Mohon tunggu...
Riduan Situmorang
Riduan Situmorang Mohon Tunggu... Guru - Pendidik

Riduan Situmorang seorang alumni dari SMA Seminari Menengah Christus Sacerdos P. Siantar dan sedang kuliah di FBS Unimed. Lahir di Simandampin, 31 Desember 1987

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Beruntung Mempunyai Maruntung

21 Januari 2016   19:42 Diperbarui: 21 Januari 2016   20:06 314
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

 

Kerinduanku yang paling besar sejak aku mengenal Papua, tanah Cendrawasih itu, adalah menetap dan tinggal di sana  pada waktu yang tidak terbatas. Tidak terikat kontrak, bahkan tidak dibatasi dengan waktu yang ditentukan. Yang kumau, bisa menghabiskan hari-hariku, waktuku, bahkan seluruh kemampuanku untuk melayani Papua secara total. Dunia pendidikannya terutama. Dan kini, akhirnya, apa yang kuharapkan itu terjawab sudah setelah saya memutuskan untuk mengabdi, mendidik, dan tinggal di Papua untuk waktu yang tidak ada batasnya lagi.

Paragraf pembuka di atas adalah ungkapan hati seorang guru yang mengabdikan dirinya di Tanah Papua melalui program SM-3T. Ini merupakan “logika sesat” dari seorang yang sudah “sesat”. Dikatakan sesat, kok, bisa-bisanya seseorang lebih memilih Papua—maaf—ketimbang daerah lain? Apa tak ada lagi daerah lain yang lebih bersahaja, lebih romantis, lebih mewah?

Kita tahu, Papua hanyalah negeri kepingan surga yang hanya kaya secara alam, tetapi sangat miskin dari segi pembangunan. Mengapa miskin? Banyak jawaban yang boleh dijejerkan. Tetapi yang paling masuk akal dan dapat disaksikan dengan mata telanjang adalah dengan melihat fisik pembangunan. Bandingkan saja Papua dengan kota-kota lainnya! Jauh ketinggalan!

Pengertian yang boleh kita simak dari situ adalah bahwa pemerintah saja sesungguhnya tak menaruh perhatian “lebih”! Maksud saya, perhatian yang minimal! Lalu, darimana pula nalarnya seseorang—yang boleh dikatakan masih muda dan berbakat—harus menaruh perhatian besar kepada Papua? Pemikiran seperti apa ini kalau bukan “logika sesat”? Dari siapa pula ini, kalau bukan dari orang “sesat”?

Namanya Maruntung Sihombing. Saya kenal dekat dengan beliau. Atas inisiatif beliau, kami sewaktu mahasiswa mendirikan KDM KMK St. Martinus Unimed (Kelompok Diskusi Menulis). Dengan KDM itu, kami juga menerbitkan majalah. Boleh dibilang (dan memang begitu sejatinya), saya terinspirasi dan tergerak menulis karena “cemburu” melihat tulisan beliau yang beberapa kali dimuat di harian lokal, Analisa, sebuah harian terbesar di Sumut, Medan.

Sejak saat itu, saya tertarik dan sudah termasuk produktif menulis di berbagai media. Saat ini selain saya, sudah banyak pula penulis lokal yang berhasil tembus ke media dari KDM. Sungguh, ini sebuah prestasi karena terinspirasi! Dan, secara tak langsung inspiratornya adalah Maruntung. Orang bijak bilang, pemimpin yang berhasil adalah mereka yang menghasilkan pemimpin. Menurut Anda barangkali hal ini sepele, tetapi bagi kami, atau setidaknya saya, Maruntung telah mengimplementasikan bahwa pemimpin itu mesti melahirkan pemimpin lain.

Maruntung Sihombing bukanlah orang sembarangan. Dia pernah menjabat menjadi orang kedua terhebat di kampus Unimed dengan menjabat sebagai Sekjend Senat Mahasiswa periode 2012-2013. Boleh dibilang, memegang tampuk kekuasaan mahasiswa sudah “mewajibkan” bahwa seseorang itu punya afiliasi, atau setidaknya niat, untuk hidup di keriuhan, bukan kesunyian. Apalagi konon, seringkali pilihan menjadi guru hanyalah pilihan terakhir: hanya karena tidak lulus di kedokteran, hukum, atau cabang pendidikan yang lain.

Artinya, nun jauh di dalam hati, ada saja keinginan mahasiswa untuk keluar dari “siksaan nasib” yang menempatkannya di keguruan. Dan, saya pikir, Maruntung punya tangga untuk keluar dari sumur “siksaan nasib” tadi. Pertanyaannya adalah, mengapa beliau tak mengambil yang lalu menaiki tangga tersebut agar keluar dari “siksaan nasib”? Mengapa beliau justru menceburkan diri pada sumur itu?

Jujur saja, semula saya menaruh curiga bahwa Maruntung memilih SM-3T hanyalah karena “takluk” dikepung deadline berita di media tempat dia bekerja: Batak Pos. Saya tidak menghakimi, tetapi kita tahu sendiri berapa honor seorang wartawan! Maka itu, ketika kudengar beliau berangkat ke Tanah Papua, saya berpikir, Maruntung sedang bersembunyi dari balik perang deadline. Kata-kata yang dibangunnya sebagai alasan pergi ke Papua, bagi saya sebelumnya, hanyalah tameng. Tak mungkin mengaku terang-terangan takluk, bukan?

Ya, Maruntung—lagi-lagi—bukan orang sembarangan. Maksud saya, dia adalah orang yang berbakat dan kalau saja mau, mudah saja bagi dia bersaing di kota besar jika mencari pekerjaan adalah sebuah persaingan. Buktinya, selama di Papua, Maruntung bersama teman-temannya telah berhasil menelurkan beberapa prestasi. Sekadar menyebut contoh, pada tahun 2014, mereka pernah memecahkan rekor MURI dengan tajuk acara  Gerakan Membaca 1.000 Anak Lany Jaya, Papua. Sertifikat penghargaan itu kini terpajang di Biro Rektor Unimed. Pada tahun ini juga, mereka membuat film “Jika Aku Besar Nanti”.

Maka itu, ketika pada akhirnya, masa pengabdiannya di SM-3T sudah berakhir di Agustus 2014, saya terkejut karena beliau masih melanjutkan pengabdian di Tanah Papua. Iming-iming PPG yang diheboh-heboh dan dihibahkan pemerintah bagi para peserta SM-3T murni tak diterimanya. Saat itulah saya mulai percaya bahwa Maruntung ke Tanah Papua bukan karena “takluk” dan “bersembunyi” dari persaingan. Kedatangannya murni untuk sebuah pengabdian.

Suatu kali saya tanya, mengapa masih ngotot  di Papua dan tak mengambil PPG, padahal SM-3T sudah selesai? Maksud saya PPG yang akan didapat bukanlah hadiah. PPG adalah hak setelah pengabdian lama di daerah terpelosok dan itu tak haram diambil. Toh, masa pengabdian sudah selesai! Mengapa hak itu tak diambil?

Begini jawabannya, “Kita terkadang harus mundur satu langkah untuk bisa maju sepuluh langkah dalam meraih segala cita dan harapan kita masing-masing. Para pejuang kemerdekaan kita juga dulu seperti itu. Untuk meraih dan mencicipi kemerdekaan, banyak hal-hal yang mereka korbankan. Anak, istri bahkan keluarga mereka. Bahkan sampai-sampai mengorbankan jiwa dan raganya untuk kemaslahatan banyak orang.

Dia lanjutkan lagi, “Lagian, saya melihat orang ikut PPG sekarang, orientasinya sudah beda. Tidak lagi supaya dia menjadi guru professional, tapi supaya dia bisa dapat gaji banyak, terus bisa diangkat jadi PNS. Bagi saya, perepsi demikian boleh-boleh saja, sah-sah saja, cuman hemat saya, pikiran begitu terlalu pragmatis, terlalu mencari zona nyaman.  Terus berikutnya, mengajar di daerah terpencil, daerah tertinggal, kita tidak dituntut mesti terampil sekali, menguasai semua metode belajar, punya sertifikat pendidik.”

“Di daerah saya saja, RPP tidak terpakai. Toh yang kami ajar masih baca, tulis, hitung. Kurikulum tidak bisa diterapin. Kononlah mau nerapin Kurikulum 2013. Kita bisa bayangkan sendiri kan? Selain itu, yang terpenting lagi, mengajar di daerah tertinggal harus punya jiwa survive. Harus bisa bertahan dengan kondisi kritis sekalipun. Apalagi di tempat tugas saya, masih sering terjadi perang, baik itu perang antar suku maupun perang yang datang dari gerakan separatis di Papua.”

Saya menangkap pesan bahwa Maruntung punya misi khusus di Papua. Dia ingin Papua sementereng daerah lainnya. Dia ingin, Papua sama martabatnya dengan daerah lainnya. Dia ingin, Papua menjadi benar-benar Indonesia. Tidak ketinggalan, terutama dari segi pendidikannya. Agaknya saya menangkap bahwa satu hal terpenting untuk meningkatkan derajat Papua adalah dengan meningkatkan pendidikan penduduk pribumi Papua. Sungguh sebuah misi yang revolusioner!

Pada tahun 2015 lalu, mereka me-launching-kan buku Merajut Asa di Tanah Papua. Ini setelah mereka selesai mengambil “jatah” SM-3T. Ini semakin meneguhkan bahwa kedatangan Maruntung ke Papua, daerah yang benar-benar tertinggal dan mungkin jarang ada sinyal—sekali lagi—adalah murni untuk pengabdian. Tidak ada untuk yang lain. Nah, jiwa dan semangat seperti inilah yang sudah langka di negeri ini.

Saya tak muluk-muluk dan tak takut mengatakan bahwa kini, guru tak lagi sebagai pengabdian. Justru, bagi banyak orang, guru hanya alat untuk mencapai kepuasan. Guru hanya sarana untuk mencari duit. Karena itu, guru menjadi simbol kemewahan, bukan lagi berfokus pada kepalawanan (tanpa tanda jasa). Guru sudah ditelantarkan dari filosofinya yang mestinya menjadi simbol pelayanan. Simbol ketulusan.

Maka itu, kita, Indonesia, sangat beruntung mempunyai Maruntung. Saya tahu, di kejauhan sana, banyak sosok yang demikian: sosok yang merelakan dirinya mengabdi pada kesunyian, keterbelakangan, kegelapan, ketertinggalan. Tetapi, kita juga tak menutup mata bahwa guru saat ini dominan hanya ingin tinggal di pusat kemewahan. Angka statistik jika itu dihadirkan akan semakin menyebalkan karena akan terlihat inflasi guru di kota, tetapi di pelosok malah sangat dan sangat kurang.

Artinya, sangat sedikit guru yang kini menjadikan status keguruannya sebagai bentuk dari pengabdian. Saya sendiri jika ditanya akan berpikir lebih dari tujuh kali apakah akan memilih di pelosok atau tidak yang mesti sudah sangat terang bahwa yang sebenar-benarnya membutuhkan kehadiran guru adalah mereka yang di pelosok. Saya tak bilang, sosok guru yang di kota sebagai yang tak patut dicontoh. Tetapi, saya tak ragu mengatakan bahwa sosok yang berani menerjunkan dirinya ke daerah tertinggal, itulah sosok guru yang sebenar-benarnya. Sosok seperti inilah yang dibutuhkan di negeri ini.

Kata Maruntung suatu kali, “Saya tidak tega meninggalkan anak didikku yang sedang mengalami “musibah pendidikan” karena mereka betul-betul membutuhkan uluran tangan. Andai saya pergi, siapa yang akhirnya memberi mereka “nafkah pendidikan”. Logikanya sederhana. Andai ada orang yang tertabrak mobil, kemudian  pada saat kejadian kita menjadi orang yang satu-satunya berada di lokasi kejadian. Rumah sakit jauh. Orang pun tak ada. Padahal kondisinya sudah sekarat dan butuh pertolongan cepat. Apa yang kita lakukan….”

Di sini, saya tak mau menyodorkan beberapa prestasi gemilang yang dibuat Maruntung karena bagi saya, guru yang mampu menulis di berbagai media, menulis buku, membuat film, memecahkan rekor MURI, membuat dan membudayakan diskusi melalui honay cerdas, mendapatkan predikat Guru Antikorupsi dari KPK, barangkali hanya sesaat dan tak begitu penting.

Tetapi, bagaimana seorang guru dengan kesadarannya, di tengah prestasinya, di tengah bakatnya yang membludak, tetapi malah lebih memilih daerah tertinggal sebagai pengabdiannya, inilah yang terpenting. Ini bukan masalah prestasi. Ini lebih pada semangat dan ketulusan. Dan, inilah sejatinya prestasi yang sebenar-benarnya. Benar-benar sangat menginspirasi.

Apalagi, maaf kalau ini terlalu personal, Maruntung kini LDR dengan pacarnya. Bukankah mestinya, demi pacar, Maruntung boleh memilih mencari pekerjaan di kota bareng dengan pacarnya karena, toh, dia mampu kok bersaing? Adakah pilihan yang lebih tulus dari ketika kita memutuskan mengabdi ke kesunyian dan meninggalkan pacar?

Ya, sekali lagi, kita beruntung punya Maruntung. Juga maruntung-maruntung lainnya yang tak tercatat di sini. Di saat kita sedang dan sudah kehilangan guru yang benar-benar menjadi guru, di saat itu kita kedatangan guru yang benar-benar tulus. Saya tak mau menyamakan Maruntung dengan Romo Mangun yang sudah kuyup dengan berbagai prestasi. Tetapi dengan dan apa alasan yang mesti saya buat jika Maruntung dan Romo Mangun tak punya ketulusan yang sama?

Menjadi guru, niat dan ketulusan yang penting! Maruntung punya itu!

 

 Oleh Riduan Situmorang

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun