Pagi dini hari ditahun 2018 taksi yang saya pesan sampai juga didepan rumah. Tas ransel ukuran 80 liter penuh sesak menenempel dipunggung. Perjalanan menuju bandara menjelang subuh memang terasa syahdu,tak ada macet tak ada polusi. Tak terbayang bila perjalanan saya lakukan pada siang hari bagaimanalah nasib diri dijalan Jakarta.
Bandara jakarta memang tak pernah sepi,hening subuh diperjalanan berubah jadi riuh ramai pada tiap sudutnya. Menunggu teman yang tak kunjung datang sedikit membosankan sementara antrian check in maskapai mulai memanjang seperti ular. Di dalam pesawat saya paksakan mata ini terpejam maklum belum tidur seharian karena rasa bahagia yang berlebihan.Â
Selembar kertas berisi Itinerary perjalanan tersusun dengan rapih,akan kami coret  satu demi satu bila tujuan terpenuhi. Bergulat dengan waktu untuk tujuh hari kedepan seperti menebak pada tanda tanya,apa yang akan terjadi di sana di bumi SUMATERA ?
Perjalanan dimulai menuju Tangkahan yang berada di kabupaten Langkat Sumatera Utara. Bus Damri bandara Kualanamu membawa kami pada terminal kecil disudut kota Medan. Hanya berisi beberapa bus semacam Metromini bila di Jakarta,dengan tujuanyang sama yaitu Bukit Lawang. Memang sulit transportasi umum menuju Tangkahan. Bus menuju tangkahan hanya beroperasi satu kali dalam satu hari. Jam 11 siang bus yang kami tunggu datang,dua jam lebih kami menuggu dengan sabar. Teman sempat putus asa dan meminta untuk berganti haluan menuju Bukit Lawang namun saya berhasil menepis Keputusasaannya.
Ramai nian suasana di dalam bus, senda gurau ibu-ibu terdengar jelas dengan  bahasa bataknya. Seolah tak terbeban dengan bertumpuk karung barang dagangan yang dibawa dari kota ke desa maupun dari desa ke kota. Persis di depan kursi sang supir alunan musik batak menggema riuh membuat gendang telinga berdendang hebat. Sepanjang perjalanan perkebunan kelapa sawit mendominasi pandangan mata. Benar kata orang meggunakan transportasi umum di kota Medan sama halnya bertumpu pada wahana roller coaster atau dibawa pada sensasi balap mobil F1. Lima jam perjalanan jantung dibuat tak karuan
Memasuki Kabupaten Langkat infrastruktur jalan makin tak karuan. Jalan dominan berbatu,pantas saja jarang wisatawan datang berkunjung ke Tangkahan. Faktor lain adalah kurangnya promosi menjadi penyebab Tangkahan kalah populer dibanding Bukit Lawang. Namun jangan salah,pesona Tangkahan lebih magis dan membius kepada siapapun wisatawan yang pernah berkunjung. Tangkahan memang menyuguhkan pesona "Keperawanan" karna tak banyak terjamah oleh banyak tangan. Listrik di sokong oleh generator tanpa jaringan internet  tak ada radio maupun TV,dari tangkahan warga mendapat rezeki atas penyewaan ruang-ruang bermalam.
Selain menyuguhkan wisata susur sungai dan wisata susur hutan,daya tarik tangkahan ada pada keberadaan gajah-gajah yang di pelihara oleh masyarakat sekitar. Gajah tangkahan dirawat dengan baik oleh "Mahout" atau pelatih gajah. Gajah di Tangkahan berfungsi juga menjaga kawasan Taman Nasional Gunung  Leuser (TNGL). Populasi gajah Sumatera kerap kali terancam akibat konflik manusia dengan gajah,maka wajar bila mahout benar-benar menjaga keberadaan Gajah.
Disungai pagi benar benar kami memandikan gajah,kegiatan seperti ini tidak pernah kami lakukan sebelumya. Kurang lebih ada sepuluh gajah bermain air ditemani oleh mahout. Gajah Tangkahan bernasib lebih baik bila dibandingkan dengan gajah-gajah yang pernah saya kunjungi di Sampoinet, Aceh Besar. di Tangkahan bukan hanya gajah tempat mahout berteduhpun terawat dengan baik, berbanding terbalik dengan keberadaan gajah dan tempat berteduh mahout di Sampoinet Aceh Besar.
Bermalam satu hari di Tangkahan memberi banyak ruang pada hati dan pikiran. Bahwa sejatinya alam adalah sahabat batin yang memberi tenang. Maka tak pantaslah bila tangan,hati dan pikiran menjadi buruk perbuatan untuk merusak. Pukul dua belas siang kami pamit diantar menggunakan kendaraan bermotor milik warga setempat. Jalan rusak berbatu tak menyurutkan niat mereka untuk mengantar kami. Satu motor rusak ditengah jalan akibat melawan jalan berbatu. Baiknya mereka sabar dan mengganti motor yang rusak. Bila saja pemerintah daerah Provinsi Sumatera Utara dan Pemda Kabupaten Langkat peka akan potensi pariwisata tangkahan tentulah tak ada lagi jalan rusak maupun minimnya fasilitas.
Kurang lebih 30 menit kami  berpindah dari motor ke transportasi umum lainnya untuk menuju kota Medan. Maghrib benar-benar kami sampai di kota Medan, Mengucap syukur sebab satu tujuan dengan baik terlaksana, kami coret  satu tujuan dari itenerary perjalanan. Masih pada tanda tanya, apa yang akan terjadi pada tujuan kami selanjutnya di bagian Bumi Sumatera yang lain yaitu DANAU TOBA
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H