Di sini, saya tak mau menyodorkan beberapa prestasi gemilang yang dibuat Maruntung karena bagi saya, guru yang mampu menulis di berbagai media, menulis buku, membuat film, memecahkan rekor MURI, membuat dan membudayakan diskusi melalui honay cerdas, mendapatkan predikat Guru Antikorupsi dari KPK, barangkali hanya sesaat dan tak begitu penting.
Tetapi, bagaimana seorang guru dengan kesadarannya, di tengah prestasinya, di tengah bakatnya yang membludak, tetapi malah lebih memilih daerah tertinggal sebagai pengabdiannya, inilah yang terpenting. Ini bukan masalah prestasi. Ini lebih pada semangat dan ketulusan. Dan, inilah sejatinya prestasi yang sebenar-benarnya. Benar-benar sangat menginspirasi.
Apalagi, maaf kalau ini terlalu personal, Maruntung kini LDR dengan pacarnya. Bukankah mestinya, demi pacar, Maruntung boleh memilih mencari pekerjaan di kota bareng dengan pacarnya karena, toh, dia mampu kok bersaing? Adakah pilihan yang lebih tulus dari ketika kita memutuskan mengabdi ke kesunyian dan meninggalkan pacar?
Ya, sekali lagi, kita beruntung punya Maruntung. Juga maruntung-maruntung lainnya yang tak tercatat di sini. Di saat kita sedang dan sudah kehilangan guru yang benar-benar menjadi guru, di saat itu kita kedatangan guru yang benar-benar tulus. Saya tak mau menyamakan Maruntung dengan Romo Mangun yang sudah kuyup dengan berbagai prestasi. Tetapi dengan dan apa alasan yang mesti saya buat jika Maruntung dan Romo Mangun tak punya ketulusan yang sama?
Menjadi guru, niat dan ketulusan yang penting! Maruntung punya itu!
Â
 Oleh Riduan Situmorang
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H