Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Politik

"Proyek Centeng" dan Politik Pecah Belah Freeport

20 November 2015   02:50 Diperbarui: 20 November 2015   05:42 2223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Komplek pertambangan Grasberg, PT Freeport Indonesia, Papua (KOMPAS.com)"][/caption]Menyikapi pembocoran transkrip rekaman pembicaraan Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Setya Novanto (SN) dengan CEO PT Freeport Indonesia (PTFI), Bangsa Indonesia harus hati-hati. Pasti ada motif politik tertentu.

Dalam negosiasi dikenal istilah Appointed Mediator yaitu orang atau organisasi yang ditunjuk sebagai mediator baik dalam urusan perang, politik, ekonomi dan bisnis yang tidak tergantung pada apapun hasil pembicaraan kecuali dia mendapatkan reputasi baik. Reputasi baik inilah yang nantinya akan membuat diri atau organisasi yang dipimpinnya terpercaya dan memiliki reputasi bagus.

CEO PTFI sebagai Appointed Mediator, ternyata menggunakan transkrip rekaman SN, sebagai “bargaining” dalam bernegosiasi perpanjangan Kontrak Karya (KK). PTFI berhasil mencitrakan seolah sebagai “Pahlawan Publik”, bahwa ada permainan tingkat tinggi terkait rencana negosiasi KK Freeport. Outcome-nya tentu mendapat simpati rakyat Indonesia dan meminimalisir resistensi anti-Freeport di Indonesia.

Tampaknya PTFI sedang menjalankan politik “memecah ombak”. Disinilah Bangsa Indonesia harus “awas” dan “waspada”. Jangan sampai terjebak dengan politik “pecah belah” PTFI. Pihak eksekutif dan legislatif harus tetap bersatu, jangan terpecah konsentrasinya menyikapi rencana perpanjangan KK PTFI.

Presiden dan DPR tetap harus satu "Flatform" terkait Freeport, yakni : "Tinjau ulang kontrak karya Freeport demi kesejahteraan rakyat". Opsinya adalah ambil alih atau renegosiasi kepemilikan saham pemerintah sampai 51 persen lebih.

Saya pernah menulis di Kompasiana di bulan Oktober 2015, Freeport dan Amerika Serikat (AS) dengan berbagai cara akan mempertahankan tambang emas terbesar itu, termasuk melibatkan "The Invisible Hand". (Baca :Kontrak Karya Freeport Tidak Diperpanjang, NKRI Terancam Bubar?)

Beruntung, Presiden Jokowi bisa membaca dengan cermat “langkah bidak” yang sedang dimainkan oleh PTFI sehingga tidak terjebak dalam perdebatan. Presiden Jokowi langsung mengeluarkan dua pernyataan yang tegas.

Pertama, Pemerintah tegaskan pembicaraan Kontrak Karya (KK) tidak akan dibahas sebelum 2019. Kedua, Pemerintah akan mengambil alih PTFI jika perusahaan tambang emas terbesar di dunia itu tidak mampu memenuhi syarat-syarat yang diajukan Presiden Jokowi. Bahkan pemerintah akan mengeluarkan opsi memutus kontrak karya dan mengambil alih PTFI tanpa syarat.

Presiden melalui Menko Polhukam, Luhut Binsar Panjaitan, melontarkan usulan agar tambang emas Freeport dapat diambil alih pemerintah. Pengalihan KK PTFI dapat dilakukan setelah kontraknya berakhir tahun 2021. (Baca: Luhut Usul Tambang Freeport Tahun 2021 Diambil Alih)

Luhut mengatakan hal tersebut seperti skema pengalihan saham Blok Mahakam di Kalimantan Timur dari Total Indonesie kepada PT Pertamina (Persero).

Seperti diketahui, sejak tahun 1966, Blok Mahakam dikuasa oleh PT Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation. Kontrak tersebut kemudian diperpanjang pada 1997 dan berakhir pada 31 Desember 2017. Di masa Presiden Jokowi, Kontrak Kerja Sama PT Total E&P Indonesia dan Inpex Corporation tidak diperpanjang.

Pemerintah memutuskan pengelolaan blok itu diberikan kepada PT Pertamina (Persero) dengan porsi kepemilikan 70 persen saham bersama pemerintah daerah. Sedangkan Total dan Inpex Corporation sebagai mitra lama di blok itu, memiliki total 30 persen saham. (Baca :Indonesia Darurat Mafia Migas: Ini 25 Kontrak Kerjasama yang Perlu Diawasi Publik)

Jika mengadopsi skema Blok Mahakam, Pemerintah bisa menunjuk salahsatu BUMN seperti PT. Antam untuk mengelola tambang emas Grasberg dengan porsi kepemilikan saham sampai 70 persen.

Freeport dan "Proyek Centeng”

Selain Ketua DPR, yang menjadi perhatian publik di kasus transkrip SN adalah CEO PTFI, Maroef Sjamsuddin. CEO PTFI itu ternyata mantan wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Maroef ditunjuk menjadi CEO PTFI sejak 7 Januari 2015. Maroef adalah CEO PTFI pertama dari kalangan purnawirawan militer.

Hampir lima tahun, Maroef lebih banyak menduduki posisi intelijen. Pada Maret tahun 2010, selesai menjabat Direktorat Kontra Separatisme di Deputi III BIN, Maroef menjadi Staf Ahli Pertahanan dan Keamanan BIN. Setahun kemudian, Maroef naik pangkat menjadi Wakil Kepala BIN sampai Mei tahun 2014. Maroef adalah lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) angkatan 1980. Pada 1997, MS pernah menjadi Komandan Skadron 465 Paskhasau.[caption caption="Maroef Sjamsuddin, CEO PT Freeport Indonesia (Sumber: liputan6.com)"]

[/caption]

Pertanyaanya, kenapa PTFI merekrut CEO seorang mantan anggota “Telik Sandi”? Apakah untuk mempertahankan “status quo” dan stabilitas keamanan di wilayah tambang PTFI? Atau ini cara cerdas PTFI menjadikan Maroef Sjamsuddin, sebagai Appointed Mediator menghadapi negosiasi PTFI karena jaringannya kuat dikalangan militer, eksekutif dan legislatif.

Sejak Orde baru, PTFI tidak lepas dari “isu keamanan” terkait masih rentannya ancaman seperatisme di Papua. Kerentanan ini kemudian menjadi justifikasi pihak militer menggelar operasi keamanan maksimum di wilayah tambang Freeport.

Namun, pada praktiknya, kerentanan keamanan ini menjadi " Proyek Centeng" oleh segelintir oknum di tambang emas terbesar di dunia tersebut. Sudah rahasia umum, PTFI adalah lahan basah untuk "jasa keamanan" yang sering diperebutkan oleh oknum-oknum “centeng”. Jutaan dollar telah mengalir ke "kantong" oknum-oknum "centeng" sejak orde baru tanpa tercatat ke kas negara. Tapi, faktanya berdasarkan informasi sahabat saya, seorang perwira TNI yang pernah bertugas di Papua, tidak ada NKRI di wilayah tambang PTFI. Aparat keamanan dilarang masuk wilayah tambang utama PTFI.

“Proyek Centeng” adalah sebuah praktik mencari rente yang dilarang dan menyalahi tupoksi sebagai aparat keamanan. Saya percaya, sebagai benteng NKRI, TNI/Polri tentunya tidak akan mau jadi “Beking” PTFI, apalagi ikut mempengaruhi proses negosiasi KK PTFI.

Yang harus dilakukan adalah “membersihkan” kepentingan pribadi dan kelompok dalam negosiasi KK PTFI. Memang banyak kepentingan yang akan dipertaruhkan jika KK PTFI tidak diperpanjang, termasuk kepentingan AS.

Konon, AS siap menggerakan armada pasifik-nya yang berbasis di Darwin dan Guam ke Papua, jika tambang terbesar Emas yang konon menyimpang cadangan emas 16 juta ton di ambil alih oleh Bangsa Indonesia atau dikelola negara lain. Tentu kita sebagai bangsa tidak mau ditekan oleh AS begitu saja. Kita harus berani melawan untuk menghadapi segala upaya pihak asing menghancurkan keutuhan NKRI.

Kini saatnya momentum yang tepat, bangsa Indonesia mengelola secara mandiri asset sumber daya alamnya demi kesejahteraan rakyat.

Muhammad Ridwan, Pewarta Warga di www.mediawarga.info

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun