Mohon tunggu...
RIDWAN M NUH
RIDWAN M NUH Mohon Tunggu... lainnya -

Guru

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Siswa Tidak Serius UN, Toh Sekolah yang Meluluskan?

17 April 2014   18:47 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:33 192
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hari ini adalah pelaksanaan pertama Ujian Nasional (UN) untuk tingkat SMA dan sederajat.  Seluruh satuan pendidikan SMA se-Indonesia melaksanakan secara serempak “pesta dunia pendidikan” ini. Ditengah kontroversi yang masih menyelimuti UN, namun “hajatan tahunan” ini masih saja diadakan.  pelaksanaannya masih dan hampir sama dengan tahun-tahun sebelumnya.  Yang berbeda adalah penentu lulus atau tidaknya peserta didik tidak  seratus persen ditentukan oleh jawaban dan kertas yang dikerjakan hanya selama tiga hari itu.  Jika tahun lalu seorang siswa bisa dikategorikan lulus dengan kalkulasi nilai UN 60% dan Ujian Sekolah 40% sedangkan untuk tahun ini kabar gembira kian terasa oleh siswa karena nilai Ujian Sekolah berperan 70% dan UN hanya 30%.  Itu berarti sangat dimungkinkan peserta didik bisa lulus dengan mudah.

Berangkat dari ketentuan Kemendikbud tersebut, tentu penilaian itu adalah hasil pemikiran atas evaluasi UN selama ini.  Jika dibandingkan lima tahun silam, ketika saya menjadi peserta UN, nilai UN itu ibarat hidup dan mati atas perjuangan dan pengorbanan orang tua.  Tiga hari itu bagaikan syarat mutlak untuk melanjutkan kehidupan yang akan datang.  Tapi bagaimana rasanya jika saya menjalani UN tahun ini?

Kelulusan yang ditentukan oleh nilai harian siswa tentu tidak hanya membuat lega calon “generasi emas”  bangsa ini, tapi juga orang tua.  Tentu keyakinan lulus oleh peserta didik sangat besar, toh kan guru yang meluluskan?. Itu tercermin dengan suasana UN tahun ini.  Nuansa ketidakseriusan dalam mengerjakan soal sangat tampak ketika saya mengawasi salah satu sekolah negeri di Kecamatan Parung.  Suasana dan kondisi peserta didik ketika mengerjakan soal tidak jauh beda seperti menjawab ulangan harian biasa.  Artinya mereka tidak begitu serius dan yakin dengan jawaban yang dihitamkan di LJUN.  Kondisi lain misalkan, banyak yang terlihat mengantuk ditengah menjawab soal, entah itu sudah mengerjakan atau memang tidak paham dengan soal dan menengok atau menggerakan badan kesekitar tempat duduk. Entah itu menanyakan soal atau jawaban, yang pasti bukan jawaban karena semua peserta mendapatkan soal yang berbeda. Raut muka mereka yang tidak serius alias bercanda. Serta masih banyak lagi tingkah peserta UN sekolah tersebut yang tidak selayaknya.

Hari kedua saya mengawas di sekolah tersebut, ternyata sikon tidak berubah tapi justru nambah diluar dugaan.  Mata pelajaran yang diujikan ialah Matematika dan Kimia untuk jurusan IPA, karena kebetulan saya mengawasi di kelas IPA.  Pelajaran Matematika yang menjadi ciri jurusan ini nyatanya tidak menjadi momok bagi siswa.  Mereka terlihat sangat santai dan bahkan sangat cuek khususnya bagi mereka yang mungkin tidak bisa mengerjakan.  Tidak terlihat takut akan tidak lulus, bahkan sampai waktu pengerjaan habis mereka dengan langkah pasti mengumpulkan lembar jawaban.  Entah LJUN yang mereka kumpulkan itu merupakan jawaban hasil pencarian, asal tebak atau memang sudah tahu kunci jawabannya?.

Pengawasan berlanjut sampai hari ketiga.  Saya pikir anak-anak di sekolah ini bisa terlihat lebih serius dan kejadian yang sampai memohon untuk menggunakan kalkulator ketika ujian Kimia kemarin tidak terulang.  Sempat terjadi ketika hari kedua peserta dalam ruangan yang saya awasi memohon untuk menggunakan alat hitung.  Ternyata untuk pelajaran bahasa Inggris kali ini mereka menanyakan pelajaran yang saya ampu di sekolah.  Mereka pikir kalau saya guru bahasa Inggris, mereka berniat meminta bantuan jawaban.  Sayangnya saya mengajar bahasa Indonesia.

Dari pengalaman saya mengawasi Ujian Nasional tahun pertama ini, kita bisa menilai bahwa ujian saat ini bukanlah suatu hakim pamungkas untuk menentukan kelulusan.  UN yang sekarang sangat berbeda jauh ketika kita saya alami lima tahun silam.   Sangat disayangkan jika tujuan pendidikan nasional untuk merubah karakter pemuda bangsa ini tidak kesampaian.  Cerita di atas adalah bagian terkecil dari suasana di dalam ruangan UN.  Padahal sekolah tersebut konon masuk lima besar SMA Favorit se-kabupaten.  Jangan sampai UN hanya sebatas formalitas Negara sebagai batas akhir seorang peserta didik  berhak untuk menaggalkan seragam abu-abunya.  Saya takut jika kondisi ini terjadi di sekolah-sekolah lain.  Ketidakseriusan mereka membuat saya sedih dan khawatir dengan bangsa ini jika generasinya kosong akan pengetahuan.

Ini merupakan pekerjaan kita bersama.  Para praktisi pendidikan dan pemerintah harus mengkaji ulang standar kelulusan peserta didik.  UN mungkin sudah menjadi program paten Kemendikbud. Saya rasa perlu ada perubahan lagi di tahun yang akan datang.  Ingat kita sedang mempersiapkan generasi emas bangsa ini  untuk dua puluh tahun mendatang!!!.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun