Pemerintah memutuskan pengelolaan blok itu diberikan kepada PT Pertamina (Persero) dengan porsi kepemilikan 70 persen saham bersama pemerintah daerah. Sedangkan Total dan Inpex Corporation sebagai mitra lama di blok itu, memiliki total 30 persen saham. (Baca :Indonesia Darurat Mafia Migas: Ini 25 Kontrak Kerjasama yang Perlu Diawasi Publik)
Jika mengadopsi skema Blok Mahakam, Pemerintah bisa menunjuk salahsatu BUMN seperti PT. Antam untuk mengelola tambang emas Grasberg dengan porsi kepemilikan saham sampai 70 persen.
Freeport dan "Proyek Centeng”
Selain Ketua DPR, yang menjadi perhatian publik di kasus transkrip SN adalah CEO PTFI, Maroef Sjamsuddin. CEO PTFI itu ternyata mantan wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Maroef ditunjuk menjadi CEO PTFI sejak 7 Januari 2015. Maroef adalah CEO PTFI pertama dari kalangan purnawirawan militer.
Hampir lima tahun, Maroef lebih banyak menduduki posisi intelijen. Pada Maret tahun 2010, selesai menjabat Direktorat Kontra Separatisme di Deputi III BIN, Maroef menjadi Staf Ahli Pertahanan dan Keamanan BIN. Setahun kemudian, Maroef naik pangkat menjadi Wakil Kepala BIN sampai Mei tahun 2014. Maroef adalah lulusan Akademi Angkatan Udara (AAU) angkatan 1980. Pada 1997, MS pernah menjadi Komandan Skadron 465 Paskhasau.[caption caption="Maroef Sjamsuddin, CEO PT Freeport Indonesia (Sumber: liputan6.com)"]
Pertanyaanya, kenapa PTFI merekrut CEO seorang mantan anggota “Telik Sandi”? Apakah untuk mempertahankan “status quo” dan stabilitas keamanan di wilayah tambang PTFI? Atau ini cara cerdas PTFI menjadikan Maroef Sjamsuddin, sebagai Appointed Mediator menghadapi negosiasi PTFI karena jaringannya kuat dikalangan militer, eksekutif dan legislatif.
Sejak Orde baru, PTFI tidak lepas dari “isu keamanan” terkait masih rentannya ancaman seperatisme di Papua. Kerentanan ini kemudian menjadi justifikasi pihak militer menggelar operasi keamanan maksimum di wilayah tambang Freeport.
Namun, pada praktiknya, kerentanan keamanan ini menjadi " Proyek Centeng" oleh segelintir oknum di tambang emas terbesar di dunia tersebut. Sudah rahasia umum, PTFI adalah lahan basah untuk "jasa keamanan" yang sering diperebutkan oleh oknum-oknum “centeng”. Jutaan dollar telah mengalir ke "kantong" oknum-oknum "centeng" sejak orde baru tanpa tercatat ke kas negara. Tapi, faktanya berdasarkan informasi sahabat saya, seorang perwira TNI yang pernah bertugas di Papua, tidak ada NKRI di wilayah tambang PTFI. Aparat keamanan dilarang masuk wilayah tambang utama PTFI.
“Proyek Centeng” adalah sebuah praktik mencari rente yang dilarang dan menyalahi tupoksi sebagai aparat keamanan. Saya percaya, sebagai benteng NKRI, TNI/Polri tentunya tidak akan mau jadi “Beking” PTFI, apalagi ikut mempengaruhi proses negosiasi KK PTFI.
Yang harus dilakukan adalah “membersihkan” kepentingan pribadi dan kelompok dalam negosiasi KK PTFI. Memang banyak kepentingan yang akan dipertaruhkan jika KK PTFI tidak diperpanjang, termasuk kepentingan AS.
Konon, AS siap menggerakan armada pasifik-nya yang berbasis di Darwin dan Guam ke Papua, jika tambang terbesar Emas yang konon menyimpang cadangan emas 16 juta ton di ambil alih oleh Bangsa Indonesia atau dikelola negara lain. Tentu kita sebagai bangsa tidak mau ditekan oleh AS begitu saja. Kita harus berani melawan untuk menghadapi segala upaya pihak asing menghancurkan keutuhan NKRI.