Mohon tunggu...
Mokhammad Ridwan Fauzi
Mokhammad Ridwan Fauzi Mohon Tunggu... Akuntan - Karyawan Swasta

Hanya seorang hamba yang menikmati skenario Tuhannya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pundak Kokoh Seorang Laki-laki

31 Januari 2025   15:04 Diperbarui: 31 Januari 2025   19:06 47
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah sekitar 5 menitan Fadil hanya termenung menatap layar laptop sembari memainkan jarinya diatas meja, entah hal apa yang dia pikirkan sampai membuatnya melamun seperti itu.

Aku mencoba untuk menepuk pundaknya, lalu bertanya "ada apa?"

Fadil tersadar dan menjawab "gapapa ki"

"Istirahat dulu gih, makan" kataku

Fadil hanya mengangguk dan pergi meninggalkanku, tak seperti biasanya dia begitu, mungkin ada hal berat yang saat ini sedang dia hadapi, namun sebagai sahabatnya aku tidak akan bertanya lebih banyak, kubiarkan dia menyendiri terlebih dahulu. Jika waktunya sudah tepat aku akan mencoba untuk membuatnya bercerita.

Kami bersahabat sudah cukup lama, salah satu kegiatan ekstrakulikuler di Sekolah Menengah Atas (SMA) dulu lah yang membuat kami sangat dekat. Lulus sekolah kami pun masih berada di Kampus yang sama, hingga saat ini kami bekerja di tempat yang sama juga. Hal ini sangat luar bisa, seakan semesta tidak ingin aku dan Fadil berjauhan.

Sifat ceria yang biasa melekat padanya akhir-akhir ini memudar, hilang entah kemana, mukanya terlihat begitu kusut. Aku coba untuk menghampirinya lagi dan ku sodorkan minuman dingin yang baru saja ku beli tadi di kantin basement.

"Ini minum dulu biar lebih seger, lu tuh keliatan banget kalau lagi ada masalah, gua gak maksa lu buat cerita sekarang, tapi kalo lu butuh temen cerita bilang aja"

Ketika aku akan pergi meninggalkan meja kerja Fadil, dia berkata "ki, lu tau kan bokap gua masuk ICU dua hari lalu?" aku hanya bisa mengangguk dan diam saat Fadil mulai berbicara. "Dan hari ini gua dapet kabar dari istri kalo anak gua masuk IGD dan kemungkinan akan dirawat" lanjutnya menjelaskan.

Aku pun menarik kursiku ke samping Fadil dan mulai mendengarkan semua ceritanya yang membuat dia melamun akhir - akhir ini. Tak ada yang menyangka kalau dia saat ini sedang menghadapi sebuah masalah yang cukup menguras pikirannya, namun dia sembuyikan semua itu dibalik senyumannya.

Ayah Fadil ternyata sudah sering keluar masuk rumah sakit karena penyakit komplikasi, saudara kandungnya Bang Fajri sudah sekitar dua tahun tidak bekerja karena kontraknya yang diputus, padahal Bang Fajri itu sudah berkeluarga dan memiliki tiga orang anak. Pada akhirnya Bang Fajri memutuskan untuk membuka usaha kecil kecilan dirumah. Namun, usahanya itu pun terkadang harus tutup karena ayah mereka yang perlu diantar ke rumah sakit untuk kontrol, apalagi ketika harus dirawat seperti sekarang, maka Bang Fajri harus full menutup kiosnya seharian.

Tidak ada lagi yang bisa membantu menjaga kedua orang tuanya selain Bang Fajri, karena saat ini Fadil posisinya sudah tidak lagi satu rumah dengan mereka, dia sudah pindah menyesuaikan dengan tempat kerjanya di Jakarta. Akhir pekan ini Fadil berniat untuk pulang ke kampung halamannya supaya bisa membantu abang dan ibunya menjaga ayah mereka yang berada di ICU, tapi disisi lain anaknya pun harus dirawat karena terkena infeksi paru-paru.

