[caption caption="Korban Penembakan Paris (Sumber: Daily Mail)"][/caption]Tragedi berdarah "Friday The 13th"di Paris, Perancis, membuat Eropa dan dunia kembali berduka. Penembakan dan pengeboman di beberapa lokasi di Kota Paris, Jum'at (13/11) malam waktu Paris, mengakibatkan setidaknya 127 orang tewas dan 80 orang di antaranya adalah sandera di Concert Hall Paris.
Belum genap satu tahun, pasca penyerangan di kantor pusat majalah satir Perancis Charlie Hebdo di Paris Pada 7 Januari 2015 yang mengakibatkan 12 orang tewas dan 10 orang terluka. Intelijen Perancis lagi-lagi "kebobolan".
Kelompok Fundamentalis  Islamic State of Iraq and Syria ( ISIS) telah mengklaim ada dibalik serangan brutal tersebut. Keterangan tertulis ISIS disebar ke media massa Prancis pada hari Sabtu (14/11). Dalam surat berbahasa Prancis itu, ISIS  menyatakan Prancis sudah menjadi "target utama operasi". ISIS menjelaskan serangan ke Paris dilancarkan militan kiriman mereka, sebagai balasan atas kebijakan Negeri Anggur tersebut menghancurkan markas mereka di Suriah. (Baca: ISIS resmi mengaku bertanggung jawab atas teror di Paris)
Standar Ganda Perancis Terhadap Suriah
Standar ganda Perancis terhadap Suriah, menjadi penyebab terjadinya Tragedi Paris. Perancis seolah-olah memerangi kelompok Teroris ISIS, namun dibalik layar bekerjasama untuk menggulingkan Bashar Assad. Meminjam bahasa Pengamat Politik Timur-Tengah, Andi Hakim, Presiden Perancis Nicolas Hollande sangat Hipokrit (Munafik) terkait Suriah.
Presiden Hollande secara tegas menolak pembicaraan penyelesaian konflik Suriah secara damai yang di gagas Jerman dan Rusia. Tapi dengan tegas bersama Amerika dan Inggris menjadi offisial Kelompok Oposisi Suriah  dengan menyuplai Senjata. Namun sayang, sebagian besar senjata itu jatuh ke tangan ISIS. Suatu kebetulan atau kesengajaan? Jika benar Prancis "main mata" dengan ISIS, Presiden Hollande benar-benar hipokrit
Al-Qaeda, ISIS dan Jihadis Islam lainnya oleh Mantan Menteri Luar Negeri Amerika Serikat, Hillary Clinton, telah diakui dibentuk oleh mereka. Osama Bin Laden, Amir Al-Qaeda pernah menjadi sekutu Amerika Serikat dalam Perang Afganistan di era 80-an. Sampai kemudian di Era 90-an, Al-Qaeda berbalik menjadi kelompok yang paling berbahaya bagi Amerika Serikat. Puncaknya adalah peristiwa Black September 9/11 yang kemudian menjadi dasar Pre-text War terhadap negara-negara Islam yang dianggap melindungi kelompok-kelompok Teroris seperti Afghanistan, ataupun musuh Amerika Serikat seperti Saddam Husein.
Ada seorang analis intelijen yang berpendendapat, sebenarnya para Jihadis itu memang dibiarkan berkembang oleh Amerika Serikat dan sekutunya. Para Jihadis kemudian dipancing untuk menyerang fasilitas-fasilitas mereka agar ada justifikasi untuk menyerang balik dan menghancurkannya sampai ke akar-akarnya.
Ini bisa terlihat, ketika George Walker Bush menggelar kampanye global perang melawan teror pasca 9/11. Bush memberikan dua pilihan kepada negara-negara Islam. Menjadi kawan atau lawan. Menjadi kawan, berarti harus bekerjasama menumpas para Jihadis, termasuk di Indonesia. Hasilnya setelah 10 tahun (2001-2011) dunia Islam benar-benar tercerai-berai.
Mulai 2011, angin perubahan menyapu Timur Tengah, dikenal dengan Arab Spring. Tuntutan reformasi politik, demokrasi dan perbaikan kesejahteraan berembus hampir disemua negara-negara Timur-Tengah, tidak terkecuali Suriah. Dan lagi-lagi sponsor utama dari Revolusi Arab Spring ini adalah Amerika Serikat dan sekutunya.
Jika di Tunisia, Libya dan Mesir dengan mudahnya melakukan proses pergantian kepemimpinan nasional, tidak demikian dengan Suriah. Presiden Bashar Assad, tidak mudah untuk digulingkan. Maka, dengan berbagai cara, Amerika Serikat ingin lengserkan Assad, termasuk menciptakan "monster" Timur Tengah yang dikenal dengan ISIS sekarang.