia. Kita hanya perlu merengkuh rasa damai dalam hati kita sendiri.”
Saya meyakini, kesuksesan dan kebahagiaan itu bukanlah hal yang linier atau memiliki standar terentu. Opini, persepsi, dan pandangan umum yang memaksa hal itu menjadi linier, menjadi standardisasi kebahagiaan. Sekolah, kerja, menikah, memiliki anak lalu bahagia menjadi tujuan.
Bagaimana kalau kita balik, bahagia terlebih dahulu, kemudian sekolah, kerja lalu menikah. Bahagia kita letakkan di awal, menjadi bagian dalam proses hidup. Akan menjadi kumpulan cerita yang tentu menyenangkan untuk diceritakan kepada anak kita kelak.
Kaji kembali, indikator bahagia itu apa? Apa kaya raya? Apa bahagia itu kita dapatkan jika kita merasa lebih dari orang lain? Apa bahagia itu kita dapatkan jika kita bisa bermanfaat untuk orang lain? Setiap orang memiliki konsep bahagianya masing-masing, dan memiliki jalan menikmatinya dengan cara berbeda pula.
“Ada orang yang cuman jadi penjaga warung tapi bahagia-bahagia aja,” kata seorang kawan sambil menyuruput kopi dalam gelas plastik.
“Kenapa dia bisa bahagia? Dapat lotre?” tanya saya sambil ketawa.
Kawan saya yang kini ketawa, “Bukan, dia bahagia liat interaksi masyarakat duduk-duduk di warungnya, emang seru sih, Wan, kadang dari obrolan gak penting sampai bahas negara dengan ilmu-ilmu yang mereka temukan sendiri.”
“Melihat konsep negara, dari frame of refference kuli bangunan misalnya, ya? Bagaimana dia membangun negara. Membandingkannya dengan cara dia meletakkan fondasi dan susunan bata dalam membangun rumah, kalau fondasinya benar, sistem susunannya benar, baru stabil ya negara?”
“Enggak kayak gitu juga kali, Wan,” kata dia, kemudian kami tertawa.
Working, playing, dreaming and planning
Sebagaimana manusia, wajar jika merasa iri dengan nasib orang lain. Pepatah juga mengatakan rumput tetangga nampak lebih hijau, bukan? Kadang saya sendiri bukan menjadi pendengar yang baik, merasa kecil ketika cek nasib sebelah. Manusia memiliki egonya sendiri, memikirkan diri sendiri, membandingkan diri dengan orang lain. Sekali lagi, itu adalah hal yang sangat-sangat wajar.
Hal yang paling penting, kembali mengingat semua orang memiliki jalan, semua orang memiliki bahagianya masing-masing. “Ucapkan syukur atas cerita orang lain, bisa?” kata saya kepada diri sendiri. Hitung-hitung doa, doa itu bumerang, diarahkan kepada orang lain kemudian balik ke diri kita sendiri.
Dreaming
Mimpi, dream, menjadi patokan. Ketika kita cek nasib sebelah, balik lagi, apabila kita berada di posisi mereka, mimpi kita dapat terwujud? Kemungkinan ya, jika memiliki mimpi yang sama atau bersifat material, namun besar kemungkinan tidak.
Bermimpi, bercita-cita, dreaming, hal yang sering kita dengar, namun tidak jarang dilupakan. Tidak sedikit orang yang menekuni rutinitas bekerjanya, melupakan mimpinya perlahan. Mimpinya tergerus jam-jam kerja, termasuk 2-3 jam perjalanan pergi-pulang kantor. Atau memang mimpinya menggeluti rutinitas bekerja. Sah-sah saja, karena sekali lagi, setiap orang memiliki jalannya.
Working
Mungkin beberapa dari kamu, menyangka aku adalah self employee. Enggak kok, saya juga kerja di orang lain, namun saya pun bekerja untuk diri sendiri. Pekerjaan saya bagi menjadi dua, main job dan side job. Bekerja di perusahaan lain saya jadikan side job, dan project-project yang saya buat dengan kawan-kawan adalah main job.
Enggak bosen saya bilang, semua orang memiliki jalannya. Melalui tulisan ini, saya hanya ingin berbagi pengalaman, dan semoga saja bermanfaat sedikit untuk kamu. Saya sengaja memilih bekerja di perusahaan yang belum besar, atau dibilang start up. Alasannya selain untuk working, saya bekerja untuk learning. Pertimbangan yang lain adalah waktu kerja. Jangan sampai jam kerja menghabiskan waktu dalam satu hari sehingga kita gak bisa ngelakuin hal yang lain.
Bekerja di bawah tangan orang lain bukan main job, yang berarti menjadi tujuan akhir karier. Namun side job, yang mendukung main job yang direncanakan. Entah itu dari segi pengalaman, ilmu, ataupun permodalan. Bukan berarti, karena side job kita bekerja asal-asalan, big no! Membesarkan perusahaan yang belum besar jauh lebih membanggakan daripada kita besar karena nama perusahaan yang sudah besar. Menjadi sebuah achievement tersendiri.
Mungkin ada yang nyeletuk, “Ah, gak akan kesampaian karena gak fokus, kalaupun iya, pasti capek banget.” Bisa iya, bisa enggak. Tapi sih yang paling penting adalah planning!
Planning
Semuanya bisa berjalan dengan rencana yang matang dengan banyak pertimbangan. Planning is everything. Enggak ada waktu, sibuk, dan lain-lain hanya sebatas pembenaran, semuanya bisa dijalankan bila ada planning.
Planning bisa dimulai dari rencana jangka panjang, kemudian rencana jangka menengah, rencana satu tahun, rencana satu bulan, lalu lebih sempit lagi rencana dalam satu hari. Seru loh mem-planning sesuatu itu.
Hidup memang lebih asik mengalir begitu saja, tetapi, air yang mengalir di sungai saja direncanakan tata letak sungai, volume air dan ke mana saja air mengalir. Bayangkan jika keberadaan sungai tidak direncanakan, antara menjadi banjir atau kekeringan.
Di sub judul kan “working, plaing, dreaming and planning”, lalu di mana pembahasan mengenai playing-nya?
Ketika kamu baca ketiga tahapan sebelumnya, semua tahapan itu adalah tahap playing, segala prosesnya adalah arena bermain. Bermain tentu membahagiakan, bukan? Baca kembali paragraf lima dari tulisan ini, ‘Bahagia kita letakan di awal, menjadi bagian dalam proses hidup’.
Lalu apa mimpimu? Apa cita-citamu? Apa bahagiamu? Bagaimana cara menggapainya? Eit, simpan rapat-rapat saja, tapi jika kamu perlu tempat berbagi, ayo kita ngopi, kan kumasukkan dalam rencanaku :D
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H