Mohon tunggu...
Muhammad Ridwan
Muhammad Ridwan Mohon Tunggu... Relawan - Fungsionaris DPP Aliansi Nasional Indonesia Sejahtera (ANIES)

Orang biasa saja, seorang ayah, sejak tahun 2003 aktif dalam kegiatan community development. Blog : mediawarga.id e-mail : muh_ridwan78@yahoo.co.id

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Santri Nasional Akan Mendistorsi Makna Santri?

21 Oktober 2015   20:45 Diperbarui: 21 Oktober 2016   09:29 1189
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Para Santri Pesantren Modern Gontor, Ponorogo, Jawa Timur (Sumber: KOMPAS.com)"][/caption]Perdebatan terkait Hari Santri Nasional (HSN) kembali ramai di media sosial setelah janji Presiden Jokowi menetapkan tahun baru Islam sebagai HSN tidak terealisasi. Pembaca Kompasiana pasti masih ingat, kata “Sinting” menjadi sangat papuler terkait HSN pada masa kampanye pemilihan presiden (Pilpres) 2014.

Adalah Fahri Hamzah (Politisi PKS) yang menulis status “sinting”  di akun Twitter-nya, menanggapi wacana HSN oleh Capres Jokowi waktu itu. Konon, gara-gara cuitan “sinting” ini elektabilitas Jokowi naik dan menang dalam Pilpres.

Kini perdebatan HSN kembali mengemuka, pasalnya ada wacana peristiwa "penetapan resolusi jihad" oleh para Ulama Nahdatul Ulama (NU) yang dikeluarkan pada tanggal 22 Oktober 1945 akan ditetapkan sebagai HSN oleh Presiden Jokowi.

Beberapa organisasi Islam memberikan saran agar penetapan HSN pada 22 Oktober 2015 perlu dipertimbangkan, karena dikhawatirkan akan ada jarak antara kaum Nahdiyin (NU) dan kelompok Islam lainnya di Indonesia yang tidak terlibat langsung dalam peristiwa 22 Oktober tersebut.

Seperti dilansir Voa-Islam.com, Jum’at (16/10), mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah, Din Syamsudin, menyatakan bahwa penetapan HSN yang akan diputuskan oleh Presiden Joko Widodo tidak tepat. Ia beralasan keputusan itu akan mengganggu persatuan dan kesatuan bangsa.

Menurut Din Syamsudin, HSN adalah upaya pihak luar untuk memecah-belah yang nantinya akan menghasilkan distorsi dalam budaya Islam yang pernah terbentuk. Dikotomi Santri-Abangan juga upaya intelektual orang luar untuk memecah belah umat Islam dengan mengukuhkan gejala budaya yang sesungguhnya bisa berubah (process of becoming) tersebut.

Pernyataan Din Syamsudin ini mendapat dukungan dari tokoh muda Muhammadiyah, Ma'mun Murod Al-Barbasy melalui media sosial facebook yang diposting Sabtu (17/10).

“Akan terjadi distorsi dan reduksi terhadap makna santri jika tanggal 22 Oktober dipaksakan sebagai Hari Santri Nasional” ungkap Ma’mun Murod yang juga dikenal sebagai Jubir Perhimpunan Pergerakan Indonesia (PPI) .

Menurut Ma'mun Murod Al-Barbasy, sebelum Syarikat Islam (SI) berdiri tahun 1905, Muhammadiyah tahun 1912, NU tahun 1926 dan ormas Islam lainnya lahir, sudah ada yang namanya santri. Saat itu belum di kenal pendidikan umum di kalangan santri, yang ada pendidikan pesantren. Dan kebanyakan elit muslim saat itu adalah alumni pesantren (yang dalam perjalanannya tersebar di berbagai ormas Islam).

Ma'mun Murod mengusulkan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Resolusi Jihad saja. Kalau pun HSN itu harus ada, jadikan moment politik yang menggambarkan keterlibatan keseluruhan elemen santri dari berbagai kelompok Islam. Misalnya tanggal 22 Juni 1945, saat itu "kaum santri" dari SI, Muhammadiyah, NU, Perti dan lain-lain, berhasil menggolkan "Piagam Jakarta" di Sidang BPUPKI.

"Tanggal 22 Oktober itu tanggal yang tak netral dan cenderung menafikan jasa-jasa santri lainnya yang tidak terlibat di seputar Resolusi Jihad. Padahal jelas, momentum perjuangan panjang Indonesia merebut dan mempertahankan kemerdekaan bukan hanya di tanggal 22 Oktober 1945", ungkapnya.

Dikotomi Santri dan Non-Santri, Apakah Masih Relevan?

Kata santri selalu identik dengan kalangan Pesantren dan kaum Nahdiyin yang berdomisili di desa, mayoritas profesinya sebagai pedagang. Namun kini dikenal juga istilah “Santri Kota”, yakni kalangan menengah Muslim di perkotaan yang memiliki pemahaman agama Islam yang baik, namun bukan jebolan dari lembaga pendidikan Pesantren.

Biasanya “Santri Kota” ini lulusan universitas atau berpendidikan formal cukup dan berlatar belakang ormas Islam modernis seperti Muhammadiyah, Persis, Ikhwanul Muslimin, Lembaga Dakwah Kampus (LDK) dan lain-lain.

Adanya dikotomi santri dan non-santri berawal dari pandangan Clifford Geertz penulis buku legendaris The Religion of Javayang mengungkapkan tentang adanya trikotomi Abangan, Santri dan Priyayi di dalam masyarakat Jawa, yang telah mempengaruhi banyak orang dalam melakukan analisis baik tentang hubungan antara agama dan budaya, ataupun hubungan antara agama dan politik. Dalam diskursus interaksi antara agama, khususnya Islam, dan budaya di Jawa, pandangan Geertz telah mengilhami banyak orang untuk melihat lebih mendalam tentang interrelasi antara keduanya. Kerangka berfikir Geertz inilah yang kemudian mempengaruhi pemikiran masyarakat Indonesia seolah-olah  ada dikotomi antara santri dan non-santri.

Namun, di era digital dan media sosial saat ini, tampaknya pandangan Geerzt tersebut perlu di uji kembali. Saat ini pemahaman tentang agama Islam jauh lebih baik di semua kalangan masyarakat berkat gencarnya dakwah Islam, baik melalui media elektronik dan media sosial. Bahkan, masyarakat bisa mencari referensi sendiri tentang pengetahuan agama Islam melalui mesin pencari di dunia maya.

Akses pengetahuan agama tidak lagi monopoli “kaum santri” di Pesantren-pesantren atau Perguruan Tinggi Islam. Hasilnya, tumbuh kelas menengah baru di Indonesia yang tidak lagi mencirikan kelompok abangan atau priyayi, sehingga antara kelompok santri dan non-santri sudah mencair. 

Saat ini, banyak Bupati/Walikota atau Gubernur lebih “Nyantri” walaupun tidak berlatarbelakang Pesantren. Budayawan, politisi, anggota TNI/Polri juga demikian.

Jadi, dikotomi Santri dan non-Santri sudah tidak relevan lagi. Mengutip kembali pernyataan Din Syamsudin, hari nasional  kecuali hari-hari besar keagamaan, haruslah menjadi hari bagi semua elemen bangsa. Maka kalau terpaksa harus ada Hari Santri (karena fait-a-compli politik pada saat Pilpres), mungkin bisa dicari tanggal lain. Tentu Pemerintah akan kerepotan jika ada desakan untuk kemudian adanya Hari Abangan Nasional.

Baca juga :

Hari Santri: Pengakuan Sejarah atau Politik Belah Bambu?

Kontrak Karya Freeport Tidak Diperpanjang, NKRI Terancam Bubar?

Tentara, Politik dan Isu Kudeta

Pilkada: Proses Demokrasi yang Melahirkan Oligarki

Paket Kebijakan Ekonomi Jokowi Saran dari IMF?

Analisis Marxis Tentang Islam Politik

Radikalisme Islam bukan Produk Impor, tapi "Home Ground"

Detik-detik Menentukan Perubahan Piagam Jakarta

Kelompok Syiah Rencanakan "Revolusi" Tahun 2018?

Jokowi SalahSatu Pemimpin Muslim Terkuat, tapi "Lembek" Soal Konflik di Suriah

Konflik Yaman, Perang Terselubung Arab Saudi-Iran

HTI Tidak Mengakui ISIS Sebagai Negara Islam

Perceraian Kang Jalal, Allah Pecah-Belah Rencana Makar Syiah di Indonesia

Lembaran Putih Petisi 50, Mengingat Kembali Tragedi Tanjung Priok 1984

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun