[caption caption="Pencak Silat, Salahsatu Warisan Kebudayaan Sunda (Sumber: Olahragabagus.blogspot.com)"][/caption]Imam Besar Front Pembela Islam (FPI) Habib Riziq Shihab kembali menuai kontroversi. Kali ini terkait tausiyahnya diduga telah menghina budaya Sunda.
Seperti diketahui, beredar video ceramah Habieb Rizieq di Purwakarta yang diunggah ke Youtube pada 14 November 2015. Dalam video berdurasi 43 detik itu, Habieb Rizieq memplesetkan istilah "sampurasun" menjadi "campur racun".
Akibatnya, beberapa elemen masyarakat Sunda yang diwakili oleh Aliansi Masyarakat Sunda Menggugat (AMSM) melaporkan Rizieq Shihab atas tuduhan penghinaan dan pelecehan terhadap budaya Sunda.
Aliansi yang dimotori Angkatan Muda Siliwangi (AMS) Jawa Barat ini melaporkan Rizieq dengan pasal 28 ayat 2, UU nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Sebenarnya, kekisruhan ini tidak perlu terjadi jika semua pihak melakukan “Tabayyun” atau meminta klarifikasi kepada Habib Riziq Shihab. Jika mendengar “tausyiah” lengkap Habib Riziq Syihab, tidak ada indikasi “pelecehan” atau “penghinaan” terhadap budaya dan adat Sunda (Tausiyah lengkap klik Disini).
Sampurasun Sunda dan Tabik Pun Lampung
Memasyarakatkan "Sampurasun", orang Sunda harus belajar kepada orang Lampung. Di Provinsi Serambi Sumatera ini, dalam setiap sambutan acara formal maupun non-formal, selain di buka dengan Assalamualaikum, selalu di iringi dengan ucapan "Tabik Pun", maknanya hampir sama dengan "Sampurasun" di kalangan masyarakat Sunda yang memiliki pengertian mengungkapkan untuk memberi salam; selamat (pagi, siang, malam); dan perbuatan saling menghormati atau minta maaf.
Di Lampung, jika seseorang mengucapkan “Tabik Pun”, maka akan di jawab dengan “Iya Pun”, sedangkan di masyarakat Sunda, jika seseorang mengucapkan “Sampurasun” akan di jawab dengan “Rampes”. Kebetulan penulis adalah orang Sunda, asli putra Bogor, yang sudah hampir 5 tahun tinggal di Bumi Ruwa Jurai, Lampung.
Lalu, apa sebenarnya makna filosofis yang tersimpan dalam salam “Sampurasun”? Apakah itu hanya sekadar sapaan?
Dari literatur yang penulis dapatkan, “Sampurasun” dimasyarakat Sunda semacam wasiat bagi anak cucu orang Sunda. Bahkan terkadang, amanatnya tidak hanya bagi orang Sunda, tapi untuk semua kita. Ummat Manusia.
Sampurasun, dari literatur sejarah Sunda berasal dari kata sampura atau hampura yang memiliki makna “permohonan maaf” atau “Saya mohon dimaafkan”. Sedangkan “Rampes” adalah jawabannya, yang memiliki arti “dimaafkan”. Jadi, wasiat dari frasa “sampurasun-rampes” bukan hanya sekadar sapaan. Melainkan sebuah cermin bagi kita semua untuk bisa saling maaf-memaafkan dengan segala kerendahan hati. Sebuah frasa yang mengajarkan arti sejati welas-asih. Melintasi semua keyakinan, agama dan kebudayaan yang ada di muka bumi.