"Gua gatau harus mana dulu yang di prioritaskan ki, gua mau jagain bokap tapi gak bisa tinggalin istri dan anak yang juga lagi di rumah sakit" ucap Fadil.

Aku hanya diam Ketika Fadil mengatakan hal itu, aku pun tidak tahu keputusan seperti apa yang harus aku ambil ketika dihadapkan dengan permasalahan seperti itu.

"Coba telepon dulu nyokap atau Bang Fajri, terus jelasin kalau disini juga kondisinya anak lu lagi dirawat" aku mencoba menyarankan.

Fadil hanya mengangguk tanda mengiyakan.

Dirumah, aku menceritakan kondisi yang saat ini dialami Fadil kepada istriku.

"Ternyata bukan cuma perempuan yang punya peran dan tanggung jawab berat, tapi laki-laki juga punya peran dan tanggung jawab yang berat atau bahkan lebih" Kataku.

"Setiap orang punya peran dan tanggung jawabnya masing-masing sayang, begitu juga dengan laki-laki dan perempuan, ada peran laki-laki yang tidak bisa dilakukan perempuan dan sebaliknya, ada peran perempuan yang tidak bisa dilakukan laki-laki, emang ada apa?" Jawab istriku.

Aku mengangguk menyetujui dan melanjutkan "itu si Fadil lagi ada masalah dirumah"

Setelah menikah, aku semakin paham bahwa laki-laki memikul tanggung jawab yang cukup berat. Ketika menjadi seorang anak, laki-laki harus bertanggung jawab atas orang tuanya untuk melindungi dan memberikan kehidupan yang layak bagi mereka, lalu setelah menikah, laki-laki masih harus bertanggung jawab kepada orang tuanya dan ditambah harus bertanggung jawab untuk memberikan kehidupan yang layak juga untuk istri dan anaknya. Bahkan ketika sudah meninggal pun, laki-laki masih harus bertanggung jawab atas dosa yang pernah dilakukan oleh istri, ibu, saudara perempuan, dan anak perempuannya di semasa hidup mereka. Sungguh pengorbanan dan tanggung jawab yang besar menurutku.

Pantas saja dulu handphone milik ayah selalu lebih jelek dari pada miliku, pantas saja dulu ayah tidak melanjutkan pendidikan untuk mendapatkan gelar doktor, pantas saja dulu barang-barang ayah selalu lebih jelek dari pada barang-barangku. Sekarang aku paham, itu semua dia lakukan karena ingin memberikan kehidupan yang layak untuk keluarganya, meski harus mengorbankan dirinya dan menunda bahkan menginjak impiannya sendiri.

Mungkin itulah yang saat ini dirasakan oleh Fadil, dia merasa harus bertanggung jawab untuk mengeluarkan kedua orang tuanya dan Bang Fajri dari kehidupan yang sekarang, tapi disisi lain dia juga harus memberikan kehidupan yang layak juga untuk anak istrinya. Dengan penghasilan yang tidak cukup besar dia berusaha untuk memberikan bulanan kepada kedua orang tuanya meski tak terlalu banyak tapi dia sudah berusaha yang terbaik.

Pengorbanan yang cukup besar dari Fadil, andai aku menjadi dia mungkin aku tidak sanggup memikul beban seberat itu. Namun, Tuhan mempercayakan itu semua kepadanya dan yakin bahwa dia bisa melewati semua ini.

"Dil, mungkin Allah mau angkat derajat lu" aku bergumam.

Ketika Tuhan sudah mencintai hambanya, maka yang pertama akan diberikan adalah ujian, karena itu adalah bentuk cinta Tuhan kepada hamba-Nya. Dengan memberikan ujian maka seorang hamba akan terus melangitkan doa kepada sang pencipta untuk dimudahkan segala urusannya, secara tidak langsung hal tersebut membuat hubungan antara Tuhan dengan seorang hamba semakin baik, dan Tuhan sangat menyukai hal itu. Ketika seorang hamba sudah dekat dengan-Nya dan mendapatkan cinta-Nya maka sebesar apapun masalah yang dihadapi akan terasa ringan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun